Rabu, 26 Desember 2012

Izinkan Aku memilih jalan ku Cinta


Assalamu’alaikum wr.wb

Segala puji bagi Allah Swt…
Syukur kepada Allah SWt yang telah mngaruniakan nafas padaku dan padamu dinda untuk segera memperbaharui Cinta yang terlarang ini.
Ukhti……..rasanya aku telah menemukan kekasih yang lebih baik darimu, yang tak pernah lelah  memberi  perhatianya kepada Ku setiap detik, menit dalam hembusan hidupku ini. Dan DIA tidak pernah tidur dalam menjaga Ku.

Maaf Ukhti…..bagiku kau bukan apa-apanya nya dibadingkan dengan DIA, kau sangat lemah, kecil dan kerdil dimata-Nya. Ukhti…..Aku khawatir apa yang telah kita lakukan menjalani hubungan selama  4 tahun ini membuat_nya marah dan Murka kepada Kita semua. Akad , ijab dan Kabul yang 4 tahun silam Aku katakan hanyalah Perkataan sesaat yang membuat Kita tersesat dan terjerembat dalam lembah kehinaan.

Ukhti……Sesungguhnya Hubungan yang qta jalani hanyalah Cinta yang fana dan Sementara, tak ada cinta yang abadi, tak ada pengertian sampai mati, tak ada kasih sayag membuat Kita takut kehilangan. Percaya atau tidak mungkin Kita dulu merasakanya. Maafkan Aku yang harus melupakanmu dan menutup buku lembaran masa lalu, biar ini sebagai sejarah yang tak akan terulang dan menjadi peristiwa yang unik.

Ukhti,,,,,,,Aku tau kata-kata ini menyakitkan untuk aku ucapkan kepadamu, namun lebih sakit lagi dengan cinta yang semu dan siksa akan Cinta yang penuh nafsu ini. 4 tahun lalu sesungguhnya kita sudah memperkosa arti cinta Kita, maafkan tangan ini yang memegang tangan mu, Ku tak ingin yg ku pegang itu adalah buah Jakkum di neraka. Kaki ini selalu berzinah ketika aku hendak berkhalwat kerumahmu, mata ini berzinah ketika aku melihat senyum mu yang palsu, mulut ini berzinah ketika aku mengucapkan kata I love You,  aku juga bingung apakah yang Aku katakan itu adalah Cinta atau nafsu belaka yang Hina.

Ukhti,,,,jangan marah ya…….aku melanggar janji Ku kepadamu, janji yang menjeruji ditirai besi jahanami. Maafkan aku yang harus berpaling darimu untuk mencintai-NYA. Ya ukhti,,,,,kau pun bisa menjadi kekasih-Nya, syaratnya satu yaitu melupakan Aku.  Tak ada yang terlambat untuk kita bertaubat!!

Aku Sedih dengan keputusan yang ku ambil ini,Ku tulis dalam tetesan air mata, menangis akan dosa-dosa yang Kita perbuat, dan maafkanlah aku yang membuatmu terlibat dalam hubungan yang tidak halal ini. DIa Punya rencana indah untuk masa depan Kita. Kau pasti akan temukan orang yang lebih baik dari Aku ataupun Dirimu sebaliknya.

Ukhti,,,,,walaupun Kita tak dapat bersatu didunia fana dalam jerat Cinta yang sementara, tapi yakinlah suatu saat nanti Kita dipertemukan ditelaga surga_Nya Insya Allah,,,,,,,
kitta akan Hidup bahagia, duduk berdua dengan taman bunga surga yang permai,tentunya itu lebih romantic dan lebih indah bukan? Ku tunggu dan Ku nanti engkau di dunia yang Indah dan kita menjalin cinta hakiki didalamnya, hanya kita berdua……saat dulu kita lakukan .Insya Allah…..ukhti.

Ukhti….., aku akan segera menghapus namamu dalam bingkai hatiku, mendelet memori masa lalu yang salah arah ini dalam CPU kalbu ku, memformat ulang niat Ku dalam menentukan kurikulum haikat cinta, kan Ku tipe_x Cinta mu dalam Flash disck Fikiran Ku tentang mu. Aku ingin menjadi diriku sendiri tanpa hadirmu tanpa cintamu yang semu dan Fana, Ku harap Engkau jangan harapkan aku tuk kembali padamu, Kita akan menemukan dan mengetahui jodoh qta caranya satu dengan memperbaiki diri qta sendiri.

Maaf ukhti ....tak baik rasanya aku berlama- lama menulis surat Cinta ini dalam dunia Maya. Aku takut ini merusak hati, goresan pena terakhirku sebagai tanda Aku MELUPAKANMU. Bukan aku tak mencintaimu tapi q tak ingin kita meminggul dosa
MAAFKAN AKU YANG TELAH MENCINTAIMU!!!
Kan Ku berikan syair ini sebagai rasa sayang Ku padamu

“ Malam ini terasa berat bagiku menghapus namamu dalam kalbuku”
‘ Tapi tidak berarti robek pula cinta Kita’
‘Aku hanya ingin cinta cinta ini tetap abadi, meski tanpa goresan tinta’
‘ yang utama adalah cinta bukan tinta’
‘ betapa banyak tulisan yang melupakan Tuhanya’
‘ betapa sering qta tidak mengenal-NYA’
‘ karena Jari terlalu sering goreskan kata Cinta”


Wassalamu’alaikum wr.wb


# Catatan masa lalu  16 Juli 2009 #


Sabtu, 01 Desember 2012

Islam, Ritual dan Pembebasan



Memaknai sebuah ajaran agama tidak hanya sebatas menjalankan ritual ibadah yang dianggap sakral, bahkan dogma sebuah agama terkadang membuat kaum beragama menjadi yakin sehingga tidak terfikirkan untuk mengkaji lebih dalam dari pesan-pesan, simbol-simbol, historis, empiris maupun semiotis dalam ajaran agama. Islam adalah sebuah agama yang universal (Syumul), artinya Islam bisa dikatakan sebagai ajaran yang berlaku untuk seluruh manusia. Akan tetapi memaknai Islam ternyata mempunyai arti yang cukup dalam untuk memaknai sebuah ajaran yang bertujuan sebagai kekuatan pembebasan (Liberating Power).

Kekuatan pembebasan dalam beragama sejatinya buka sebatas ritual yang sakral, bukan difahami sebatas simbol dalam menjalankan ibadah, akan tetapi harus direnungi substansinya dalam konteks kekinian dalam menjawab permasalahan realita sosial yang ada. Agama apalagi Islam tentu bukan sekedar simbol bagi penganutnya (seharusnya). Namun pada tataran riil, Agama lebih sering hanya menjadi sebuah simbol yang berujung kamuflase dan kesadaran palsu (semu). Beragama tidak lagi sebagai sebuah keniscayaan. Beragama juga tidak lagi dihayati dengan sesungguhnya. Padahal seharusnya, Agama menjadi pembimbing bagi pemeluknya untuk mencapai kebahagiaan dunia (profan) dan akhirat (ukhrowi). Namun, seringkali orang beragama berhenti pada simbol, tanpa menangkap maknanya. Orang sering terkecoh pada simbol. Tidak jarang, jenggot dianggap simbol ke-sholihan individu, padahal sinterklas (Saint Claus) dan orang Yahudi ortodoks berjenggot lebat. Orang Islam merasa kurang afdhal kalau pergi ke masjid tidak pakai sarung, padahal orang-orang Budha di Myanmar suka pakai sarung jika hendak menjalankan ritual agamanya. Seorang khatib juga dianggap tidak patut jika tidak memakai kopiyah atau sorban. Padahal, orang-orang Hindu di India suka pakai kopiyah jika berkhutbah.
Fenomena seperti ini lahirlah sakralisasi simbol, meski ia hanya berguna jika ada makna di baliknya. Ada perbedaan antara simbol dan makna, wadah dan isi, form dan matter. Banyak orang yang hanya tahu simbol tanpa tahu reasoning maknanya. Kadang kita terjebak untuk berjuang menegakkan simbol itu dan bahkan “menyembahnya”. Celakanya, akita telah merasa mendapatkan tiket masuk surga dengan memperjuangkan simbol.

Sebagai contoh sederhana ritual puasa, haji, idul fitri, idul adha, zakat dan sebgainya sebenarnya mempunyai misi pembebasan. Dalam puasa kita dituntut untuk menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, akan tetapi puasa bisa dimaknai sebagai proses pensucian jiwa dari hal-hal keduniawian (profan), mereduksi nafsu angkara murka menuju kerahmatan Tuhan. Menawan nafsu keserakahan hingga menyebabkan miskinnya nurani yang tergadaikan oleh kebutuhan, maka tidak heran puasa jalan tetapi korupsi lancar, artinya puasa cuman sebatas ritual dan belum bisa memerdekakan kita sepunuhnya. Maka puasa yang kita fahami harus digugat!
Ritual haji mempunyai maksud pembebasan, di dalamnya penuh dengan metafor-metafor pembebasan. Penggunaan pakaian ihram adalah simbol pembebasan manusia dari jeratan-jeratan material, serta memandang manusia sama dimata Tuhan tidak membedakan status sosial hamba-Nya. Melempar jumroh juga metafor dan pembebasan manusia dari godaan syaitan, tapi kadang kita belum mampu melempar syetan keluar dari hati kita. Zakat juga sarat dengan metafor-metafor pembebasan. Penentuan 2,5% dan kekayaan yang harus kita zakatkan dan harta yang kita miliki mengisyaratkan bahwa kita diajarkan untuk tidak begitu "menuhankan" materi. Sebaliknya uang yang kita miliki harus disisihkan sebagian untuk pembebasan sesama kita dan belenggu kemiskinan material. Sebab disadari betul dari kemiskinan material ini akan berakibat pada munculnya kemiskinan-kemiskinan yang lain, termasuk di dalamnya kemiskinan keimanan. Inilah barangkali ini makna yang termaktub dalam hadits Nabi bahwa “Kefakiran akan cenderung kepada kakafiran”.

Memaknai ritual ibadah dalam Islam, hemat penulis bukan sekadar sebatas sholeh secara individu, namun harus sholeh secara sosial. Muslim di Indonesia sangat mendominasi, orang naik haji meledak tiap tahunnya, perayaan idul fitri, Idul adha sangat antusias dijalankan, majlis ta’lim dimana-mana, masjid/mushola dibangun diberbagai arah. Lantas kenapa korupsi menggurita tiap tahunnya?. Kesenjangan sosial dimana-mana, Konflik etnis dan agama kian marak, keadilan tidak merata, supremasi hukum yang lemah, bukankah Islam itu syumul? Dan bahkan mengklaim sebagai umat terbaik? Sekiranya umat islam harus digugat! Karena ada yang salah kita memahami sebuah ajaran agama. Jika ibadah tak merasuk ke dalam jiwa, segenap prosesi tu hanya sebagai kehadiran fisik semata. Sekadar ritual luar belaka. Sekadar rukun, syarat dan status. Sedangkan hal-hal yang spiritual tertinggal di belakang, tak menembus wilayah hakikat dan ma'rifat. Makna dan fungsi ibadah tercecer di luar. Sehinga tak ada taslim, penyerahan diri yang total. Tak ada takhrij, proses mengeluarkan diri dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Tak ada tanwir, yaitu pencerahan diri yang membuat hidup menjadi bersinar. Tak ada tahrir, Pembebasan diri dari segenap berhala kehidupan. Sehingga Ibadah yang dilakukan belum memberikan solusi perbaikan dalam tataran masyarakat kolektiv.

Kamis, 18 Oktober 2012

“Mencari Kembali Jalan menuju Identitas Kebudayan Indonesia dalam kacamata Historis”.




Oleh : Ahmad Bachtiar Faqihuddin

Identitas kebudayaan nasional Indonesia kini mengalami dilema, hal itu dikarenakan identitas yang menjadi ciri bangsa Indonesia kian dipersimpang jalan. Identitas kebudayaan Indonesia tidak terjadi dengan sendirinya, namun merupakan proses pergumulan sejarah dan pencarian jati diri yang sangat panjang. Indonesia yang berada dalam proses pembentukan negara-bangsa menghadapi banyak tantangan baik dari dalam maupun luar negeri, yang memerlukan pembenahan dalam berbagai sektor kehidupan. Pasca revolusi Agustus 1945 saat Indonesia mencari identitas kebudayaan nasional adalah momentum perdebatan dalam mencari sebuah pengertian identitas kebudayaan nasional Indonesia, maka tidak heran pada era ini muncullah Pencarian identitas kebudayaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lain dengan aliran dan ideologi masing-masing, seperti LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia), HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam), Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dan lain sebagainya.

Aliran-aliran kebudayaan diatas tidak dipungkiri beraflilasi dengan Partai politik atau organisasi massa (ormas). LKN berafliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Lekra dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Lesbumi dengan Nahdhlatul Ulama (NU) dan lain sebagainya yang mewarnai corak serta warna bagi masyarakat Indonesia. Bagi Lekra misalnya kesenian tidak sekadar sebagai seni keindahan atau hiburan tetapi seni yang sadar pada politik, negara, partai, rakyat, perjuangan revolusi dan bahasa diplomasi-komunikasi-antar negara. Program-program Lekra memperlihatkan perhatian yang cukup besar pada seni daerah. Hal ini bisa dilihat dari laporan kongres, konfrensi nasional, maupun pleno Lekra. Misalnya pada Konfrensi Nasional I di Bali (1962), Lekra dari Sumatera Selatan diwakili oleh Z. Trisno melaporkan selama satu tahun telah mengadakan investarisasi dongeng-dongeng, tari-tari, lagu-lagu daerah dan mengumpulkan bahan-bahan untuk penyelidikan akasara-akasara dan bahasa daerah. LEKRA Sulawesi Tenggara, yang diwakili oleh Mahmud Jusmanor, juga melaporkan pengembangan tari-tari daerah dan pengembangan tari-tari suku daerah lainnya.[1] PKI dengan idiologinya yang sangat kental dengan anti imperialism dan kapitalisme ini menandakan langkah serta progresivitas PKI mampu memberikan corak kebudayaan tersendiri dengan pengaruh yang besar, hal inilah memunculkan terbentuknya Lesbumi pada tahun 1962 sebagai respon upaya penolakan terhadap komunisme[2]. Lesbumi membawa warna yang berbeda dari Lekra. Lesbumi membawa genre “religius”. Ia merupakan manifestasi dari cita-cita dan gagasan kesatuan Nasakom Soekarno yang meniscayakan terhadap agama sebagai unsur mutlak dalam nation and character building di bidang kebudayaan. Pendefinisian ini sejalan dengan tujuan revolusi Indonesia yang menginginkan tercapainya masyarakat yang adil makmur lahir batin yang diridlai Allah. Diyakini bahwa jalannya revolusi Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Manifesto Politik, menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam kesatuan Pancasila sebagai landasan ideal. Lesbumi dengan semboyan Humanisme religius­-nya juga memberikan alternatif baru dalam polemik dalam mementukan arah kebudayaan yang terjadi antara Lekra yang beraliran realisme sosialis dan Manifes Kebudayaan yang beraliran humanisme universal. Selain Lesbumi, Manikebu juga menolak jargon “politik adalah panglima” yang menjadi motor penggerak aktivitas Lekra, dan semboyan “seni untuk seni” (l’ art pour l’ art). [3]
Lembaga kebudayaan diatas memang sangat membantu dalam penemuan jati diri bangsa Indonesia sebagai identitas serta simbol kebangsaan, pergolakan kebudayaan antara LKN, Lesbumi, Manikebu, HSBI semestinya dipandang bukan perdebatan kebudayaan, tapi hemat penulis lebih mengrah kepada kepentingan politik mengatasnamakan kebudayaan. Hal itu memang lumrah adanya dalam dinamika sebuah bangsa yang beranjak dewasa ditengah masyarakat yang majemuk (plural). Dengan Tumbangnya Orde Lama, secara tidak langsung bergantinya era Orde Baru membawa dampak pergeseran kebudayaan dari Indonesia sentris ke Barat sentris  (Kebarat-baratan). Pada masa Orde Lama (orla) diskursus kebudayaan dan kesusatraan begitu kaya, mulai dari ketoprak, film Indonesia, tari-tari daerah menjadi aset yang sangat berharga. Karya-karya Lekra, Lesbumi, Manikebu, HSBI bagai terkubur dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Produk hukum beserta regulasi (kebijakan) Soeharto yang berbau Orde Lama menjadi fatwa haram untuk mempelajari bahkan menjadi bahan perdebatan sampai era reformasi sekarang ini. Hal ini hemat penulis mengidintesifikasikan ada upaya ahistoris dengan penghapusan jejak identitas kebudayaan Indonesia serta derasnya arus westernisasi yang menggerogoti sendi-sendi jati diri bangsa yang lama diperjuangkan. Produk hukum Soeharto membawa dampak menjamurnya kapitalisme secara budaya yang diboncengi kepentingan barat (AS) serta sekutunya, imperialisme dalam sumber-sumber ekonomi sangat bertentangan dengan landasan negara yakni pancasila yang lebih menganut kepada faham sosialisme (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Disamping itu aura politik Soekarno yang anti penjajahan asing (imperialis) saat itu merambah  ke aksi  kebudayaan.  Misalnya mobilisasi massa untuk ganyang Malaysia (karena konsolidasi  Malaysia akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga jadi ancaman terhadap kemerdekaan Indonesia) dan aksi boikot film-film import oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) karena dinilai berisi propaganda yang berbahaya bagi kesadaran massa. Disisi lain hal ini berbanding terbalik dengan era Soeharto, liberalisasi ekonomi praktis membawa masuk produk-produk budaya dari peradaban barat ke Indonesia, mengubah budaya masyarakat kita. Yang tadinya hanya mengenal budaya  kerakyatan (local genius) dan sisa-sisa feodalisme, sejak adanya gelombang  kapitalisme kita pun tahu: diskotik, Coca Cola, MTV, mode/fashion yang bisa membuat penampilan para remaja kita secara homogen dan hedonisme.

Era globalisasi dan kapitalisme global menyeret bangsa kita kepada hilangnya identitas budaya yang menjadi icon bangsa yang besar, menjamurnya budaya asing seperti Boy Band, Jazz, pop tanpa adanya filter menyebabkan hilangnya apa yang menjadi symbol Indonesia sebagai bangsa yang plural. Hemat penulis untuk memaknai sebuah apa itu Identitas Kebudayaan nasional Indonesia sekiranya aspek-aspek nilai-nilai, norma, idiologi, serta keberagamaan ke-agama-an harus menjadi solusi guna mempertahankan symbol persatuan dan kesatuan. Maka penulis kiranya berharap lembaga-lembaga kebudayaan dulu yang pernah dan masih ada semisal Lekra, Lesbumi, HSBI, Manikebu dan lain sebagainya kembali digalakan dalam membendung pergeseran dan kritik kebudayaan pro westernisasi. Dalam konteks kekinian suatu perjuangan kebudayaan harus memiliki landasan ideologi, yakni harus punya cita-cita membangun masyarakat sejahtera, modern, berpemerintahan bersih (good governnance) dan pro rakyat/kerakyatan. Kita boleh saja berkata dengan asumsi yang menyatakan bahwa Indonesia sedang dijajah baik ekonomi, maupun kebudayaan, dalam hal ini Sekaranglah keharusan kita membangun gerakan Pembebasan lewat demonstrasi, lewat organisasi, dengan teater, film, seni musik, seni sastra, tari-tarian, rapat, kongres, diskusi, selebaran, pamflet  dan sebagainya sebagai jalan pencarian identitas kebudayaan Bangsa Indonesia kembali.




[1]     Tak Seorang Berniat Pulang,  Walau Mati Menanti’ dalam ‘Laporan Kebudajaan Rakjat II’, Laporan daerah-daerahI diterbitkan oleh bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat’, tanpa tahun terbit, hlm. 140-143. Lebih jelasnya lihat di http://bingkaisastra.blog.com/2010/12/23/lekra-pencarian-identitas-kebudayaan-nasional-indonesia/, diakses pada tanggal 18 Oktober 2012 pukul 22:24 WIB
[2]     Lebih jelasnya lihat dalam bukunya Choirotun Chisaan. 2008. Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan. Yogyakarta : LKIS. Hlm. 125,126
[3]     Lebih jelasnya silahkan lihat dalam skripsinya Alexander Supartono. 2000. Lekra vs Manikebu : Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965. Jakarta : STF Driyakarsa. hlm.8 


Kamis, 09 Agustus 2012

Puasa Momentum Pembebasan dan Kemerdekaan.



Bulan puasa (Ramadhan) sering kali disebut sebagai bulan suci, bulan metamorfosis dari keterbelengguan menuju merdeka. Puasa tiap tahunnya yang diselenggarakan hanya sebatas dramaturgi dan ritual keagamaan namun kurang memaknai secara substantif  bahwasanya puasa membawa misi kekuatan pembebasan (liberating power). Dalam konteks ke-Indonesiaan, momentum puasa ramadhan mempunyai arti historis-semiotis. Kemerdekaan Indonesia terlahir bertepatan dengan bulan Ramadhan jika ditarik lebih jauh mengandung pesan unsur pembebasan dan kemerdekaan dengan makna dan arti yang cukup mendalam.
Kemerdekaan yang dimaksudkan dalam konteks puasa keindonesiaan (Puasa kebangsaan) adalah spirit kemerdekaan jiwa, dan raga dari hal-hal yang membelenggu dan memborgol  kekuatan mental-spiritual. Puasa tidak hanya dijadikan ritual keagamaan secara interaksionisme simbolik, akan tetapi sebagai muhasabah atau refleksi kita agar bangsa ini benar-benar terlepas dari segala sesuatu yang membelenggu, menawan nafsu keserakahan, mereduksi  nafsu kebendaan (materi) yang dapat menyebabkan gangguan mental dari  rakyat kelas akar rumput sampai  elit kelompok tertentu.
Pembebasan dalam misi ritual puasa tidak lain adalah membebaskan jiwa atau qolbu (hati) dari penyakit-penyakit ruhani yang bisa berimplikasi pada sistem dalam masyarakat kolektiv, bangsa bahkan negara. Mental-mental ruhani yang tidak merdeka itu berdampak pada efek domino lebih luas, dari korupsi personal sampai korupsi berjama’ah yang sering kita dengar tiap tahunnya adalah bukti bahwa selama ini puasa hanya dimaknai secara ritual keagamaan, lebih celakanya lagi puasa sebagai momentum pembebasan dimaknai bebas dalam melanggar batas-batas kemanusiaan semisal bebas korupsi, bebas membodohi rakyat, bebas melakukan tindakan intoleran, dan pola-pola dekonstruktif lainnya yang menjadikan bangsa ini bangsa yang berperadaban biadab. Relasi kemerdekaan Indonesia dengan Puasa Ramadhan bukan momentum sebatas kemerdekaan fisik saja, tetapi ruh dan spirit kesolehan personal (transendental) dan Kesholehan sosial (humanisasi). Dengan demikian Puasa yang seperti inilah sejatinya puasa yang integral, Kaffah dan holistik.
Fenomena sosial seperti : Kemiskinan, kebodohan, dan kesenjangan sosial dalam  kehidupan telah menggurita di berbagai lapisan masyarakat. Umat manusia hanya berkompetisi di depan publik dengan pemberian hadiah pada saat momen religius saja, dan tidak jarang momentum itu hanya dijadikan politisasi agama guna meraup dukungan dan meraih kedudukan. Selain itu, basis kebajikan manusia kembali mengakar pada teosentrisme, sebuah prolog yang lagi-lagi dirasionalkan  demi kepentingan Tuhan yang sebenarnya. Krisis yang timbul di kalangan elite dan masyarakat kita sekarang ini karena mereka kehilangan kendali diri dan menjauh dari jalan yang sebenarnya. Bahkan, di era globalisasi, manusia sudah kehilangan solidaritas sosial. Tak salah kalau banyak yang kelaparan pada saat kita semua menjalankan ibadah puasa karena puasa hanya sekadar kewajiban. Jika pada bulan-bulan lain para elite politik seenaknya mengumbar kata-kata, selama puasa harus berlatih untuk lebih bijak dalam bertutur. Kalau pada bulan selain Ramadhan para pelaku birokrasi begitu mudah menyimpangkan anggaran negara, saat puasa mereka mesti berupaya mengakhirinya. Tidak ada momentum sekhidmat Puasa Ramadhan yang bisa dijadikan titik balik untuk membuat lompatan jauh kedepan. Sekiranya hemat saya, puasa dapat menjadi landasan untuk membangkitkan spirit kebijakan umum yang memerdekakan dan membebaskan terhadap segala sesuatu yang mebelenggu. Merdeka dari jajahan bangsa sendiri yang dengan tanpa malu meraup hak-hak rakyat dengan rakusnya. Apapun jabatan dan strata/status sosial, tatkala kita berpuasa sejatinya kita mempunyai tanggung jawab untuk merasakan apa yang orang lain rasakan.  Puasa ramadhan hanyalah bulan latihan agar kita mampu meng-hijrah-kan diri dari nafsu kebinatangan (hewani) menuju hakikat manusia yang sesungguhnya. Puasa ramadhan bukanlah ajang pertaubatan sementara yang memunculkan sikap dramaturgi tetapi berlaku konsisten  menuju jalan transformasi diri yang berangkat dari kesadaran spiritual individual dan kemudian terwuujd dalam kesadaran sosial sehingga bisa membawa manfaat bagi negeri kita tercinta ini.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Puasa Refleksi Perbaikan




Puasa merupakan momentum menuju perbaikan dari proses statis menuju dinamis, Jika menurut Al- zamaksyari dalam tafsir Al- kasyyaf, puasa merupakan tradisi umat terdahulu sejak Nabi Adam AS. Bahkan, seluruh umat terdahulu juga melaksanakan puasa dengan tujuan memupuk IMTAQ (Iman dan Taqwa), dengan bertujuan melanjutkan misi propetik agama- agama.

Misi profetik seperti ini sebenarnya harus mampu menggugah kesadaran secara kolektif dalam berbangsa dan bernegara guna mewujudkan “ Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghoffur”. Momentum puasa seharusnya dijadikan sebagai referensi paradigma berfikir yang menuju kepada transformasi sosial, artinya selama ini puasa hanya dimaknai sebagai ritual-individual (Transendental), bukan pada aspek yang lebih luas yakni ritual-sosial (Humanisasi). Maka memaknai puasa sejatinya dalam konteks pembebasan individual yang ditempatkan sebagai rutinitas-ritualitas belaka sebagaimana berlaku general, tetapi harus ditarik lebih luas guna membebaskan dari berbagai problem sosial – kemasyarakatan.

Perbedaan puasa dengan bulan- bulan lain tercermin pada pola pikir ( paradigma) keberagaman yang menjadi sorotan. Bila pada bulan bukan Ramadhan masyarakat umumnya disibukan dengan urusan memperkaya diri, bahkan korupsi kolektif ( berjama’ah) beserta jaringanya ( Mafia), tetapi pada bulan puasa ada selang waktu untuk refleksi diri (Muhasabah) , Stop kekerasan dan Korupsi !

Tuhan memerintahkan manusia untuk melaksanakan ritual keagamaan bertujuan tidak lain sebagai proses perubahan menuju perbaikan. Jika dalam kacamata islam perubahan itu dari Mu’min- Muttaqin yang selaras dengan tujuan dari puasa itu sendiri. Jika kita melihat fenomena sosial dan dikaitkan dengan hakikat puasa , seharusnya momentum puasa mampu menjadi refleksi diri dari problematika sosial yang ada. Sebagai contoh : prostitusi, perjudian, warung bar dimana- mana dan sebagainya ketika memasuki bulan Ramadhan masyarakat dan pemerintah beramai- ramai menetralisir kegiatan tersebut dengan dalih menghargai bulan Ramadhan, akan tetapi pasca ramadhan masyarakat dan pemerintah kurang begitu memperhatikan ketika problematika itu mencuat ke permukaan dan cenderung kurang menjadi sorotan. Dengan kondisi demikian, bulan Ramadhan hanya dijadikan bulan pertaubatan sementara.

Demikian pula halnya dengan korupsi yang semakin marak, politik saling sandera, konflik horizontal, yang terjadi dibeberapa tahun menandakan puasa yang dilakukan oleh sebagian yang menjalakanya (Muslim)  belum mampu menjawab realitas problem sosial. Dalam konteks ini puasa Ramadhan harus dijadikan sebagai gerbong perubahan menuju lokomotif perbaikan. Jika bangsa ini tidak belajar dari puasa sebelum- sebelumnya dengan hasil yang tidak positif  di tengah masyarakat, maka puasa jauh dari maknanya (Substansi).

Karena itu, puasa dapat menjadi landasan untuk membangkitkan spirit kebijakan umum. Apapun jabatan dan strata/status sosial, tatkala kita berpuasa sejatinya kita mempunyai tanggung jawab untuk merasakan apa yang orang lain rasakan.  Puasa ramadhan hanyalah bulan latihan agar kita mampu meng-hijrah-kan diri dari nafsu kebinatangan (hewani) menuju hakikat manusia yang sesungguhnya. Puasa ramadhan bukanlah ajang pertaubatan sementara yang memunculkan sikap Hidden kemunafikan tetapi berlaku konsisten dengan out put yang positif.

Kamis, 26 Juli 2012

Memaknai Revolusi Indonesia “Kajian Historis-analitis : Refleksi dalam bingkai Sejarah”

  
Sejarah tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, sejarah mampu menembus ruang dan waktu, melintasi batas kultural relung peradaban umat manusia. Unsur perubahan merupakan suatu hal yang dapat dipisahkan, dalam kacamata kita perubahan bisa diartikan sebagai gejala yang konstruktif atau juga sebaliknya sebagai gejala yang bersifat destruktif. Abad ke-19 merupakan periode pergolakan atau revolusi sosial  yang menyertai terjadinya perubahan sosial sebagai akibat dari pengaruh kuat lintah darat kaum kolonialisme Barat. Adanya pergeseran identitas budaya masyarakat tradisonal tentu saja menimbulkan rasa frustasi  dan teralienisasi (terasingkan). Kedaan demikian menimbulkan ledakan kekecewaan, kegalauan dan kegelisahan yang meluas. Keadaan demikian mencapai klimaks jika difokuskan di bawah satu pemimpin yang mampu membimbing potensi agresif itu pada sasaran. Sasaran tertentu yang dianggap bermusuhan atau menuju perwujudan gagasan-gagasan tentang milenari.[1]
Revolusi adalah sebuah perubahan dalam kurun waktu yang singkat dan terjadi dengan proses yang cepat. Revolusi merupakan gambaran dari keinginan terbesar individu maupun kelompok, dalam konteks ini adalah bangsa, untuk mencapai sesuatu yang menjadi tujuan gerakan revolusi itu sendiri. Oleh karena itu, sebuah pergerakan revolusi selalu diwarnai dengan pertentangan, perpecahan, yang kemudian mengarah kepada kekerasan. Hal tersebut dikarenakan tidak semua pihak siap menerima perubahan yang sedemikian cepat, dan tentu akan mempengaruhi berbagai bidang dalam kehidupan.
Revolusi dan kemerdekaan sangat erat kaitannya, karena suatu proses kemerdekaan kebanyakan diperoleh melalui perubahan yang cepat dan mendasar. Pemanfaatan situasi dan kondisi juga membawa pengaruh dalam sebuah proses revolusi.  Revolusi Prancis dan revolusi perbudakan di Amerika Serikat merupakan contoh sebuah pemanfaatan situasi dan kondisi dalam memperoleh kemerdekaan yang membawa perubahan mendasar dan cepat. Kemerdekaan Indonesia adalah sebuah revolusi, karena kemerdekaan Indonesia terjadi secara cepat dan mendasar. Dalam usaha pencapaian kemerdekaannya, berbagai cara digunakan bangsa Indonesia. Mulai dari perlawanan fisik, hingga perjuangan diplomatis untuk mendapat bantuan dan pengakuan dari negara lain. Korban sudah menjadi hal yang biasa dalam usaha itu, tapi menjadi tidak biasa jika bangsa Indonesia gagal memperoleh kemerdekaannya. Kondisi negara dan tepatnya waktu juga tidak dapat dilupakan dalam pencapaiaan revolusi ini. Walaupun ada nuansa keberuntungan, tapi kemampuan para tokoh untuk memanfaatkan waktu tersebut harus diperhitungkan.
      Revolusi dalam gerak sejarah, merupakan gejala peradaban umat manusia yang harus ditafsirkan sebagai catatan masa lalu yang harus diungkap, dibicarakan, serta mengangkat hal-hal yang tabu untuk dibicarakan.  Revolusi di Indonesia tidak lah serta merta ditelan mentah-mentah sebagai suatu catatan ingatan, tetapi labih dari itu. Tapi Sejarah lebih membicarakan pada aspek makna, refleksi peristiwa yang terjadi pada rekaman jejak masa lalu, sehingga pola fikir analitis dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu dalam kurun waktu revolusi Indonesia harus dikaji dalam berbagai prespektif.
MAKNA SEBUAH REVOLUSI INDONESIA
      Berfikir historis mewajibkan kita mencarri titik temu yang saling dikotomi (bertolak belakang), alasan itu sangat mendasar karena beragamanya pandangan dalam memaknai sebuah kata revolusi khusunya di Indonesia. Selain itu tipologi cara berfikir ini memang tidak terlepas pada : pertama,cara berfikir kita selama ini adalah warisan yang tidak dapat disingkirkan, kedua jika tidak berusaha menyingkirkan warisan itu, maka kita harus menggunakan presentisme yang melihat  masa lalu dengan kacamata sekarang.[2]
      Dalam teori revolusi, Karl Marx mengatakan bahwa perkembangan masyarakat di tingkat kekuatan produksi material masyarakat berada dalam pertentangan dengan keberadaan hubungan produksi di tempat mereka bekerja. Bentuk perkembangan kekuatan produksi itu lantas berubah menjadi pengekangan (penindasan). Konflik antara kekuatan produksi baru dengan hubungan produksi lama itulah yang menjadi gerakan revolusi.[3] Istilah revolusi dalam terminology Ali Syariati sangat berbeda,  walaupun Karl Marx dan Ali Syari’ati mempunyai kesamaan sebagai seorang sosialis. Bagi Ali Syari’ati, Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan. Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati menurut Shahrough Akhlavi adalah ”Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk mengubah dunia”.[4] Manusia sebagai khalifah digambarkan oleh Syari’ati sebagai manusia individu yang dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan sebegai individu. Karenanya, manusia adalah individu yang otonom, mempunyai kesadaran, mempunyai daya kreatifitas, dan mempunyai kebebasan kehendak. Pemikiran Syari’ati ini dipengaruhi oleh Eksistensialisme yang menekankan kebebasan dan otonomi individual.
Dua Prespektif diatas menunjukan makna yang berbeda tentang terminologi sebuah revolusi, akan tetapi hemat penulis revolusi Indonesia mengandung arti sebagai usaha untuk mencapai kemerdekaanya yang mempunyai makna tersendiri, yakni menuju Negara yang anti asing (kolonial), secara lebih luas dapat digambarkan sebagai i’tikad perubahan total dalam tatanan masyarakat  makro pada umumnya. Baik secara politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Untuk menguatkan argumentasi penulis, sekiranya kita dapat menarik kesimpulan dari berbagai definisi mengenai revolusi, namun semua definisi itu mengandung unsur-unsur perubahan (change) yang menyangkut Negara. Ada yang mengandung unsur paksaan (force), kekerasan (violence) dan apa-apa yang tidak termasuk dalam kategori unsur-unsur tersebut. Meskipun berbeda dengan definisi diatas, sekiranya pengertian revolusi dapat didefinisikan mendekati kenyataan  sebagai berikut “ revolusi adalah tindakan memaksa untuk mengganti pemerintah (rezim) ataupun untuk mengganti proses-proses pemerintahan”[5]. Revolusi memang mempunyai makna sentral bagi persepsi Bangsa Indonesia, peristiwa yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949 merupakan revolusi yang dipandang sebagai manifestasi tertinggi dari tekad nasional, [6] lambang kemandirian suatu bangsa, dan bagi mereka yang terlibat didalamnya maka revolusi adalah pengalaman emosional luar biasa dengan rakyat yang berpartisipasi langsung.[7]
Proklamasi RI pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan definisi diatas bisa kita tarik kesimpulan adalah sebagai revolusi. Alasan yang mendasar dikarenakan pada saat itu suatu sistem legalitas (kolonial) diganti dengan sistem legalitas yang lain. Dalam artian sistem legalitas kemaharajaan Jepang (Nippon) yang dilaksanakan oleh tentara pendudukannya di Indonesia diganti dengan sistem legalitas Indonesia merdeka.
REVOLUSI DALAM PRESPEKTIF SOEKARNO, HATTA DAN SYAHRIR
      Secara historis, konsepsi revolusi Indonesia baik masa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan mengalami diskursus bagi kalangan revolusioner termasuk Ir. Soekarno, Bung Hatta, dan Syahrir. Perbedaan faham bahwa suatu “revolusi belum selesai” dan “revolusi telah selesai” pernah mewarnai perkembangan sejarah revolusi tersebut. Seperti kontras sekali konsepsi Bung Karno dan Bung Hatta dalam memahami “revolusi”. Tidak hanya keduanya Sutan Syahrir pun memiliki definisi sendiri dalam menjabarkan makna dari revolusi itu sendiri, sikapnya anti terhadap oknum-oknum yang berkolaborasi dengan Jepang, statement  ini tentu saja mengarah kepada sosok Bung Karno dan Bung Hatta yang dinilai berkolaborasi dengan pihak Jepang, sehingga asumsi kita menilai bahwa kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak lain merupakan pemberian dari Jepang.
      Tulisan  yang penulis kutip dalam jurnal Istoria (Volume 7 No.1, September, 2009), Karya Zulkarnain secara singkat mendeskripsikan makna revolusi dalam prespektif ke-3 tokoh revolusiner tersebut, sehingga kita tahu bahwasanya Revolusi Indonesia terjadi adanya pergolakan pemikiran yang berbeda-beda (dialektik).
Pertama,  Bung Karno selalu menegaskan bahwa “ revolusi belum selesai”, Ia pernah mengatakan bahwa revolusi tidak akan pernah berhasil jika dipimpin oleh ahli hukum, segala perubahan yang seharusnya cepat diambil tidak akan terlaksana karena ahli hukum itu akan banyak berkutat dengan persoalan keabsahan (legalitas) sehingga kita akan dikenang sebagai generasi peragu.  Bung Karno membagi tingkatan-tingkatan revolusi berdasarkan kurun waktu dan arah perjuangan. Tahun 1945-1955 menurutnya, adalah tingkatan physical revolution. Dalam tingkatan ini Indonesia berada dalam tahap merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan-tangan imperialis dengan pengorbanan raga dan jiwa (darah). Periode 1945-1950 adalah periode revolusi fisik. Lalu tahun 1950-1955 adalah periode bertahan hidup (survival) atau disebut juga sebagai tahun penyembuhan luka-luka, dan tahun penebus penderitaan yang dialami dalam revolusi fisik. Tahun 1956 adalah periode revolusi sosial-ekonomi. Tepatnya tahun 1955-sekarang (dan seterusnya) adalah perode amanat penderitaan rakyat.[8] Logika revolusioner Bung Karno secara singkatnya adalah sekali revolusi, kita harus meneruskan revolusi itu, sampai segala cita-citanya terlaksana.
Kedua, Berbeda dengan Bung Karno, bagi Bung Hatta “revolusi telah selesai”  hal ini sangat kontras sekali bertolak belakang dengan apa yang dikonsepsikan oleh Bung Karno bahwa “revolusi sudah selesai”. Hal itu bisa kita analisis dalam sikapnya terhadap nasionalisasi perusahaan asing (Belanda) di Indonesia pasca kemerdekaan. Bagi Bung Karno menghendaki perusahaan-perusahaan  Belanda yang dianggapnya sebagai alat kapitalisme asing itu dinasionalisasikan atau diambil alih bangsanya tanpa ganti rugi. Berbeda dengan pandangan Bung Hatta,  jika dinasionalisasikan dengan cara begitu saja, maka kemerdekaan  bangsa Indonesia tidak akan tercapai, karena kita hidup dalam lingkaran syetan kapitalis dan imperialis. Bung Hatta takut akan timbulnya  permintaanganti rugi, sedangkan kondisi keuangan negara pada saat itu sedang tekor.[9] Bung Hatta menilai bahwa segala pemberontakan, anarki politik, avounterisme, serta tindakan ekonomi yang mengacaukan yang terjadi di Republik Indonesia  merupakan akibat dari revolusi yang tidak dibendung pada waktu yang tepat. Dan diantara merdeka dan anarki, tidak terang lagi batasnya. Karena itu Bung Hatta menegaskan Bahwa “revolusi telah selesai”.[10]
Ketiga, Syahrir menuturkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus berada anti fasis (pengaruh jepang), dan kesadaran akan potensi otoriter yang terkandung dalam proses revolusi. Syahrir juga menyerukan kepada rakyat Indonesia  agar menolak semua pimpinan yang pernah aktif berkolaborasi dengan Jepang atau Belanda, dan memeprcayakan kepemimpinan revolusi hanya kepada mereka yang tidak ternodai oleh relasi semacam itu.
REFLEKSI REVOLUSI INDONESIA : PILIHAN DAN PELUANG
      Penulis merasa tertarik dengan pengakuan Soedjatmoko dalam “Symposium on Decolonisation of Indonesia”[11], dalam pengakuan pribadinya yang banyak berdialog dengan para tokoh revolusioner seperti Amir Sjarifudin, Soekarno, dan Sutan Syahrir. Ke-3 sosok tersebut merupakan mentor Soedjatmoko. Sehingga penulis merasa pengakuanya merupakan sumber sejarah dalam mengupas dinamika revolusi  Indonesia. Soedjatmoko menganalisis revolusi Indonesia dalam rangka “ pilihan dan peluang” . Selama Revolusi Indonesia berjalan ada sejumlah pilihan yang sangat penting harus ditentukan dan umumnya pilihan-pilihan itu harus dihadapi dalam konteks suatu perangkat peluang dalam suasana yang khusus. Untuk mereflesikan sebuah Sejarah pada masa Revolusi Indonesia, sekiranya ada beberapa prisma pemikiran yang dapat kita ambil dalam dialog Soedjatmoko dengan para tokoh revolusioner, pemikiran Soedjatmoko dapat kita petakan dan dikeructkan menjadi 3 analisis :

1.      Kolaborasi atau Tidak?
Salah satu pilihan penting adalah apakah akan diadakan kerja sama dengan penguasa Jepang atau tidak. Pada masa awal perkembangan pergerakan kebangsaan Indonesia telah muncul persoalan. Pemisahan antara koperator dan nonkoperator telah melintasi sebagian besar dari sejarah pergerakan kebangsaan. Tetapi pada waktu itu konteks pada dasarnya politis semata. Bagi orang Indonesia Pendudukan jepang bukan berarti suatu pilihan belaka dari satu pemerintahan kolonial ke yang lain.  Melalui kerja sama Soekarno-Hatta mereka mendirikan organisasi massa yang lambat laun, ketika keadaan perang semakin memburuk, makin lama makin dikuasai oleh pihak Jepang sendiri. Dengan kebijakan Pemerintah Jepang seumpamnya melarang penggunaan bahasa Belanda  dengan demikian memaksak elite Indonesia untuk berbicara bahasa Indonesia. Dengan begitu Jepang membantu mengurangi jarak sosial yang besar yang pernah ada pada rezim kolonial Belanda.[12] Jadi pendudukan jepang turut membantu meletakan dasar bagi sebuah politik Indonesia yang tunggal, hal itu tidak dapat dirasakan sama sekali pada masa kolonial Belanda. Soekarno melihat revolusi dalam konteks kolaborasi dengan penguasa Jepang pada dasarnya Soekarno melihat sekutu sebagai musuh yang nyata. Kerja sama dengan Jepang dapat dimanfaatkan untuk disesuaikan dengan cita-cita kebangsaan Indonesia.  Tak dapat diragukan lagi keputusan Soekarno itu menguntungkan bagi tentara pendudukan Jepang, bersamaan dengan itu ia membenarkan  tindakannya dengan alasan bahwa ia melayani kepentingan jangka panjang dari nasionalisme Indonesia. Dengan cara demikian, Bung Karno turut menciptakan sebuah policyyang baru, meskipun banyak alasan-alasanya untuk bertindak demikian telah terbukti salah. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan sosok pemuda (golongan muda) dalam menafsirkan kemerdekaan nonkooperatif dengan pihak Jepang. Dalam arti kemerdekaan Indonesia  merupakan hadiah dari asing? Lantas pantaskah soekarno sebagai revolusioner? Sementara andil besar peran pemuda Indonesia terlupakan dalam pentas sejarah kemerdekaan Indonesia? Barangkali tanpa adanya penculikan yang bertempat di Rengasdengklok akan kah Indonesia merdeka pada saat 17 Agustus 1945? Atau kapankah Indonesia merdeka jika terus berkolaborasi dengan Jepang?
2.      Anti Jepang atau Netral?
Bung Karno sendiri masih tetap percaya akan janji militer Jepang, akan tetapi ia mendapatkan tekanan dari kedua belah pihak. Pertama, pihak Syahrir yang bersama pengikut-pengikutnya  tegas menentang kalau kemerdekaan akan diberikan sebagai “hadiah” Jepang. Ia menginginkan Kemerdekaan yang anti Jepang, anti-fasis,  dan sebanarnya telah diadakan upaya untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 16 Agustus 1945.  Kedua, tekanan dari pemuda yang tidak begitu mementingkan ideologi, tetapi menginginkan suatu keberanian untuk mengumumkan kemerdekaan.[13]3.     3. Berunding atau bertempur?
Dengan tibanya Inggris yang memboncengi NICA, perjuangan sebuah revolusi mengalami pilihan yang sulit ditengah membangun sebuah Negara yang merdeka masih belia. Pilihan dan tantanga itu dilihat dengan banyaknya konflik baik secara eksternal maupun internal.  Konflik tidak hanya sebatas pergulatan ideology dan perebutan kekuasaan dalam internal pemerintahan Negara Indonesia, tapi menghadapi bahaya dari luar. Kedatangan Inggris yang memboncengi Belanda menjadi ketakutan akan munculnya sejarah kelam akan sebuah penindasan dan penderitaan. Dengan asumsi demikian maka tidak heran jika diberbagai daerah Indonesia terjadi pertempuran dahsyat, pertempuran Surabaya,  dan Bandung lautan Api contohnya.
Saat Syahrir menjadi perdana menteri, menganggap jalan perundingan sebagai suatu yang esensial. Hal itu dimaksudkan bertujuan untuk memperoleh pengakuan internasional tentang pernyataan kemerdekaan yang meliputi daerah bekas Hindia-Belanda. Ini berarti mengindikasikan pengakuan Republik Indonesia sebagai Negara, dengan sebuah pemerintahan yang memilki atributnya. Syahrir, tentu saja tidak dapat mengatakan kepada umum alasan-alasan mengenai strateginya untuk berunding, sementara itu ada tekananan  terus menerus terhadapnya baik dari pihak militer mapun kalangan elit politikus untuk mengadakan serangan militer dalam menghadapi Belanda.[14]

     Sebagai penutup kiranya kita  memaknai Revolusi Indonesia pada dasarnya bukan merupakan sebuah semboyan semata, tetapi lebih kepada tataran aplikasi “mau dibawa kemana Bangsa Indonesia”. Revolusi dimaknai tidak hanya dianggap sebagai sebuah gerakan ratu adil/milenari, tetapi hemat penulis Revolusi Indonesia baik dalam prespektif Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, dan lain sebagainya merupakan hal yang abstrak, karena revolusi bagi penulis merupakan  sebuah konstruski apa yang sedang difikirkan yang bersifat abstrak, tapi anehnya berapa banyak orang yang kehilangan jiwanya hanya demi sebuah kata revolusi yang abstrak itu?. Kita tidak berbicara dalam konteks pengertian makna yang benar dalam deskripsi sebuah revolusi, akan tetapi dalam tulisan singkat ini penulis melihat adanya dinamika dalam perjuangan Revolusi di Indonesia. Tarik menarik kepentingan ideologi, ego sektoral masing-masing kelompok tua maupun muda, serta perbedaan faham dalam mentelurkan regulasi/kebijakan sebagai rencana strategis kedepan kehidupan bangsa Indonesia. Dalam konteks sekarang, tuntutan revolusi kian menggelegaar dan nyaring dimana-mana, juga terpuruknya kehidupan Wong cilik (kelompok akar rumput). Revolusi dapat diyakini menjadi jalan untuk melakukan lompatan sejarah peradaban umat manusia. Revolusi memang penting, tapi lebih penting adalah konsep rekonstruksi dan rekonstruktisasinya yang harus jelas dan terstruktur, sehingga bukan revolusi atas dasar sentiment politik yang temporal. Karena kita meyakini lain zaman, lain pendekatan. Dalam artian revolusi yang diagagas harus benar-benar kontekstual, massif dan jelas tujuanya.

 Catatan Kaki :
[1]  Sartono Kartodirjo. Pemberontakan Petani Banten 1888, jalan dan Kelanjutanya Sebuah Studi, Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, Ter. Hasan Bashri. Jakarta : Pustaka Jaya.1984. Hlm. 24. Lihat Juga dalam Zulkarnain. Istoria, Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah, Volume 7 No.1. September 2009. Hlm 82.

[2] Sam Winerburg. Berfikir Historis : Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa lalu, terj. Masri Maris. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2006. Hlm.17-18

[3] Sarbini. Islam di Tepian Revolusi, Ideologi Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta : Pilar Media. 2005. Hlm. XI

[4] ”Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern :Ekky Malaky. 2004. Hlm. 119

[5] Nugroho Notosusanto. Proklamasi dan Revolusi . Jakarta : Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke-70. 1972. Hlm.289

[6]  Lihat Zulkarnain, dalam Jurnal,  Istoria : Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah. Yogyakarta : ISSN. Hlm.85

[7]  J.D. Legge. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemmerdekaan : Peranan Kelompok Syahrir.Terj. Hasan Basri, Jakarta : Pustaka Utama Graffiti. 1993. Hlm.1-2 

[8] Departemen Penerangan RI. Tujuh Bahan pokok Indoktrinasi dengan Tambahan Re-So-Pim tahun kemenangan Genta Suara revolusi: Surabaya : Perjetekan Negara dan Pers Nasional. 1963. Hlm.158.

[9]  Lihat kembali Nugroho Notosusanto. Proklamasi dan Revolusi . Jakarta : Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke-70. 1972. Hlm. 463.

[10] Wawan Tunggal Alam. Demi Bagsaku pertentangan Soekarno vs Hatta. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2003. Hlm. 464

[11]  Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam Jurnal Sejarah :Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 1. Jakarta : MSI dan bekerja sama dengan PT Gramedia Pustaka Utama. Merupakan isi pemikiran Soedjatmoko dalam acara Symposium on Decolonisation of Indonesia, Rooselvelt Study Center.Middelburg, Nederland, 2 September 1987.

[12] Soedjatmoko. Jurnal Sejarah :Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 1. Jakarta : MSI. Hlm. 5

[13] Ibid, Hlm. 8

[14] Ibid, Hlm 9-10.

Selasa, 24 Juli 2012

Gesekan antar Perdaban




Makna dari peradaban secara etimologi yakni berasal dari kata addaba yang artinya memperbaiki atau meluruskan.Sedangkan, secara terminologis peradaban memiliki beberapa arti yakni istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah "budaya" yang populer dalam kalangan akademis[1] . Namun dalam pengertian lain yakni peradaban berarti manifestasi iman di dalam segala aspek kehidupan.[2]Dan makna peradaban ini juga dapat di perluas sebagai memanifestasikan iman serta mengikuti pola hidup Rasulullah dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat. Tahun-Tahun setelah terjadinya perang Dingin merupakan saksi bagi dimulainya perubahan-perubahan identitas-identitas dan symbol-simbol secara dramatis. Politik global mulai melakukan rekonfigurasi di sepanjang lintas batas kultural. Pasca perang dingin, begitu banyak bendera dan symbol-simbol identitas cultural lainya  yang tak terhingga, termasuk palang salib, bulan sabit, dan bahkan tutup kepala. 
Tesis Samuel.P. Huntington, yang penulis jadikan rujukan utama dalam penulisan ini merupakan sebuah pemikiran dalam menguraikan peta peradaban dunia yang kian berujung konflik, kepentingan, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya perang.Selain itu bangkitnya identitas kultural dari kelompok subordinasi (wilayah timur) menjadi pemicu dan menarik untuk di kaji bersama dalam buku ini. Pandangan yang berkembang hingga dewasa kini bahwa lahirnya pemikiran di Barat berupa filsafat, ilmu pengetahuan, kebudayaan, hingga berkembangnya peradaban Barat pada dasarnya berasal dari proses “pergumulan” dari interaksi peradaban besar sebelumnya. [3]Sebagaimana yang dikemukakan Arnold Tonybee, bahwa peradaban Barat lahir dari kehancuran peradaban yunai-Romawi.With Disintegration, come rebirth.[4] Sedangkan Roger Garaudy menyebut 3 pilar peradaban barat, yakni Yunani-Romawi, Jude-Kristiani, dan islam. Menurutnya Barat suatu kebetulan. Kebudayaanya suatu hal yang tidak wajar, karena tidak memiliki dimensi yang asli.[5]. Dalam prespektif uraian singkat dalam latar belakang ini merupakan langkah awal bagaimana kita mampu mereflesikan nilai-nilai peradaban yang terjadi di belahan dunia, kepentingan, konflik dan perang pemikiran merupakan keniscayaan yang tak dapat dihindarkan.
Hubungan-hubungan antar peradaban yang paling signifikan dan dramatis terjadi ketika orang-orang dari satu peradaban menundukan dan mengeliminasi atau menyingkan orang-orang dari peradaban lain. Hubungan-hubungan tersebut pada umumnya bersifat sesaat, secara tersamar dan kasar.Baru pada permulaan abad VII M, terjadi hubungan intersivilisasional yang berkembang antara Islam dan Barat dan Islam dengan India.[6] Pengaruh kebangkitan Barat pada abad VIII dan IX M, dunia Kristen Eropa muncul sebagai sebuah peradaban  tersendiri. Selama beratus-ratus tahun ia ketinggalan di belakang peradaban-peradaban lain.  Munculnya sistem internasional-Barat merupakan perkembangan utama dalam kancah politik global pada masa setelah 1500.Sebagai tambahan terhadap saling keterkaitan dalam corak dominasi-subordinasi dengan masyarakat non-Barat, masyarakat-masyarakat Barat juga bertumpu pada sebuah landasan yang lebih sepadan. Setiap peradaban melihat dirinya sebagai pusat dunia dan menyatakan diri sebagai pusat kehidupan Sejarah manusia. Ini barangkali yang menjadi sebab mengapa kebudayaan lebih dapat dibenarkan dibandingkan dengan kebudayaan-kebudayaan lain.[7]
Pertemuan-pertemuan antar peradaban multiredaksional yang terbatas atau tersamar memberikan jalan bagi Barat untuk tetap eksis, penuh kekuatan dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap peradaban-peradaban lain. Akhir Abad XV M merupakan akhir penddudukan semenanjung Iberia oleh Bangsa Moor dan awal pendudukan Portugis atas Asia dan Spanyol.  Pada awal abad XII M, seluruh wilayah Timur Tengah, kecuali Turki baik secara langsung atau tidak  langsung, berada di bawah kontrol Barat. Selama ekspansi Eropa, peradaban-perdaban  Andea dan Meso-Amerika benar-benar tersingkir, peradaban-peradaban India dan Islam yang membentang di wilayah Afrika tersisih,  demikian halnya dengan peradaban Cina, terpaksa harus enyah di gantikan oleh kehadiran (peradaban) Barat.
Barat yang terus mendominasi dalam menggerus peradaban lain, penyebaran kebudayaan di dunia mereflesikan penyebara hegemoni dan memulai bangkitnya peradaban lain di luar peradaba Barat (non-Barat). Ideologi Komunis berkembang di seluruh dunia pada tahun 1950-dan 1960 ketika itu mampu menunjukan keberhasilan dalam bidang ekonomi dan militer.Uni Soviet dan kemudian memudar ketika Soviet mengalami kemandegan. Selama berabad-abad masyarakat non-Barat merasa iri terhadap  kemajuan-kemajuan yang dicapai Barat dalam bidang ekonomi, teknologi, militer dan politik. Manakala mereka menemukanya, mereka pun mencoba menerapkanya dalam kehidupan mereka sendiri.Untuk menjadi kaya dan penuh kekuatan, mereka harus seperti Barat.Krisis Peradaban. Dewasa ini, peradaban umat manusia yang sedang dihinggapi patologi sosial dan anomali ekonomi seolah mengisyaratkan satu hal, keruntuhan peradaban. Isyarat itulah yang dibaca Fritjof Capra, pakar fisika energi-tinggi, dalam analisis kritisnya tentang kebangkitan dan keruntuhan peradaban yang ditulis dalam bukunya, Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan .
Suatu peradaban terdiri atas transisi dari kondisi statis ke aktivitas dinamis. Tantangan dari lingkungan alam dan sosial memancing tanggapan kreatif dalam suatu masyarakat, atau kelompok sosial, yang mendorong masyarakat itu memasuki peradaban. Peradaban terus tumbuh ketika tanggapan terhadap tantangan awal berhasil membangkitkan momentum budaya yang membawa masyarakat keluar dari kondisi equilibrium memasuki suatu keseimbangan yang berlebihan (overbalance), yang tampil sebagai tantangan baru.Masing-masing tanggapan berhasil menimbulkan suatu ketidakseimbangan yang menuntut penyesuaian kreatif baru. Juga dengan perangkat analisis Toynbee, Capra menunjukkan semua peradaban berjalan melalui kemiripan siklus proses kejadian, pertumbuhan, disintegrasi, keruntuhan dan kebangkitan.[8]

Kebangkitan Perdaban non-Barat : Gesekan antar peradaban
Kebangkitan peradaban non-Barat ditandai dengan bangkitnya peradaban Timur yang di representasikan oleh dunia Asia Timur  dan Islam. Masyarakat Asia Timur akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat serta mampu melampaui Barat. Karenanya, Bangsa Asia akan menjadi Bangsa memiliki posisi kuat di kancah dunia. Dengan pertumbuhan ekonominya yang cepat.Masyarakat Asia yakin bahwa keberhasilan ekonomi ini merupakan hasil kebudayaan Asia, yang lebih unggul daripada Barat. Sistem nilai konfusianisme yang begitu di jungjung tinggi oleh masyarakat China yang menolak hidup individualistik dan keberadaan otorianisme  yang tersamar. Dengan keyakinan Masyarakat Asia Timur bahwa perkembangan yang terjadi di Asia dan nilai-nilai yang dimiliki Masayarakat Asia serta berbagai pola kebijakan yang diterapkan oleh masyarakat-masyarakat non-Barat  lainya dapat digunakan untuk menandingi serta mengejar ketertinggalan dari Barat yang harus diadopsi supaya dapat dilakukan pembaruan.
            Ketika negara-negara Asia, karena kemajuan yang dicapai memiliki dalam bidang ekonomi, Umat Islam  menegaskan bahwa ajaran Islam merupakan satu-satunya sumber identitas, makna stabilitas,  legitimasi, kemajuan, dan harapan yang melalui slogan “ Islam adalah jalan keluar”.[9] Kebangkitan Islam memiliki pengaruh terhadap setiap Umat islam di berbagai negara dan terhadap aspek-aspek kehidupan sosial-politik Umat Islam di sebagian besar negara Islam.  Kekuatan kebangkitan islam dan gerakan-gerakan islamis mendorong rezim yang berkuasa untuk memberikan dukungan terhadap institusi-institusi  dan perjuangan Islam, menjadikan symbol-simbol dan praktik-praktik  Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pemerintahan islam.  Dalam konteks yang luas, hal ini merupakan suatu penegasan kembali terhadap nilai-nilai Islam dari negara atau masyarakat Islam.  Kebangkitan Islam, bagaimanapun juga, merupakan produk dari kemorosotan kekuatan dan citra Barat ketika Barat benar-benar mengalami kemorosotan, mereka perlu untuk kembali pada pandangan-pandangan, praktik,  dan isntitusi-institusi Islam  sebagai penggerak sekaligus penyeimbang arus modernisasi. [10]
Munculnya kekuatan baru, yang ingin menandingi hegemoni Barat sering kali antar peradaban menyeret pada peperangan, aliansi-aliansi, dengan motif yang berbeda-beda bahkan perang antar peradaban yang mengubah tatanan dunia bisa terjadi.Sebuah perang yang melibatkan negara-negara inti dari peradaban-peradabann besar dunia sebagai suatu hal yang bisa terjadi. Perang seperti sebagaimana  berasal dari adanya sebuah garis persinggungan perang diantara berbagai kelompok yang berasal dari peradaban yang berbeda. Dan yang paling sering melibatkan kaum Muslimin dengan non_muslim serta lainya. Yang paling berbahaya dari perang global interperadaban adalah terjadinya balance of power di antara peradaban-peradaban dengan negara-negara satu sama lainnya. Tampilnya China sebagai kekuatan dominan di Asia Timur dan Tenggara akan menjadi kendala tersendiri bagi kepentingan-kepentingan Amerika yang telah mereka ketahui sebelumnya. Oleh karena itu,  kemungkinan konflik AS dan China akan berkembang pesat.  Sementara itu, perang tersebut memilki pengaruh terhadap negara-negara besar dari peradaban lain. India, atas tawaran China, berusaha menjadi kekuatan dominan di wilayah Asia Timur dengan melakukan serangan terhadap Pakistan dengan harapan  dapat menghancurkan secara total kekuatan-kekuatan nuklir  dan persenjataan konvensionalnya.[11]China dan AS berusaha memberikan dukungan kepada negara-negara sahabat mereka. Jika China berhasil dalam mengembangkan kemampuan militernya, Jepanag enggan bekerja sama dengan China.  AS, Eropa, Rusia dan India bersatu padu untuk menghadapi ancaman China, Jepang dan sebagian besar negara Islam, kedua belah pihak memilki  nuklir dan tidak sekedar memainkan peran minimal, maka salah satu dari  kedua belah pihak akan hancur.Kedua belah pihak merasakan adanya ancaman, sekalipun memungkinkan dilakukanya negosiasi, namun tetap tidak dapat mencarikan solusi bagi persoalan fundamental dalam kaitan dengan hegemoni China di Asia Timur.
Politik Global Peradaban :Islam VS Barat.
Hubungan Barat-Timur (Islam) dalam arti pengenalan Barat terhadap Islam sesungguhnya sudah berlangsung sejak lama, terutama sejak munculnya Islam sebagai kekuatan politik. Akan tetapi, pengenalan dalam arti yang lebih mendalam dan memperlihatkan intensitas yang luar biasa adalah sejak abad ke-19 yakni apa yang dikenal sebagai kajian orientalisme. Hubungan Barat-Islam selama masa tersebut memperlihatkan keragaman dari yang bersifat harmonis atau damai hingga konflik militer.Hubungan yang bersifat damai misalnya tercermin dalam pengiriman utusan atau duta antara kedua belah pihak.Kaisar-kaisar Bizantium misalnya sering mengirimkan perutusannya ke Baghdad, ibukota Daulah Abbasiyah.Meskipun demikian, hubungan Barat-Islam sepanjang yang dapat diamati hingga masa-masa belakangan, belum memperlihatkan tingkat hubungan sebagaimana yang diharapkan.Jalinan hubungan yang tampak, masih sebatas retorika, belum sampai pada tataran yang didasarkan atas ketulusan dan kesepadanan. Untuk melihat bagaimana sebenamya gambaran hubungan Barat-Islam selama ini berlangsung, menarik untuk disimak komentar Edward W. Said yang mengatakan bahwa hubungan Bamt dan Timur (Islam) adalah hubungan kekuatan, dominasi hubungan berbagai derajat hegemoni yang kompleks.[12]
Terdapat pelbagai faktor yang menjadi sebab terjadinya konflik antara Islam dengan barat (Kristen)  pada akhir abad XX.  Hal ini ditandai dengan pertumbuhan penduduk muslim yang begitu pesat menyebabkan terjadinya banyak pengangguran dan mendorong anak-anak muda menjadi anggota kelompok Islamis, melakukan tekanan terhadap penduduk sekitar dan bermigrasi ke Barat. Kebangkitan Islam memberikan keyakinan baru dikalangan Umat islam terhadap watak dan keluhuran peradaban serta nilai-nilai yang mereka miliki dibanding peradaban serta nilai-nilai barat. Upaya-upaya Barat yang simultan untuk mempropagandakan nilai-nilai dan institusi-institusi mereka, mempertahankan superioritas  kekuatan militer dan ekonomi mereka, serta intervensi mereka terhadap  pelbagai konflik yang terjadi di dunia Islam . Runtuhnya komunisme menjadi sebab tumbuhnya keyakinan akan musuh bersama antara Islam dan barat, dan melupakan permusuhan masa lalu.[13]Politik global barat, merupakan kebijakan kelanjutan dari misi imperialism baru.Varian seperti ini tidak selalu melakukan pendudukan pada sebuah negeri tertentu, serta penguasaan langsung. Imperialisme model ini dilakukan dengan mendiktekan kehendak dari balik tabir melakukan nasihat yang wajib dituruti dan dilaksanakan, dengan ancaman yang samar. Bahkan kadangkala mereka mengirim pasukan militer ke wilayah tertentu dengan alasan ada kesepakatan bilateral antara kedua negara yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah titah  dan dikte terhadap sebuah negara lemah yang dilakukan dengan besar. Sebagai contoh pemaksaan Amerika Serikat untuk menyerbu dan menduduki Afganishtan, kemudian Irak, menekan Iran dan Korea Utara menyerbu negara itu sebagai “poros Setan”[14]Banyak analisis yang menjelaskan sebab dan faktor yang memicu terjadinya benturan peradaban antara Islam dan Barat ini. Secara ringkas, dapat kita bagi menjadi 3 faktor utama sebagai berikut:
1.            Faktor agama.
Sejarah telah mencatat Baratlah yang memulai perang terhadap umat Islam yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Salib atau Crusade. Perang Salib terjadi selama 1 abad (1096–1192 M), yang berlangsung selama tiga tahap: antara tahun 1096–1099 M; antara tahun 1147–1149 M; dan antara tahun 1189-1192 M.[15]Pembantaian kaum Muslim oleh tentara salib di Spanyol (Andalusia) abad XV M, termasuk serangan secara pemikiran dan kebudayaan (tsaqâfah) seperti yang dilakukan oleh kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis, adalah juga berlatar belakang agama.[16]
Hingga kini, semangat Perang Salib ini masih melekat dalam benak orang-orang Barat, yang kemudian menjelma menjadi ‘prasangka buruk’ (stigma)  terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Edward Said, dalam bukunya yang berjudul, Covering Islam, menulis bahwa kecenderungan memberikan label yang bersifat generalisasi mengenai Islam dan orang Islam, tanpa melihat kenyataan sebenarnya, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul dan muncul kembali ke permukaan.Kata "christendom” dan “holy war” mulai banyak digunakan dalam berbagai tulisan di media massa Barat, seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi suatu “perang suci” antara Barat dan dunia lain di luarnya, terutama Dunia Islam.
2.      Faktor ekonomi.
Lenyapnya institusi Khilafah telah melebarkan jalan bagi negara imperialis Barat untuk menghisap berbagai kekayaan alam milik umat Islam.Sejak masa penjajahan militer era kolonial hingga saat ini, Barat telah melakukan eksploitasi ‘besar-besaran’ atas sumberdaya alam yang dimiliki umat Islam.
Sebaliknya, jika Khilafah Islam kembali berdiri dan berhasil menyatukan negeri-negeri Islam sekarang, berarti Khilafah Islam akan memegang kendali atas 60% deposit minyak seluruh dunia, boron (49%), fosfat (50%), strontium (27%), timah (22%), dan uranium yang tersebar di Dunia Islam (Zahid Ivan-Salam, dalam Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State).
Secara geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan jalur laut dunia yang strategis seperti Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati posisi strategis ini, kebutuhan dunia terutama Barat sangat besar akan wilayah kaum Muslim. Ditambah lagi dengan potensi penduduknya yang sangat besar, yakni lebih dari 1.5 miliar dari populasi penduduk dunia. Melihat potensi tersebut, wajar jika kehadiran Khilafah Islam sebagai pengemban ideologi Islam ini dianggap sebagai tantangan, atau lebih tepatnya lagi, menjadi ancaman bagi  peradaban  Barat saat ini.Walhasil, benturan antara kepentingan umat Islam yang ingin mempertahankan hak miliknya dan kepentingan negara Barat kapatalis tidak terhindarkan lagi.
3.      Faktor ideologi.
Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020, salah satu di antaranya adalah akan berdirinya "A New Chaliphate", yaitu berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan terhadap norma-norma dan nilai-nilai global Barat. Terlepas dari apa maksud dipublikasikannya analisis ini, paling tidak, kembalinya negara Khilafah Islam menurut kalangan analisis dan intelijen Barat termasuk hal yang harus diperhitungkan. Pertanyaannya, mengapa harus Khilafah?Jawabannya, karena potensi utama dari negara Khilafah adalah ideologi yang diembannya.Khilafah Islam adalah negara global yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan asas ideologi Islam.Ideologi Islam ini pula yang pernah menyatukan umat Islam seluruh dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa.Islam mampu melebur berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang berbeda.Kelak, Khilafahlah yang  bertanggungjawab untuk mengemban dan menyebarkan ideologi Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.



[1]Civilisation" (1974), Encyclopaedia Britannica 15th ed. Vol. II, Encyclopaedia Britannica, Inc., 956. Lebih jelasnya lihat http://ahmedmoezliem.blogspot.com/2012/01/efek-benturan-peradaban-islam-vs.html, Diakse pada tanggal 14 Mei 2012, pukul 12.00 WIB
[2]Pengertian yang biasanya di gunakan di pondok pesantren Hidayatullah yang di gagaskan oleh Ust. Suharsono
[3] Firdaus Syam. Pemikiran Politik Barat : Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia ke-3.  Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2007. Hlm. 1
[4]  Albert Hourani. Islam dalam Pandangan Eropa (terj).Yogyakarta. Pustaka Pelajar.1998. hlm.9
[5]  Roger Graudy. Janji-janji Islam (terj), Hm. Raqsyidi. Jakarta : Bulan Bintang. 1984. Hlm 11.
[6]Samuel P. Huntington.. Benturan Peradaban. Yogyakarta : Qalam. 2010. hlm. 55
[7]Ibid, hlm 65
[8]Pidato Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa Bidang Kemanusiaan dari Universitas Gadjah Mada Pada Rapat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 19 Desember 2011.
[9]Samuel.P. Huntington,Op.cit., hlm 181.        
[10]Ibid, hlm 193.Lebih jelasnya lihat Mahathir Mohammad. 1983. Mare Jirenma (The Malay Dilemma).hlm,267.
[11]Ibid,hlm 591-593
[12]Edward W. Said, Orientalisme (Bandung: Pustaka, 1994) Lihat lebih jelasnya dalam Katimin.Menuju Tata Dunia Baru, Hubungan Barat – Islam (perspektif historis-politis). Hlm. 153.
[13] Samuel.P. Huntington,Op.cit., hlm 383.
[14] Yusuf Al-qaradhowi..Islam Abad 21: Refleksi Abad 20 dan Agenda Masa depan.Jakarta : Pustaka Kautsar. 2000. Hlm. 8-9
[15]Samuel. P. Huntington,op.cit, hlm 333
[16]An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islamiyah. ____________:  Penerbit  Hizbut Tahrir,2002.hlm. 168-173.