Jumat, 20 Juni 2014

EKSISTENSI PANCASILA DAN KEBANGSAAN KITA



“Sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitlk“
(pidato BJ. Habibie pada tanggal 1 Juni 2011 di Sidang MPR RI Peringatan Hari Pancasila)
Tepat tanggal 1 Juni kemarin adalah momentum bersejarah bagi bangsa ini dalam proses menginjak usia yang semakin menua sebagai negara berdaulat. Peristiwa penting tersebut tidak lain adalah hari dimana lahirnya Pancasila. Sebagai refleksi kesejarahan perlu kiranya momentum tersebut dijadikan sebagai otokritik sejauh mana pemahaman kita terhadap ideologi suatu bangsa dan berbagai macam persoalan yang menyertainya.
Lahirnya Pancasila tidak terjadi secara sendirinya, melainkan lahir dari dialektika dan consensus para founding father untuk menentukan dasar-dasar negara Indonesia merdeka. Istilah Pancasila pertama kali muncul atas gagasan Ir. Soekarno saat sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia), yang dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zumbi Cosakai. Menurut Soekarno, dasar negara Indonesia merdeka disebutnya sebagai philosophicische grondsag, yaitu fundamen, filsafat, jiwa, yang sedalam-dalamnya yang diatasnya didirikan gedung Indonesia merdeka (Rukiyati, 2008:49).
Melahirkan ideologi,  falsafah dan dasar negara Republik Indonesia tersebut tentu tidak mudah layaknya bimsalabim abrakadabra. Di tengah-tengah hiruk pikuk situasi dan porak-porandanya kondisi nasioanal yang setiap saat selalu mengancam keselamatan diri dan bangsa Indonesia, kiranya merupakan tantangan dan perjuangan berat bagi pejuang revolusi kala itu. Sementara kondisi dan situasi tersebut tak jarang merenggut nyawa dan persimbahan darah dan air mata.
Dewasa ini banyak kalangan dan individu yang mempertanyakan kembali Ideologi Pancasila, apakah masih relevan sebagai ideologi negara, falsafah hidup bangsa Indonesia? Apakah Pancasila merupakan living reality ataukah hanya mitos belaka? Ataukah justru Pancasila hanya simbol ornament semata yang tertancap di dinding gedung kelas dan isntitusi pemerintahan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan, karena eksistensi Pancasila sampai saat ini substansinya “Jauh panggang dari api”. Proses sejarah dan kenyataan yang terjadi selama diberlakukannya Pancasila dan UUD 45 menampilkan penilaian variatif. Meskipun hingga saat ini Pancasila dan UUD 45 masih tetap sebagai ideologi dan landasan konstitusi negara. Aktualisasi keduanya tetap tergantung kepada siapa yang menafsirkan dan kekuatan politik yang menggunakannya.
Sebagai contoh, dimasa Orde Lama kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno meletakkan dasar kepemimpinannya yang dinamakan “Demokrasi Terimpin”, yaitu demokrasi yang difahami sebagai pengejawantahan sistem musyawarah mufakat yang dikandung sila keempat di dalam Pancasila, dan dianggap mencerminkan kepribadian bangsa (As’ad Said Ali, 2009: 29). Selain itu juga, Soekarno menghendaki persatuan diantara beragam aliran politik saat itu, termasuk Komunis di bawah satu payung besar bernama Pancasila (Doktrin Manipol USDEK). Walaupun, Demokrasi Terpimpin dimaksudkan mencerminkan kepribadian bangsa, akan tetapi dalam kenyataannya lebih didominasi oleh kepribadian Soekarno.
Era Orde Baru Pancasila cenderung didogmatisasi dan indoktrinasi, jadilah Pancasila hanya jadi alat politik penguasa untuk mempertahankan status quo. Melalui media massa yang terkooptasi, kekuatan militer yang menopang stabilitas keamanan dengan senjata, operasi militer, maupun penguasaan jalur birokrasi, institusi resmi BP7, lembaga penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), dan sebagainya. Semuanya diperalat melalui korupsi politik untuk menepatkan Pancasila menjadi milik pemerintah (Munawar Fuad Noeh, 2000: 24). Apa yang dilakukan rezim ORBA menyebabkan Pancasila menjadi “Ideologi Tertutup”, kritik terhadap Pancasila merupakan fatwa haram untuk dipertanyakan, disinilah terjadinya “sakralisasi” Pancasila. Padahal jiwa zaman (Zeitgeist) Pancasila harus sesuai dengan perkembangan negera yang modern. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat.
            Tantangan Pancasila di Era Reformasi
Di era reformasi ini ada gejala Pancasila ikut “terdeskreditkan” sebagai bagian dari pengalaman masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi politik Pancasila pernah dipakai sebagai legitimasi ideologis dalam membenarkan negara Orde Baru dengan segala sepak terjangnya. Pancasila ikut disalahkan dan menjadi biang kerok kehancuran. Orang “ogah” untuk berbicara Pancasila dan merasa tidak perlu untuk membicarakannya.
Tidak sampai disitu, perubahan sosial yang bersifat aktif dan dinamis senantiasa mewarnai corak sejarah. Semangat awal pembentukan Pancasila tadi kemudian perlahan-lahan terkubur dalam ingatan bawah sadar masyarakat Indonesia di era reformasi sekarang. Derasnya arus globalisasi yang tidak dapat terbendung telah mengikis batas-batas kultural maupun geografis suatu negara (Global Civil).  Globalisasi telah membuat semua orang menjadi homogen, kemajuan IPTEK ibarat sisi mata uang berlainan. Di satu sisi membawa kemudahan dalam mengerjakan segala hal, disisi lain menyebabkan kemorosotan moral. Dampak negatif tersebut kemudian tercermin dari realitas masyarakat hari ini yang memiliki kecenderungan hedonis, glamour, apatis, opurtunis dan konsumtif. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa Pancasila bukan lagi dijadikan sebagai ukuran pembentukan kepribadian bangsa melainkan teknologilah yang merebut peran tersebut. Di sinilah peran Pancasila mestinya sebagai sumber moral dan identitas nasional menjadi filter budaya yang  menggerogoti sendi-sendi kebangsaan kita.
Wajah Pancasila sudah mulai mengerut dan tak tampak lagi dipermukaan, kian mulai bergeser dalam tatanan kehidupan. Misalkan dalam sila yang pertama bahwa “Ketuhanan yang maha Esa”, berubah menjadi “Keuangan yang Maha Kuasa”. Pengertian UUD talah diplintir menjadi Ujung-Ujungnya Duit (UUD), KUHP berubah arti menjadi “Karena Uang Hilanglah Perkara (KUHP)”. Sungguh ironi sebagai negara yang mayoritas beragama dan tempat ibadah berdiri disetiap penjuru desa/kota, justru korupsi tidak terkendali. Banyaknya tempat ibadah di negeri ini memang menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki agama namun tidak sekaligus menunjukkan bangsa ini agamis. Kenyataannya masih sering terjadi perselisihan yang mengatas namakan agama yang dalam perilakunya justru tidak menunjukkan perilaku yang agamis.
Sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, masih jauh dari susbtansinya. Contoh: banyak kasus pelecehan dan penganiayaan yang terjadi pada tenaga kerja Indonesia yang menjadi TKI atau TKW di luar negeri, upah buruh yang tidak sesuai, eksploitasi buruh tanpa kemanusian. Sila “Persatuan Indonesia” hanya slogan, banyaknya ormas (organisasi massa) yang masing-masing meletakkan batu nisan ideologi anti Pancasila yang dianggap kufur, ikatan primordialisme, dan ashabiyah antar golongan yang menyeret Pancasila dalam pusaran kepentingan.
 Sila“Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Rakyat belum benar-benar terwakili dalam parlemen melainkan hanya menjadi sarana pembenaran untuk meraih simpati rakyat. Sidang-sidang di DPR hanya panggung hiburan parade yang penuh akting bukan untuk memperjuangkan atau menyuarakan kepentingan rakyat. Dimana letak mufakatnya? Bila masing-masing berdebat atas nama kepentingan sendiri-sendiri?
“Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.  Dalam kenyataan pengamalan sila ini masih terlihat sekali bahwa rakyat negeri ini masih belum menikmati keadilan sosial secara utuh. Tingkat kemiskinan masih sangat tinggi, angka pengangguran membeludak, harga bahan pokok merangkak naik, kesejahteraan tidak merata, stratifikasi sosial terlalu jauh. Sementara elit penjabat negara hidup bermewah-mewah dengan fasilitas negara yang mereka punya.  Dimanakah keadilan sosial-kesejahteraan yang kami punya?

            Revitalisasi Pancasila
            Revitalisasi mengandung arti proses, cara dan perbuatan yang menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Pancasila harus dibangkitkan kembali sebagai nilai-nilai fundamental yang memberi orientasi dalam pembuatan kebijakan publik yang pro terhadap aspek-aspek religius, humanisme, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sebagaimana yang termaktub dalam butir Pancasila. Revitalisasi sebagai manifestasi Identitas Nasional mengandung makna bahwa Pancasila harus diposisikan sebagai satu keutuhan yang sejalan dengan dimensi-dimensi yang melekat padanya, seperti realitas, idealitas, dan fleksibilitas.
Saya berharap, kepada pemimpin yang terpilih agar menguatkan fondasi pancasila sebagai vision of state. Merevitalisasi Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa mengamalkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa-bernegara, Pancasila hanya rangkaian kata-kata tanpa makna dan nilai serta tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Kalau tidak dimulai dari kita siapa lagi?

Rabu, 26 Desember 2012

Izinkan Aku memilih jalan ku Cinta


Assalamu’alaikum wr.wb

Segala puji bagi Allah Swt…
Syukur kepada Allah SWt yang telah mngaruniakan nafas padaku dan padamu dinda untuk segera memperbaharui Cinta yang terlarang ini.
Ukhti……..rasanya aku telah menemukan kekasih yang lebih baik darimu, yang tak pernah lelah  memberi  perhatianya kepada Ku setiap detik, menit dalam hembusan hidupku ini. Dan DIA tidak pernah tidur dalam menjaga Ku.

Maaf Ukhti…..bagiku kau bukan apa-apanya nya dibadingkan dengan DIA, kau sangat lemah, kecil dan kerdil dimata-Nya. Ukhti…..Aku khawatir apa yang telah kita lakukan menjalani hubungan selama  4 tahun ini membuat_nya marah dan Murka kepada Kita semua. Akad , ijab dan Kabul yang 4 tahun silam Aku katakan hanyalah Perkataan sesaat yang membuat Kita tersesat dan terjerembat dalam lembah kehinaan.

Ukhti……Sesungguhnya Hubungan yang qta jalani hanyalah Cinta yang fana dan Sementara, tak ada cinta yang abadi, tak ada pengertian sampai mati, tak ada kasih sayag membuat Kita takut kehilangan. Percaya atau tidak mungkin Kita dulu merasakanya. Maafkan Aku yang harus melupakanmu dan menutup buku lembaran masa lalu, biar ini sebagai sejarah yang tak akan terulang dan menjadi peristiwa yang unik.

Ukhti,,,,,,,Aku tau kata-kata ini menyakitkan untuk aku ucapkan kepadamu, namun lebih sakit lagi dengan cinta yang semu dan siksa akan Cinta yang penuh nafsu ini. 4 tahun lalu sesungguhnya kita sudah memperkosa arti cinta Kita, maafkan tangan ini yang memegang tangan mu, Ku tak ingin yg ku pegang itu adalah buah Jakkum di neraka. Kaki ini selalu berzinah ketika aku hendak berkhalwat kerumahmu, mata ini berzinah ketika aku melihat senyum mu yang palsu, mulut ini berzinah ketika aku mengucapkan kata I love You,  aku juga bingung apakah yang Aku katakan itu adalah Cinta atau nafsu belaka yang Hina.

Ukhti,,,,jangan marah ya…….aku melanggar janji Ku kepadamu, janji yang menjeruji ditirai besi jahanami. Maafkan aku yang harus berpaling darimu untuk mencintai-NYA. Ya ukhti,,,,,kau pun bisa menjadi kekasih-Nya, syaratnya satu yaitu melupakan Aku.  Tak ada yang terlambat untuk kita bertaubat!!

Aku Sedih dengan keputusan yang ku ambil ini,Ku tulis dalam tetesan air mata, menangis akan dosa-dosa yang Kita perbuat, dan maafkanlah aku yang membuatmu terlibat dalam hubungan yang tidak halal ini. DIa Punya rencana indah untuk masa depan Kita. Kau pasti akan temukan orang yang lebih baik dari Aku ataupun Dirimu sebaliknya.

Ukhti,,,,,walaupun Kita tak dapat bersatu didunia fana dalam jerat Cinta yang sementara, tapi yakinlah suatu saat nanti Kita dipertemukan ditelaga surga_Nya Insya Allah,,,,,,,
kitta akan Hidup bahagia, duduk berdua dengan taman bunga surga yang permai,tentunya itu lebih romantic dan lebih indah bukan? Ku tunggu dan Ku nanti engkau di dunia yang Indah dan kita menjalin cinta hakiki didalamnya, hanya kita berdua……saat dulu kita lakukan .Insya Allah…..ukhti.

Ukhti….., aku akan segera menghapus namamu dalam bingkai hatiku, mendelet memori masa lalu yang salah arah ini dalam CPU kalbu ku, memformat ulang niat Ku dalam menentukan kurikulum haikat cinta, kan Ku tipe_x Cinta mu dalam Flash disck Fikiran Ku tentang mu. Aku ingin menjadi diriku sendiri tanpa hadirmu tanpa cintamu yang semu dan Fana, Ku harap Engkau jangan harapkan aku tuk kembali padamu, Kita akan menemukan dan mengetahui jodoh qta caranya satu dengan memperbaiki diri qta sendiri.

Maaf ukhti ....tak baik rasanya aku berlama- lama menulis surat Cinta ini dalam dunia Maya. Aku takut ini merusak hati, goresan pena terakhirku sebagai tanda Aku MELUPAKANMU. Bukan aku tak mencintaimu tapi q tak ingin kita meminggul dosa
MAAFKAN AKU YANG TELAH MENCINTAIMU!!!
Kan Ku berikan syair ini sebagai rasa sayang Ku padamu

“ Malam ini terasa berat bagiku menghapus namamu dalam kalbuku”
‘ Tapi tidak berarti robek pula cinta Kita’
‘Aku hanya ingin cinta cinta ini tetap abadi, meski tanpa goresan tinta’
‘ yang utama adalah cinta bukan tinta’
‘ betapa banyak tulisan yang melupakan Tuhanya’
‘ betapa sering qta tidak mengenal-NYA’
‘ karena Jari terlalu sering goreskan kata Cinta”


Wassalamu’alaikum wr.wb


# Catatan masa lalu  16 Juli 2009 #


Sabtu, 01 Desember 2012

Islam, Ritual dan Pembebasan



Memaknai sebuah ajaran agama tidak hanya sebatas menjalankan ritual ibadah yang dianggap sakral, bahkan dogma sebuah agama terkadang membuat kaum beragama menjadi yakin sehingga tidak terfikirkan untuk mengkaji lebih dalam dari pesan-pesan, simbol-simbol, historis, empiris maupun semiotis dalam ajaran agama. Islam adalah sebuah agama yang universal (Syumul), artinya Islam bisa dikatakan sebagai ajaran yang berlaku untuk seluruh manusia. Akan tetapi memaknai Islam ternyata mempunyai arti yang cukup dalam untuk memaknai sebuah ajaran yang bertujuan sebagai kekuatan pembebasan (Liberating Power).

Kekuatan pembebasan dalam beragama sejatinya buka sebatas ritual yang sakral, bukan difahami sebatas simbol dalam menjalankan ibadah, akan tetapi harus direnungi substansinya dalam konteks kekinian dalam menjawab permasalahan realita sosial yang ada. Agama apalagi Islam tentu bukan sekedar simbol bagi penganutnya (seharusnya). Namun pada tataran riil, Agama lebih sering hanya menjadi sebuah simbol yang berujung kamuflase dan kesadaran palsu (semu). Beragama tidak lagi sebagai sebuah keniscayaan. Beragama juga tidak lagi dihayati dengan sesungguhnya. Padahal seharusnya, Agama menjadi pembimbing bagi pemeluknya untuk mencapai kebahagiaan dunia (profan) dan akhirat (ukhrowi). Namun, seringkali orang beragama berhenti pada simbol, tanpa menangkap maknanya. Orang sering terkecoh pada simbol. Tidak jarang, jenggot dianggap simbol ke-sholihan individu, padahal sinterklas (Saint Claus) dan orang Yahudi ortodoks berjenggot lebat. Orang Islam merasa kurang afdhal kalau pergi ke masjid tidak pakai sarung, padahal orang-orang Budha di Myanmar suka pakai sarung jika hendak menjalankan ritual agamanya. Seorang khatib juga dianggap tidak patut jika tidak memakai kopiyah atau sorban. Padahal, orang-orang Hindu di India suka pakai kopiyah jika berkhutbah.
Fenomena seperti ini lahirlah sakralisasi simbol, meski ia hanya berguna jika ada makna di baliknya. Ada perbedaan antara simbol dan makna, wadah dan isi, form dan matter. Banyak orang yang hanya tahu simbol tanpa tahu reasoning maknanya. Kadang kita terjebak untuk berjuang menegakkan simbol itu dan bahkan “menyembahnya”. Celakanya, akita telah merasa mendapatkan tiket masuk surga dengan memperjuangkan simbol.

Sebagai contoh sederhana ritual puasa, haji, idul fitri, idul adha, zakat dan sebgainya sebenarnya mempunyai misi pembebasan. Dalam puasa kita dituntut untuk menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, akan tetapi puasa bisa dimaknai sebagai proses pensucian jiwa dari hal-hal keduniawian (profan), mereduksi nafsu angkara murka menuju kerahmatan Tuhan. Menawan nafsu keserakahan hingga menyebabkan miskinnya nurani yang tergadaikan oleh kebutuhan, maka tidak heran puasa jalan tetapi korupsi lancar, artinya puasa cuman sebatas ritual dan belum bisa memerdekakan kita sepunuhnya. Maka puasa yang kita fahami harus digugat!
Ritual haji mempunyai maksud pembebasan, di dalamnya penuh dengan metafor-metafor pembebasan. Penggunaan pakaian ihram adalah simbol pembebasan manusia dari jeratan-jeratan material, serta memandang manusia sama dimata Tuhan tidak membedakan status sosial hamba-Nya. Melempar jumroh juga metafor dan pembebasan manusia dari godaan syaitan, tapi kadang kita belum mampu melempar syetan keluar dari hati kita. Zakat juga sarat dengan metafor-metafor pembebasan. Penentuan 2,5% dan kekayaan yang harus kita zakatkan dan harta yang kita miliki mengisyaratkan bahwa kita diajarkan untuk tidak begitu "menuhankan" materi. Sebaliknya uang yang kita miliki harus disisihkan sebagian untuk pembebasan sesama kita dan belenggu kemiskinan material. Sebab disadari betul dari kemiskinan material ini akan berakibat pada munculnya kemiskinan-kemiskinan yang lain, termasuk di dalamnya kemiskinan keimanan. Inilah barangkali ini makna yang termaktub dalam hadits Nabi bahwa “Kefakiran akan cenderung kepada kakafiran”.

Memaknai ritual ibadah dalam Islam, hemat penulis bukan sekadar sebatas sholeh secara individu, namun harus sholeh secara sosial. Muslim di Indonesia sangat mendominasi, orang naik haji meledak tiap tahunnya, perayaan idul fitri, Idul adha sangat antusias dijalankan, majlis ta’lim dimana-mana, masjid/mushola dibangun diberbagai arah. Lantas kenapa korupsi menggurita tiap tahunnya?. Kesenjangan sosial dimana-mana, Konflik etnis dan agama kian marak, keadilan tidak merata, supremasi hukum yang lemah, bukankah Islam itu syumul? Dan bahkan mengklaim sebagai umat terbaik? Sekiranya umat islam harus digugat! Karena ada yang salah kita memahami sebuah ajaran agama. Jika ibadah tak merasuk ke dalam jiwa, segenap prosesi tu hanya sebagai kehadiran fisik semata. Sekadar ritual luar belaka. Sekadar rukun, syarat dan status. Sedangkan hal-hal yang spiritual tertinggal di belakang, tak menembus wilayah hakikat dan ma'rifat. Makna dan fungsi ibadah tercecer di luar. Sehinga tak ada taslim, penyerahan diri yang total. Tak ada takhrij, proses mengeluarkan diri dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Tak ada tanwir, yaitu pencerahan diri yang membuat hidup menjadi bersinar. Tak ada tahrir, Pembebasan diri dari segenap berhala kehidupan. Sehingga Ibadah yang dilakukan belum memberikan solusi perbaikan dalam tataran masyarakat kolektiv.

Kamis, 18 Oktober 2012

“Mencari Kembali Jalan menuju Identitas Kebudayan Indonesia dalam kacamata Historis”.




Oleh : Ahmad Bachtiar Faqihuddin

Identitas kebudayaan nasional Indonesia kini mengalami dilema, hal itu dikarenakan identitas yang menjadi ciri bangsa Indonesia kian dipersimpang jalan. Identitas kebudayaan Indonesia tidak terjadi dengan sendirinya, namun merupakan proses pergumulan sejarah dan pencarian jati diri yang sangat panjang. Indonesia yang berada dalam proses pembentukan negara-bangsa menghadapi banyak tantangan baik dari dalam maupun luar negeri, yang memerlukan pembenahan dalam berbagai sektor kehidupan. Pasca revolusi Agustus 1945 saat Indonesia mencari identitas kebudayaan nasional adalah momentum perdebatan dalam mencari sebuah pengertian identitas kebudayaan nasional Indonesia, maka tidak heran pada era ini muncullah Pencarian identitas kebudayaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lain dengan aliran dan ideologi masing-masing, seperti LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia), HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam), Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dan lain sebagainya.

Aliran-aliran kebudayaan diatas tidak dipungkiri beraflilasi dengan Partai politik atau organisasi massa (ormas). LKN berafliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Lekra dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Lesbumi dengan Nahdhlatul Ulama (NU) dan lain sebagainya yang mewarnai corak serta warna bagi masyarakat Indonesia. Bagi Lekra misalnya kesenian tidak sekadar sebagai seni keindahan atau hiburan tetapi seni yang sadar pada politik, negara, partai, rakyat, perjuangan revolusi dan bahasa diplomasi-komunikasi-antar negara. Program-program Lekra memperlihatkan perhatian yang cukup besar pada seni daerah. Hal ini bisa dilihat dari laporan kongres, konfrensi nasional, maupun pleno Lekra. Misalnya pada Konfrensi Nasional I di Bali (1962), Lekra dari Sumatera Selatan diwakili oleh Z. Trisno melaporkan selama satu tahun telah mengadakan investarisasi dongeng-dongeng, tari-tari, lagu-lagu daerah dan mengumpulkan bahan-bahan untuk penyelidikan akasara-akasara dan bahasa daerah. LEKRA Sulawesi Tenggara, yang diwakili oleh Mahmud Jusmanor, juga melaporkan pengembangan tari-tari daerah dan pengembangan tari-tari suku daerah lainnya.[1] PKI dengan idiologinya yang sangat kental dengan anti imperialism dan kapitalisme ini menandakan langkah serta progresivitas PKI mampu memberikan corak kebudayaan tersendiri dengan pengaruh yang besar, hal inilah memunculkan terbentuknya Lesbumi pada tahun 1962 sebagai respon upaya penolakan terhadap komunisme[2]. Lesbumi membawa warna yang berbeda dari Lekra. Lesbumi membawa genre “religius”. Ia merupakan manifestasi dari cita-cita dan gagasan kesatuan Nasakom Soekarno yang meniscayakan terhadap agama sebagai unsur mutlak dalam nation and character building di bidang kebudayaan. Pendefinisian ini sejalan dengan tujuan revolusi Indonesia yang menginginkan tercapainya masyarakat yang adil makmur lahir batin yang diridlai Allah. Diyakini bahwa jalannya revolusi Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Manifesto Politik, menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam kesatuan Pancasila sebagai landasan ideal. Lesbumi dengan semboyan Humanisme religius­-nya juga memberikan alternatif baru dalam polemik dalam mementukan arah kebudayaan yang terjadi antara Lekra yang beraliran realisme sosialis dan Manifes Kebudayaan yang beraliran humanisme universal. Selain Lesbumi, Manikebu juga menolak jargon “politik adalah panglima” yang menjadi motor penggerak aktivitas Lekra, dan semboyan “seni untuk seni” (l’ art pour l’ art). [3]
Lembaga kebudayaan diatas memang sangat membantu dalam penemuan jati diri bangsa Indonesia sebagai identitas serta simbol kebangsaan, pergolakan kebudayaan antara LKN, Lesbumi, Manikebu, HSBI semestinya dipandang bukan perdebatan kebudayaan, tapi hemat penulis lebih mengrah kepada kepentingan politik mengatasnamakan kebudayaan. Hal itu memang lumrah adanya dalam dinamika sebuah bangsa yang beranjak dewasa ditengah masyarakat yang majemuk (plural). Dengan Tumbangnya Orde Lama, secara tidak langsung bergantinya era Orde Baru membawa dampak pergeseran kebudayaan dari Indonesia sentris ke Barat sentris  (Kebarat-baratan). Pada masa Orde Lama (orla) diskursus kebudayaan dan kesusatraan begitu kaya, mulai dari ketoprak, film Indonesia, tari-tari daerah menjadi aset yang sangat berharga. Karya-karya Lekra, Lesbumi, Manikebu, HSBI bagai terkubur dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Produk hukum beserta regulasi (kebijakan) Soeharto yang berbau Orde Lama menjadi fatwa haram untuk mempelajari bahkan menjadi bahan perdebatan sampai era reformasi sekarang ini. Hal ini hemat penulis mengidintesifikasikan ada upaya ahistoris dengan penghapusan jejak identitas kebudayaan Indonesia serta derasnya arus westernisasi yang menggerogoti sendi-sendi jati diri bangsa yang lama diperjuangkan. Produk hukum Soeharto membawa dampak menjamurnya kapitalisme secara budaya yang diboncengi kepentingan barat (AS) serta sekutunya, imperialisme dalam sumber-sumber ekonomi sangat bertentangan dengan landasan negara yakni pancasila yang lebih menganut kepada faham sosialisme (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Disamping itu aura politik Soekarno yang anti penjajahan asing (imperialis) saat itu merambah  ke aksi  kebudayaan.  Misalnya mobilisasi massa untuk ganyang Malaysia (karena konsolidasi  Malaysia akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga jadi ancaman terhadap kemerdekaan Indonesia) dan aksi boikot film-film import oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) karena dinilai berisi propaganda yang berbahaya bagi kesadaran massa. Disisi lain hal ini berbanding terbalik dengan era Soeharto, liberalisasi ekonomi praktis membawa masuk produk-produk budaya dari peradaban barat ke Indonesia, mengubah budaya masyarakat kita. Yang tadinya hanya mengenal budaya  kerakyatan (local genius) dan sisa-sisa feodalisme, sejak adanya gelombang  kapitalisme kita pun tahu: diskotik, Coca Cola, MTV, mode/fashion yang bisa membuat penampilan para remaja kita secara homogen dan hedonisme.

Era globalisasi dan kapitalisme global menyeret bangsa kita kepada hilangnya identitas budaya yang menjadi icon bangsa yang besar, menjamurnya budaya asing seperti Boy Band, Jazz, pop tanpa adanya filter menyebabkan hilangnya apa yang menjadi symbol Indonesia sebagai bangsa yang plural. Hemat penulis untuk memaknai sebuah apa itu Identitas Kebudayaan nasional Indonesia sekiranya aspek-aspek nilai-nilai, norma, idiologi, serta keberagamaan ke-agama-an harus menjadi solusi guna mempertahankan symbol persatuan dan kesatuan. Maka penulis kiranya berharap lembaga-lembaga kebudayaan dulu yang pernah dan masih ada semisal Lekra, Lesbumi, HSBI, Manikebu dan lain sebagainya kembali digalakan dalam membendung pergeseran dan kritik kebudayaan pro westernisasi. Dalam konteks kekinian suatu perjuangan kebudayaan harus memiliki landasan ideologi, yakni harus punya cita-cita membangun masyarakat sejahtera, modern, berpemerintahan bersih (good governnance) dan pro rakyat/kerakyatan. Kita boleh saja berkata dengan asumsi yang menyatakan bahwa Indonesia sedang dijajah baik ekonomi, maupun kebudayaan, dalam hal ini Sekaranglah keharusan kita membangun gerakan Pembebasan lewat demonstrasi, lewat organisasi, dengan teater, film, seni musik, seni sastra, tari-tarian, rapat, kongres, diskusi, selebaran, pamflet  dan sebagainya sebagai jalan pencarian identitas kebudayaan Bangsa Indonesia kembali.




[1]     Tak Seorang Berniat Pulang,  Walau Mati Menanti’ dalam ‘Laporan Kebudajaan Rakjat II’, Laporan daerah-daerahI diterbitkan oleh bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat’, tanpa tahun terbit, hlm. 140-143. Lebih jelasnya lihat di http://bingkaisastra.blog.com/2010/12/23/lekra-pencarian-identitas-kebudayaan-nasional-indonesia/, diakses pada tanggal 18 Oktober 2012 pukul 22:24 WIB
[2]     Lebih jelasnya lihat dalam bukunya Choirotun Chisaan. 2008. Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan. Yogyakarta : LKIS. Hlm. 125,126
[3]     Lebih jelasnya silahkan lihat dalam skripsinya Alexander Supartono. 2000. Lekra vs Manikebu : Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965. Jakarta : STF Driyakarsa. hlm.8 


Kamis, 09 Agustus 2012

Puasa Momentum Pembebasan dan Kemerdekaan.



Bulan puasa (Ramadhan) sering kali disebut sebagai bulan suci, bulan metamorfosis dari keterbelengguan menuju merdeka. Puasa tiap tahunnya yang diselenggarakan hanya sebatas dramaturgi dan ritual keagamaan namun kurang memaknai secara substantif  bahwasanya puasa membawa misi kekuatan pembebasan (liberating power). Dalam konteks ke-Indonesiaan, momentum puasa ramadhan mempunyai arti historis-semiotis. Kemerdekaan Indonesia terlahir bertepatan dengan bulan Ramadhan jika ditarik lebih jauh mengandung pesan unsur pembebasan dan kemerdekaan dengan makna dan arti yang cukup mendalam.
Kemerdekaan yang dimaksudkan dalam konteks puasa keindonesiaan (Puasa kebangsaan) adalah spirit kemerdekaan jiwa, dan raga dari hal-hal yang membelenggu dan memborgol  kekuatan mental-spiritual. Puasa tidak hanya dijadikan ritual keagamaan secara interaksionisme simbolik, akan tetapi sebagai muhasabah atau refleksi kita agar bangsa ini benar-benar terlepas dari segala sesuatu yang membelenggu, menawan nafsu keserakahan, mereduksi  nafsu kebendaan (materi) yang dapat menyebabkan gangguan mental dari  rakyat kelas akar rumput sampai  elit kelompok tertentu.
Pembebasan dalam misi ritual puasa tidak lain adalah membebaskan jiwa atau qolbu (hati) dari penyakit-penyakit ruhani yang bisa berimplikasi pada sistem dalam masyarakat kolektiv, bangsa bahkan negara. Mental-mental ruhani yang tidak merdeka itu berdampak pada efek domino lebih luas, dari korupsi personal sampai korupsi berjama’ah yang sering kita dengar tiap tahunnya adalah bukti bahwa selama ini puasa hanya dimaknai secara ritual keagamaan, lebih celakanya lagi puasa sebagai momentum pembebasan dimaknai bebas dalam melanggar batas-batas kemanusiaan semisal bebas korupsi, bebas membodohi rakyat, bebas melakukan tindakan intoleran, dan pola-pola dekonstruktif lainnya yang menjadikan bangsa ini bangsa yang berperadaban biadab. Relasi kemerdekaan Indonesia dengan Puasa Ramadhan bukan momentum sebatas kemerdekaan fisik saja, tetapi ruh dan spirit kesolehan personal (transendental) dan Kesholehan sosial (humanisasi). Dengan demikian Puasa yang seperti inilah sejatinya puasa yang integral, Kaffah dan holistik.
Fenomena sosial seperti : Kemiskinan, kebodohan, dan kesenjangan sosial dalam  kehidupan telah menggurita di berbagai lapisan masyarakat. Umat manusia hanya berkompetisi di depan publik dengan pemberian hadiah pada saat momen religius saja, dan tidak jarang momentum itu hanya dijadikan politisasi agama guna meraup dukungan dan meraih kedudukan. Selain itu, basis kebajikan manusia kembali mengakar pada teosentrisme, sebuah prolog yang lagi-lagi dirasionalkan  demi kepentingan Tuhan yang sebenarnya. Krisis yang timbul di kalangan elite dan masyarakat kita sekarang ini karena mereka kehilangan kendali diri dan menjauh dari jalan yang sebenarnya. Bahkan, di era globalisasi, manusia sudah kehilangan solidaritas sosial. Tak salah kalau banyak yang kelaparan pada saat kita semua menjalankan ibadah puasa karena puasa hanya sekadar kewajiban. Jika pada bulan-bulan lain para elite politik seenaknya mengumbar kata-kata, selama puasa harus berlatih untuk lebih bijak dalam bertutur. Kalau pada bulan selain Ramadhan para pelaku birokrasi begitu mudah menyimpangkan anggaran negara, saat puasa mereka mesti berupaya mengakhirinya. Tidak ada momentum sekhidmat Puasa Ramadhan yang bisa dijadikan titik balik untuk membuat lompatan jauh kedepan. Sekiranya hemat saya, puasa dapat menjadi landasan untuk membangkitkan spirit kebijakan umum yang memerdekakan dan membebaskan terhadap segala sesuatu yang mebelenggu. Merdeka dari jajahan bangsa sendiri yang dengan tanpa malu meraup hak-hak rakyat dengan rakusnya. Apapun jabatan dan strata/status sosial, tatkala kita berpuasa sejatinya kita mempunyai tanggung jawab untuk merasakan apa yang orang lain rasakan.  Puasa ramadhan hanyalah bulan latihan agar kita mampu meng-hijrah-kan diri dari nafsu kebinatangan (hewani) menuju hakikat manusia yang sesungguhnya. Puasa ramadhan bukanlah ajang pertaubatan sementara yang memunculkan sikap dramaturgi tetapi berlaku konsisten  menuju jalan transformasi diri yang berangkat dari kesadaran spiritual individual dan kemudian terwuujd dalam kesadaran sosial sehingga bisa membawa manfaat bagi negeri kita tercinta ini.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Puasa Refleksi Perbaikan




Puasa merupakan momentum menuju perbaikan dari proses statis menuju dinamis, Jika menurut Al- zamaksyari dalam tafsir Al- kasyyaf, puasa merupakan tradisi umat terdahulu sejak Nabi Adam AS. Bahkan, seluruh umat terdahulu juga melaksanakan puasa dengan tujuan memupuk IMTAQ (Iman dan Taqwa), dengan bertujuan melanjutkan misi propetik agama- agama.

Misi profetik seperti ini sebenarnya harus mampu menggugah kesadaran secara kolektif dalam berbangsa dan bernegara guna mewujudkan “ Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghoffur”. Momentum puasa seharusnya dijadikan sebagai referensi paradigma berfikir yang menuju kepada transformasi sosial, artinya selama ini puasa hanya dimaknai sebagai ritual-individual (Transendental), bukan pada aspek yang lebih luas yakni ritual-sosial (Humanisasi). Maka memaknai puasa sejatinya dalam konteks pembebasan individual yang ditempatkan sebagai rutinitas-ritualitas belaka sebagaimana berlaku general, tetapi harus ditarik lebih luas guna membebaskan dari berbagai problem sosial – kemasyarakatan.

Perbedaan puasa dengan bulan- bulan lain tercermin pada pola pikir ( paradigma) keberagaman yang menjadi sorotan. Bila pada bulan bukan Ramadhan masyarakat umumnya disibukan dengan urusan memperkaya diri, bahkan korupsi kolektif ( berjama’ah) beserta jaringanya ( Mafia), tetapi pada bulan puasa ada selang waktu untuk refleksi diri (Muhasabah) , Stop kekerasan dan Korupsi !

Tuhan memerintahkan manusia untuk melaksanakan ritual keagamaan bertujuan tidak lain sebagai proses perubahan menuju perbaikan. Jika dalam kacamata islam perubahan itu dari Mu’min- Muttaqin yang selaras dengan tujuan dari puasa itu sendiri. Jika kita melihat fenomena sosial dan dikaitkan dengan hakikat puasa , seharusnya momentum puasa mampu menjadi refleksi diri dari problematika sosial yang ada. Sebagai contoh : prostitusi, perjudian, warung bar dimana- mana dan sebagainya ketika memasuki bulan Ramadhan masyarakat dan pemerintah beramai- ramai menetralisir kegiatan tersebut dengan dalih menghargai bulan Ramadhan, akan tetapi pasca ramadhan masyarakat dan pemerintah kurang begitu memperhatikan ketika problematika itu mencuat ke permukaan dan cenderung kurang menjadi sorotan. Dengan kondisi demikian, bulan Ramadhan hanya dijadikan bulan pertaubatan sementara.

Demikian pula halnya dengan korupsi yang semakin marak, politik saling sandera, konflik horizontal, yang terjadi dibeberapa tahun menandakan puasa yang dilakukan oleh sebagian yang menjalakanya (Muslim)  belum mampu menjawab realitas problem sosial. Dalam konteks ini puasa Ramadhan harus dijadikan sebagai gerbong perubahan menuju lokomotif perbaikan. Jika bangsa ini tidak belajar dari puasa sebelum- sebelumnya dengan hasil yang tidak positif  di tengah masyarakat, maka puasa jauh dari maknanya (Substansi).

Karena itu, puasa dapat menjadi landasan untuk membangkitkan spirit kebijakan umum. Apapun jabatan dan strata/status sosial, tatkala kita berpuasa sejatinya kita mempunyai tanggung jawab untuk merasakan apa yang orang lain rasakan.  Puasa ramadhan hanyalah bulan latihan agar kita mampu meng-hijrah-kan diri dari nafsu kebinatangan (hewani) menuju hakikat manusia yang sesungguhnya. Puasa ramadhan bukanlah ajang pertaubatan sementara yang memunculkan sikap Hidden kemunafikan tetapi berlaku konsisten dengan out put yang positif.

Kamis, 26 Juli 2012

Memaknai Revolusi Indonesia “Kajian Historis-analitis : Refleksi dalam bingkai Sejarah”

  
Sejarah tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, sejarah mampu menembus ruang dan waktu, melintasi batas kultural relung peradaban umat manusia. Unsur perubahan merupakan suatu hal yang dapat dipisahkan, dalam kacamata kita perubahan bisa diartikan sebagai gejala yang konstruktif atau juga sebaliknya sebagai gejala yang bersifat destruktif. Abad ke-19 merupakan periode pergolakan atau revolusi sosial  yang menyertai terjadinya perubahan sosial sebagai akibat dari pengaruh kuat lintah darat kaum kolonialisme Barat. Adanya pergeseran identitas budaya masyarakat tradisonal tentu saja menimbulkan rasa frustasi  dan teralienisasi (terasingkan). Kedaan demikian menimbulkan ledakan kekecewaan, kegalauan dan kegelisahan yang meluas. Keadaan demikian mencapai klimaks jika difokuskan di bawah satu pemimpin yang mampu membimbing potensi agresif itu pada sasaran. Sasaran tertentu yang dianggap bermusuhan atau menuju perwujudan gagasan-gagasan tentang milenari.[1]
Revolusi adalah sebuah perubahan dalam kurun waktu yang singkat dan terjadi dengan proses yang cepat. Revolusi merupakan gambaran dari keinginan terbesar individu maupun kelompok, dalam konteks ini adalah bangsa, untuk mencapai sesuatu yang menjadi tujuan gerakan revolusi itu sendiri. Oleh karena itu, sebuah pergerakan revolusi selalu diwarnai dengan pertentangan, perpecahan, yang kemudian mengarah kepada kekerasan. Hal tersebut dikarenakan tidak semua pihak siap menerima perubahan yang sedemikian cepat, dan tentu akan mempengaruhi berbagai bidang dalam kehidupan.
Revolusi dan kemerdekaan sangat erat kaitannya, karena suatu proses kemerdekaan kebanyakan diperoleh melalui perubahan yang cepat dan mendasar. Pemanfaatan situasi dan kondisi juga membawa pengaruh dalam sebuah proses revolusi.  Revolusi Prancis dan revolusi perbudakan di Amerika Serikat merupakan contoh sebuah pemanfaatan situasi dan kondisi dalam memperoleh kemerdekaan yang membawa perubahan mendasar dan cepat. Kemerdekaan Indonesia adalah sebuah revolusi, karena kemerdekaan Indonesia terjadi secara cepat dan mendasar. Dalam usaha pencapaian kemerdekaannya, berbagai cara digunakan bangsa Indonesia. Mulai dari perlawanan fisik, hingga perjuangan diplomatis untuk mendapat bantuan dan pengakuan dari negara lain. Korban sudah menjadi hal yang biasa dalam usaha itu, tapi menjadi tidak biasa jika bangsa Indonesia gagal memperoleh kemerdekaannya. Kondisi negara dan tepatnya waktu juga tidak dapat dilupakan dalam pencapaiaan revolusi ini. Walaupun ada nuansa keberuntungan, tapi kemampuan para tokoh untuk memanfaatkan waktu tersebut harus diperhitungkan.
      Revolusi dalam gerak sejarah, merupakan gejala peradaban umat manusia yang harus ditafsirkan sebagai catatan masa lalu yang harus diungkap, dibicarakan, serta mengangkat hal-hal yang tabu untuk dibicarakan.  Revolusi di Indonesia tidak lah serta merta ditelan mentah-mentah sebagai suatu catatan ingatan, tetapi labih dari itu. Tapi Sejarah lebih membicarakan pada aspek makna, refleksi peristiwa yang terjadi pada rekaman jejak masa lalu, sehingga pola fikir analitis dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu dalam kurun waktu revolusi Indonesia harus dikaji dalam berbagai prespektif.
MAKNA SEBUAH REVOLUSI INDONESIA
      Berfikir historis mewajibkan kita mencarri titik temu yang saling dikotomi (bertolak belakang), alasan itu sangat mendasar karena beragamanya pandangan dalam memaknai sebuah kata revolusi khusunya di Indonesia. Selain itu tipologi cara berfikir ini memang tidak terlepas pada : pertama,cara berfikir kita selama ini adalah warisan yang tidak dapat disingkirkan, kedua jika tidak berusaha menyingkirkan warisan itu, maka kita harus menggunakan presentisme yang melihat  masa lalu dengan kacamata sekarang.[2]
      Dalam teori revolusi, Karl Marx mengatakan bahwa perkembangan masyarakat di tingkat kekuatan produksi material masyarakat berada dalam pertentangan dengan keberadaan hubungan produksi di tempat mereka bekerja. Bentuk perkembangan kekuatan produksi itu lantas berubah menjadi pengekangan (penindasan). Konflik antara kekuatan produksi baru dengan hubungan produksi lama itulah yang menjadi gerakan revolusi.[3] Istilah revolusi dalam terminology Ali Syariati sangat berbeda,  walaupun Karl Marx dan Ali Syari’ati mempunyai kesamaan sebagai seorang sosialis. Bagi Ali Syari’ati, Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan. Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati menurut Shahrough Akhlavi adalah ”Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk mengubah dunia”.[4] Manusia sebagai khalifah digambarkan oleh Syari’ati sebagai manusia individu yang dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan sebegai individu. Karenanya, manusia adalah individu yang otonom, mempunyai kesadaran, mempunyai daya kreatifitas, dan mempunyai kebebasan kehendak. Pemikiran Syari’ati ini dipengaruhi oleh Eksistensialisme yang menekankan kebebasan dan otonomi individual.
Dua Prespektif diatas menunjukan makna yang berbeda tentang terminologi sebuah revolusi, akan tetapi hemat penulis revolusi Indonesia mengandung arti sebagai usaha untuk mencapai kemerdekaanya yang mempunyai makna tersendiri, yakni menuju Negara yang anti asing (kolonial), secara lebih luas dapat digambarkan sebagai i’tikad perubahan total dalam tatanan masyarakat  makro pada umumnya. Baik secara politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Untuk menguatkan argumentasi penulis, sekiranya kita dapat menarik kesimpulan dari berbagai definisi mengenai revolusi, namun semua definisi itu mengandung unsur-unsur perubahan (change) yang menyangkut Negara. Ada yang mengandung unsur paksaan (force), kekerasan (violence) dan apa-apa yang tidak termasuk dalam kategori unsur-unsur tersebut. Meskipun berbeda dengan definisi diatas, sekiranya pengertian revolusi dapat didefinisikan mendekati kenyataan  sebagai berikut “ revolusi adalah tindakan memaksa untuk mengganti pemerintah (rezim) ataupun untuk mengganti proses-proses pemerintahan”[5]. Revolusi memang mempunyai makna sentral bagi persepsi Bangsa Indonesia, peristiwa yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949 merupakan revolusi yang dipandang sebagai manifestasi tertinggi dari tekad nasional, [6] lambang kemandirian suatu bangsa, dan bagi mereka yang terlibat didalamnya maka revolusi adalah pengalaman emosional luar biasa dengan rakyat yang berpartisipasi langsung.[7]
Proklamasi RI pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan definisi diatas bisa kita tarik kesimpulan adalah sebagai revolusi. Alasan yang mendasar dikarenakan pada saat itu suatu sistem legalitas (kolonial) diganti dengan sistem legalitas yang lain. Dalam artian sistem legalitas kemaharajaan Jepang (Nippon) yang dilaksanakan oleh tentara pendudukannya di Indonesia diganti dengan sistem legalitas Indonesia merdeka.
REVOLUSI DALAM PRESPEKTIF SOEKARNO, HATTA DAN SYAHRIR
      Secara historis, konsepsi revolusi Indonesia baik masa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan mengalami diskursus bagi kalangan revolusioner termasuk Ir. Soekarno, Bung Hatta, dan Syahrir. Perbedaan faham bahwa suatu “revolusi belum selesai” dan “revolusi telah selesai” pernah mewarnai perkembangan sejarah revolusi tersebut. Seperti kontras sekali konsepsi Bung Karno dan Bung Hatta dalam memahami “revolusi”. Tidak hanya keduanya Sutan Syahrir pun memiliki definisi sendiri dalam menjabarkan makna dari revolusi itu sendiri, sikapnya anti terhadap oknum-oknum yang berkolaborasi dengan Jepang, statement  ini tentu saja mengarah kepada sosok Bung Karno dan Bung Hatta yang dinilai berkolaborasi dengan pihak Jepang, sehingga asumsi kita menilai bahwa kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak lain merupakan pemberian dari Jepang.
      Tulisan  yang penulis kutip dalam jurnal Istoria (Volume 7 No.1, September, 2009), Karya Zulkarnain secara singkat mendeskripsikan makna revolusi dalam prespektif ke-3 tokoh revolusiner tersebut, sehingga kita tahu bahwasanya Revolusi Indonesia terjadi adanya pergolakan pemikiran yang berbeda-beda (dialektik).
Pertama,  Bung Karno selalu menegaskan bahwa “ revolusi belum selesai”, Ia pernah mengatakan bahwa revolusi tidak akan pernah berhasil jika dipimpin oleh ahli hukum, segala perubahan yang seharusnya cepat diambil tidak akan terlaksana karena ahli hukum itu akan banyak berkutat dengan persoalan keabsahan (legalitas) sehingga kita akan dikenang sebagai generasi peragu.  Bung Karno membagi tingkatan-tingkatan revolusi berdasarkan kurun waktu dan arah perjuangan. Tahun 1945-1955 menurutnya, adalah tingkatan physical revolution. Dalam tingkatan ini Indonesia berada dalam tahap merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan-tangan imperialis dengan pengorbanan raga dan jiwa (darah). Periode 1945-1950 adalah periode revolusi fisik. Lalu tahun 1950-1955 adalah periode bertahan hidup (survival) atau disebut juga sebagai tahun penyembuhan luka-luka, dan tahun penebus penderitaan yang dialami dalam revolusi fisik. Tahun 1956 adalah periode revolusi sosial-ekonomi. Tepatnya tahun 1955-sekarang (dan seterusnya) adalah perode amanat penderitaan rakyat.[8] Logika revolusioner Bung Karno secara singkatnya adalah sekali revolusi, kita harus meneruskan revolusi itu, sampai segala cita-citanya terlaksana.
Kedua, Berbeda dengan Bung Karno, bagi Bung Hatta “revolusi telah selesai”  hal ini sangat kontras sekali bertolak belakang dengan apa yang dikonsepsikan oleh Bung Karno bahwa “revolusi sudah selesai”. Hal itu bisa kita analisis dalam sikapnya terhadap nasionalisasi perusahaan asing (Belanda) di Indonesia pasca kemerdekaan. Bagi Bung Karno menghendaki perusahaan-perusahaan  Belanda yang dianggapnya sebagai alat kapitalisme asing itu dinasionalisasikan atau diambil alih bangsanya tanpa ganti rugi. Berbeda dengan pandangan Bung Hatta,  jika dinasionalisasikan dengan cara begitu saja, maka kemerdekaan  bangsa Indonesia tidak akan tercapai, karena kita hidup dalam lingkaran syetan kapitalis dan imperialis. Bung Hatta takut akan timbulnya  permintaanganti rugi, sedangkan kondisi keuangan negara pada saat itu sedang tekor.[9] Bung Hatta menilai bahwa segala pemberontakan, anarki politik, avounterisme, serta tindakan ekonomi yang mengacaukan yang terjadi di Republik Indonesia  merupakan akibat dari revolusi yang tidak dibendung pada waktu yang tepat. Dan diantara merdeka dan anarki, tidak terang lagi batasnya. Karena itu Bung Hatta menegaskan Bahwa “revolusi telah selesai”.[10]
Ketiga, Syahrir menuturkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus berada anti fasis (pengaruh jepang), dan kesadaran akan potensi otoriter yang terkandung dalam proses revolusi. Syahrir juga menyerukan kepada rakyat Indonesia  agar menolak semua pimpinan yang pernah aktif berkolaborasi dengan Jepang atau Belanda, dan memeprcayakan kepemimpinan revolusi hanya kepada mereka yang tidak ternodai oleh relasi semacam itu.
REFLEKSI REVOLUSI INDONESIA : PILIHAN DAN PELUANG
      Penulis merasa tertarik dengan pengakuan Soedjatmoko dalam “Symposium on Decolonisation of Indonesia”[11], dalam pengakuan pribadinya yang banyak berdialog dengan para tokoh revolusioner seperti Amir Sjarifudin, Soekarno, dan Sutan Syahrir. Ke-3 sosok tersebut merupakan mentor Soedjatmoko. Sehingga penulis merasa pengakuanya merupakan sumber sejarah dalam mengupas dinamika revolusi  Indonesia. Soedjatmoko menganalisis revolusi Indonesia dalam rangka “ pilihan dan peluang” . Selama Revolusi Indonesia berjalan ada sejumlah pilihan yang sangat penting harus ditentukan dan umumnya pilihan-pilihan itu harus dihadapi dalam konteks suatu perangkat peluang dalam suasana yang khusus. Untuk mereflesikan sebuah Sejarah pada masa Revolusi Indonesia, sekiranya ada beberapa prisma pemikiran yang dapat kita ambil dalam dialog Soedjatmoko dengan para tokoh revolusioner, pemikiran Soedjatmoko dapat kita petakan dan dikeructkan menjadi 3 analisis :

1.      Kolaborasi atau Tidak?
Salah satu pilihan penting adalah apakah akan diadakan kerja sama dengan penguasa Jepang atau tidak. Pada masa awal perkembangan pergerakan kebangsaan Indonesia telah muncul persoalan. Pemisahan antara koperator dan nonkoperator telah melintasi sebagian besar dari sejarah pergerakan kebangsaan. Tetapi pada waktu itu konteks pada dasarnya politis semata. Bagi orang Indonesia Pendudukan jepang bukan berarti suatu pilihan belaka dari satu pemerintahan kolonial ke yang lain.  Melalui kerja sama Soekarno-Hatta mereka mendirikan organisasi massa yang lambat laun, ketika keadaan perang semakin memburuk, makin lama makin dikuasai oleh pihak Jepang sendiri. Dengan kebijakan Pemerintah Jepang seumpamnya melarang penggunaan bahasa Belanda  dengan demikian memaksak elite Indonesia untuk berbicara bahasa Indonesia. Dengan begitu Jepang membantu mengurangi jarak sosial yang besar yang pernah ada pada rezim kolonial Belanda.[12] Jadi pendudukan jepang turut membantu meletakan dasar bagi sebuah politik Indonesia yang tunggal, hal itu tidak dapat dirasakan sama sekali pada masa kolonial Belanda. Soekarno melihat revolusi dalam konteks kolaborasi dengan penguasa Jepang pada dasarnya Soekarno melihat sekutu sebagai musuh yang nyata. Kerja sama dengan Jepang dapat dimanfaatkan untuk disesuaikan dengan cita-cita kebangsaan Indonesia.  Tak dapat diragukan lagi keputusan Soekarno itu menguntungkan bagi tentara pendudukan Jepang, bersamaan dengan itu ia membenarkan  tindakannya dengan alasan bahwa ia melayani kepentingan jangka panjang dari nasionalisme Indonesia. Dengan cara demikian, Bung Karno turut menciptakan sebuah policyyang baru, meskipun banyak alasan-alasanya untuk bertindak demikian telah terbukti salah. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan sosok pemuda (golongan muda) dalam menafsirkan kemerdekaan nonkooperatif dengan pihak Jepang. Dalam arti kemerdekaan Indonesia  merupakan hadiah dari asing? Lantas pantaskah soekarno sebagai revolusioner? Sementara andil besar peran pemuda Indonesia terlupakan dalam pentas sejarah kemerdekaan Indonesia? Barangkali tanpa adanya penculikan yang bertempat di Rengasdengklok akan kah Indonesia merdeka pada saat 17 Agustus 1945? Atau kapankah Indonesia merdeka jika terus berkolaborasi dengan Jepang?
2.      Anti Jepang atau Netral?
Bung Karno sendiri masih tetap percaya akan janji militer Jepang, akan tetapi ia mendapatkan tekanan dari kedua belah pihak. Pertama, pihak Syahrir yang bersama pengikut-pengikutnya  tegas menentang kalau kemerdekaan akan diberikan sebagai “hadiah” Jepang. Ia menginginkan Kemerdekaan yang anti Jepang, anti-fasis,  dan sebanarnya telah diadakan upaya untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 16 Agustus 1945.  Kedua, tekanan dari pemuda yang tidak begitu mementingkan ideologi, tetapi menginginkan suatu keberanian untuk mengumumkan kemerdekaan.[13]3.     3. Berunding atau bertempur?
Dengan tibanya Inggris yang memboncengi NICA, perjuangan sebuah revolusi mengalami pilihan yang sulit ditengah membangun sebuah Negara yang merdeka masih belia. Pilihan dan tantanga itu dilihat dengan banyaknya konflik baik secara eksternal maupun internal.  Konflik tidak hanya sebatas pergulatan ideology dan perebutan kekuasaan dalam internal pemerintahan Negara Indonesia, tapi menghadapi bahaya dari luar. Kedatangan Inggris yang memboncengi Belanda menjadi ketakutan akan munculnya sejarah kelam akan sebuah penindasan dan penderitaan. Dengan asumsi demikian maka tidak heran jika diberbagai daerah Indonesia terjadi pertempuran dahsyat, pertempuran Surabaya,  dan Bandung lautan Api contohnya.
Saat Syahrir menjadi perdana menteri, menganggap jalan perundingan sebagai suatu yang esensial. Hal itu dimaksudkan bertujuan untuk memperoleh pengakuan internasional tentang pernyataan kemerdekaan yang meliputi daerah bekas Hindia-Belanda. Ini berarti mengindikasikan pengakuan Republik Indonesia sebagai Negara, dengan sebuah pemerintahan yang memilki atributnya. Syahrir, tentu saja tidak dapat mengatakan kepada umum alasan-alasan mengenai strateginya untuk berunding, sementara itu ada tekananan  terus menerus terhadapnya baik dari pihak militer mapun kalangan elit politikus untuk mengadakan serangan militer dalam menghadapi Belanda.[14]

     Sebagai penutup kiranya kita  memaknai Revolusi Indonesia pada dasarnya bukan merupakan sebuah semboyan semata, tetapi lebih kepada tataran aplikasi “mau dibawa kemana Bangsa Indonesia”. Revolusi dimaknai tidak hanya dianggap sebagai sebuah gerakan ratu adil/milenari, tetapi hemat penulis Revolusi Indonesia baik dalam prespektif Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, dan lain sebagainya merupakan hal yang abstrak, karena revolusi bagi penulis merupakan  sebuah konstruski apa yang sedang difikirkan yang bersifat abstrak, tapi anehnya berapa banyak orang yang kehilangan jiwanya hanya demi sebuah kata revolusi yang abstrak itu?. Kita tidak berbicara dalam konteks pengertian makna yang benar dalam deskripsi sebuah revolusi, akan tetapi dalam tulisan singkat ini penulis melihat adanya dinamika dalam perjuangan Revolusi di Indonesia. Tarik menarik kepentingan ideologi, ego sektoral masing-masing kelompok tua maupun muda, serta perbedaan faham dalam mentelurkan regulasi/kebijakan sebagai rencana strategis kedepan kehidupan bangsa Indonesia. Dalam konteks sekarang, tuntutan revolusi kian menggelegaar dan nyaring dimana-mana, juga terpuruknya kehidupan Wong cilik (kelompok akar rumput). Revolusi dapat diyakini menjadi jalan untuk melakukan lompatan sejarah peradaban umat manusia. Revolusi memang penting, tapi lebih penting adalah konsep rekonstruksi dan rekonstruktisasinya yang harus jelas dan terstruktur, sehingga bukan revolusi atas dasar sentiment politik yang temporal. Karena kita meyakini lain zaman, lain pendekatan. Dalam artian revolusi yang diagagas harus benar-benar kontekstual, massif dan jelas tujuanya.

 Catatan Kaki :
[1]  Sartono Kartodirjo. Pemberontakan Petani Banten 1888, jalan dan Kelanjutanya Sebuah Studi, Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, Ter. Hasan Bashri. Jakarta : Pustaka Jaya.1984. Hlm. 24. Lihat Juga dalam Zulkarnain. Istoria, Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah, Volume 7 No.1. September 2009. Hlm 82.

[2] Sam Winerburg. Berfikir Historis : Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa lalu, terj. Masri Maris. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2006. Hlm.17-18

[3] Sarbini. Islam di Tepian Revolusi, Ideologi Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta : Pilar Media. 2005. Hlm. XI

[4] ”Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern :Ekky Malaky. 2004. Hlm. 119

[5] Nugroho Notosusanto. Proklamasi dan Revolusi . Jakarta : Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke-70. 1972. Hlm.289

[6]  Lihat Zulkarnain, dalam Jurnal,  Istoria : Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah. Yogyakarta : ISSN. Hlm.85

[7]  J.D. Legge. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemmerdekaan : Peranan Kelompok Syahrir.Terj. Hasan Basri, Jakarta : Pustaka Utama Graffiti. 1993. Hlm.1-2 

[8] Departemen Penerangan RI. Tujuh Bahan pokok Indoktrinasi dengan Tambahan Re-So-Pim tahun kemenangan Genta Suara revolusi: Surabaya : Perjetekan Negara dan Pers Nasional. 1963. Hlm.158.

[9]  Lihat kembali Nugroho Notosusanto. Proklamasi dan Revolusi . Jakarta : Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke-70. 1972. Hlm. 463.

[10] Wawan Tunggal Alam. Demi Bagsaku pertentangan Soekarno vs Hatta. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2003. Hlm. 464

[11]  Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam Jurnal Sejarah :Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 1. Jakarta : MSI dan bekerja sama dengan PT Gramedia Pustaka Utama. Merupakan isi pemikiran Soedjatmoko dalam acara Symposium on Decolonisation of Indonesia, Rooselvelt Study Center.Middelburg, Nederland, 2 September 1987.

[12] Soedjatmoko. Jurnal Sejarah :Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 1. Jakarta : MSI. Hlm. 5

[13] Ibid, Hlm. 8

[14] Ibid, Hlm 9-10.