Sejarah tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, sejarah mampu menembus ruang dan waktu, melintasi batas kultural relung peradaban umat manusia. Unsur perubahan merupakan suatu hal yang dapat dipisahkan, dalam kacamata kita perubahan bisa diartikan sebagai gejala yang konstruktif atau juga sebaliknya sebagai gejala yang bersifat destruktif. Abad ke-19 merupakan periode pergolakan atau revolusi sosial yang menyertai terjadinya perubahan sosial sebagai akibat dari pengaruh kuat lintah darat kaum kolonialisme Barat. Adanya pergeseran identitas budaya masyarakat tradisonal tentu saja menimbulkan rasa frustasi dan teralienisasi (terasingkan). Kedaan demikian menimbulkan ledakan kekecewaan, kegalauan dan kegelisahan yang meluas. Keadaan demikian mencapai klimaks jika difokuskan di bawah satu pemimpin yang mampu membimbing potensi agresif itu pada sasaran. Sasaran tertentu yang dianggap bermusuhan atau menuju perwujudan gagasan-gagasan tentang milenari.[1]
Revolusi adalah sebuah perubahan dalam kurun waktu yang singkat dan terjadi dengan proses yang cepat. Revolusi merupakan gambaran dari keinginan terbesar individu maupun kelompok, dalam konteks ini adalah bangsa, untuk mencapai sesuatu yang menjadi tujuan gerakan revolusi itu sendiri. Oleh karena itu, sebuah pergerakan revolusi selalu diwarnai dengan pertentangan, perpecahan, yang kemudian mengarah kepada kekerasan. Hal tersebut dikarenakan tidak semua pihak siap menerima perubahan yang sedemikian cepat, dan tentu akan mempengaruhi berbagai bidang dalam kehidupan.
Revolusi dan kemerdekaan sangat erat kaitannya, karena suatu proses kemerdekaan kebanyakan diperoleh melalui perubahan yang cepat dan mendasar. Pemanfaatan situasi dan kondisi juga membawa pengaruh dalam sebuah proses revolusi. Revolusi Prancis dan revolusi perbudakan di Amerika Serikat merupakan contoh sebuah pemanfaatan situasi dan kondisi dalam memperoleh kemerdekaan yang membawa perubahan mendasar dan cepat. Kemerdekaan Indonesia adalah sebuah revolusi, karena kemerdekaan Indonesia terjadi secara cepat dan mendasar. Dalam usaha pencapaian kemerdekaannya, berbagai cara digunakan bangsa Indonesia. Mulai dari perlawanan fisik, hingga perjuangan diplomatis untuk mendapat bantuan dan pengakuan dari negara lain. Korban sudah menjadi hal yang biasa dalam usaha itu, tapi menjadi tidak biasa jika bangsa Indonesia gagal memperoleh kemerdekaannya. Kondisi negara dan tepatnya waktu juga tidak dapat dilupakan dalam pencapaiaan revolusi ini. Walaupun ada nuansa keberuntungan, tapi kemampuan para tokoh untuk memanfaatkan waktu tersebut harus diperhitungkan.
Revolusi dalam gerak sejarah, merupakan gejala peradaban umat manusia yang harus ditafsirkan sebagai catatan masa lalu yang harus diungkap, dibicarakan, serta mengangkat hal-hal yang tabu untuk dibicarakan. Revolusi di Indonesia tidak lah serta merta ditelan mentah-mentah sebagai suatu catatan ingatan, tetapi labih dari itu. Tapi Sejarah lebih membicarakan pada aspek makna, refleksi peristiwa yang terjadi pada rekaman jejak masa lalu, sehingga pola fikir analitis dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu dalam kurun waktu revolusi Indonesia harus dikaji dalam berbagai prespektif.
MAKNA SEBUAH REVOLUSI INDONESIA
Berfikir historis mewajibkan kita mencarri titik temu yang saling dikotomi (bertolak belakang), alasan itu sangat mendasar karena beragamanya pandangan dalam memaknai sebuah kata revolusi khusunya di Indonesia. Selain itu tipologi cara berfikir ini memang tidak terlepas pada : pertama,cara berfikir kita selama ini adalah warisan yang tidak dapat disingkirkan, kedua jika tidak berusaha menyingkirkan warisan itu, maka kita harus menggunakan presentisme yang melihat masa lalu dengan kacamata sekarang.[2]
Dalam teori revolusi, Karl Marx mengatakan bahwa perkembangan masyarakat di tingkat kekuatan produksi material masyarakat berada dalam pertentangan dengan keberadaan hubungan produksi di tempat mereka bekerja. Bentuk perkembangan kekuatan produksi itu lantas berubah menjadi pengekangan (penindasan). Konflik antara kekuatan produksi baru dengan hubungan produksi lama itulah yang menjadi gerakan revolusi.[3] Istilah revolusi dalam terminology Ali Syariati sangat berbeda, walaupun Karl Marx dan Ali Syari’ati mempunyai kesamaan sebagai seorang sosialis. Bagi Ali Syari’ati, Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan. Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati menurut Shahrough Akhlavi adalah ”Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk mengubah dunia”.[4] Manusia sebagai khalifah digambarkan oleh Syari’ati sebagai manusia individu yang dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan sebegai individu. Karenanya, manusia adalah individu yang otonom, mempunyai kesadaran, mempunyai daya kreatifitas, dan mempunyai kebebasan kehendak. Pemikiran Syari’ati ini dipengaruhi oleh Eksistensialisme yang menekankan kebebasan dan otonomi individual.
Dua Prespektif diatas menunjukan makna yang berbeda tentang terminologi sebuah revolusi, akan tetapi hemat penulis revolusi Indonesia mengandung arti sebagai usaha untuk mencapai kemerdekaanya yang mempunyai makna tersendiri, yakni menuju Negara yang anti asing (kolonial), secara lebih luas dapat digambarkan sebagai i’tikad perubahan total dalam tatanan masyarakat makro pada umumnya. Baik secara politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Untuk menguatkan argumentasi penulis, sekiranya kita dapat menarik kesimpulan dari berbagai definisi mengenai revolusi, namun semua definisi itu mengandung unsur-unsur perubahan (change) yang menyangkut Negara. Ada yang mengandung unsur paksaan (force), kekerasan (violence) dan apa-apa yang tidak termasuk dalam kategori unsur-unsur tersebut. Meskipun berbeda dengan definisi diatas, sekiranya pengertian revolusi dapat didefinisikan mendekati kenyataan sebagai berikut “ revolusi adalah tindakan memaksa untuk mengganti pemerintah (rezim) ataupun untuk mengganti proses-proses pemerintahan”[5]. Revolusi memang mempunyai makna sentral bagi persepsi Bangsa Indonesia, peristiwa yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949 merupakan revolusi yang dipandang sebagai manifestasi tertinggi dari tekad nasional, [6] lambang kemandirian suatu bangsa, dan bagi mereka yang terlibat didalamnya maka revolusi adalah pengalaman emosional luar biasa dengan rakyat yang berpartisipasi langsung.[7]
Proklamasi RI pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan definisi diatas bisa kita tarik kesimpulan adalah sebagai revolusi. Alasan yang mendasar dikarenakan pada saat itu suatu sistem legalitas (kolonial) diganti dengan sistem legalitas yang lain. Dalam artian sistem legalitas kemaharajaan Jepang (Nippon) yang dilaksanakan oleh tentara pendudukannya di Indonesia diganti dengan sistem legalitas Indonesia merdeka.
REVOLUSI DALAM PRESPEKTIF SOEKARNO, HATTA DAN SYAHRIR
Secara historis, konsepsi revolusi Indonesia baik masa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan mengalami diskursus bagi kalangan revolusioner termasuk Ir. Soekarno, Bung Hatta, dan Syahrir. Perbedaan faham bahwa suatu “revolusi belum selesai” dan “revolusi telah selesai” pernah mewarnai perkembangan sejarah revolusi tersebut. Seperti kontras sekali konsepsi Bung Karno dan Bung Hatta dalam memahami “revolusi”. Tidak hanya keduanya Sutan Syahrir pun memiliki definisi sendiri dalam menjabarkan makna dari revolusi itu sendiri, sikapnya anti terhadap oknum-oknum yang berkolaborasi dengan Jepang, statement ini tentu saja mengarah kepada sosok Bung Karno dan Bung Hatta yang dinilai berkolaborasi dengan pihak Jepang, sehingga asumsi kita menilai bahwa kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak lain merupakan pemberian dari Jepang.
Tulisan yang penulis kutip dalam jurnal Istoria (Volume 7 No.1, September, 2009), Karya Zulkarnain secara singkat mendeskripsikan makna revolusi dalam prespektif ke-3 tokoh revolusiner tersebut, sehingga kita tahu bahwasanya Revolusi Indonesia terjadi adanya pergolakan pemikiran yang berbeda-beda (dialektik).
Pertama, Bung Karno selalu menegaskan bahwa “ revolusi belum selesai”, Ia pernah mengatakan bahwa revolusi tidak akan pernah berhasil jika dipimpin oleh ahli hukum, segala perubahan yang seharusnya cepat diambil tidak akan terlaksana karena ahli hukum itu akan banyak berkutat dengan persoalan keabsahan (legalitas) sehingga kita akan dikenang sebagai generasi peragu. Bung Karno membagi tingkatan-tingkatan revolusi berdasarkan kurun waktu dan arah perjuangan. Tahun 1945-1955 menurutnya, adalah tingkatan physical revolution. Dalam tingkatan ini Indonesia berada dalam tahap merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan-tangan imperialis dengan pengorbanan raga dan jiwa (darah). Periode 1945-1950 adalah periode revolusi fisik. Lalu tahun 1950-1955 adalah periode bertahan hidup (survival) atau disebut juga sebagai tahun penyembuhan luka-luka, dan tahun penebus penderitaan yang dialami dalam revolusi fisik. Tahun 1956 adalah periode revolusi sosial-ekonomi. Tepatnya tahun 1955-sekarang (dan seterusnya) adalah perode amanat penderitaan rakyat.[8] Logika revolusioner Bung Karno secara singkatnya adalah sekali revolusi, kita harus meneruskan revolusi itu, sampai segala cita-citanya terlaksana.
Kedua, Berbeda dengan Bung Karno, bagi Bung Hatta “revolusi telah selesai” hal ini sangat kontras sekali bertolak belakang dengan apa yang dikonsepsikan oleh Bung Karno bahwa “revolusi sudah selesai”. Hal itu bisa kita analisis dalam sikapnya terhadap nasionalisasi perusahaan asing (Belanda) di Indonesia pasca kemerdekaan. Bagi Bung Karno menghendaki perusahaan-perusahaan Belanda yang dianggapnya sebagai alat kapitalisme asing itu dinasionalisasikan atau diambil alih bangsanya tanpa ganti rugi. Berbeda dengan pandangan Bung Hatta, jika dinasionalisasikan dengan cara begitu saja, maka kemerdekaan bangsa Indonesia tidak akan tercapai, karena kita hidup dalam lingkaran syetan kapitalis dan imperialis. Bung Hatta takut akan timbulnya permintaanganti rugi, sedangkan kondisi keuangan negara pada saat itu sedang tekor.[9] Bung Hatta menilai bahwa segala pemberontakan, anarki politik, avounterisme, serta tindakan ekonomi yang mengacaukan yang terjadi di Republik Indonesia merupakan akibat dari revolusi yang tidak dibendung pada waktu yang tepat. Dan diantara merdeka dan anarki, tidak terang lagi batasnya. Karena itu Bung Hatta menegaskan Bahwa “revolusi telah selesai”.[10]
Ketiga, Syahrir menuturkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus berada anti fasis (pengaruh jepang), dan kesadaran akan potensi otoriter yang terkandung dalam proses revolusi. Syahrir juga menyerukan kepada rakyat Indonesia agar menolak semua pimpinan yang pernah aktif berkolaborasi dengan Jepang atau Belanda, dan memeprcayakan kepemimpinan revolusi hanya kepada mereka yang tidak ternodai oleh relasi semacam itu.
REFLEKSI REVOLUSI INDONESIA : PILIHAN DAN PELUANG
Penulis merasa tertarik dengan pengakuan Soedjatmoko dalam “Symposium on Decolonisation of Indonesia”[11], dalam pengakuan pribadinya yang banyak berdialog dengan para tokoh revolusioner seperti Amir Sjarifudin, Soekarno, dan Sutan Syahrir. Ke-3 sosok tersebut merupakan mentor Soedjatmoko. Sehingga penulis merasa pengakuanya merupakan sumber sejarah dalam mengupas dinamika revolusi Indonesia. Soedjatmoko menganalisis revolusi Indonesia dalam rangka “ pilihan dan peluang” . Selama Revolusi Indonesia berjalan ada sejumlah pilihan yang sangat penting harus ditentukan dan umumnya pilihan-pilihan itu harus dihadapi dalam konteks suatu perangkat peluang dalam suasana yang khusus. Untuk mereflesikan sebuah Sejarah pada masa Revolusi Indonesia, sekiranya ada beberapa prisma pemikiran yang dapat kita ambil dalam dialog Soedjatmoko dengan para tokoh revolusioner, pemikiran Soedjatmoko dapat kita petakan dan dikeructkan menjadi 3 analisis :
1. Kolaborasi atau Tidak?
Salah satu pilihan penting adalah apakah akan diadakan kerja sama dengan penguasa Jepang atau tidak. Pada masa awal perkembangan pergerakan kebangsaan Indonesia telah muncul persoalan. Pemisahan antara koperator dan nonkoperator telah melintasi sebagian besar dari sejarah pergerakan kebangsaan. Tetapi pada waktu itu konteks pada dasarnya politis semata. Bagi orang Indonesia Pendudukan jepang bukan berarti suatu pilihan belaka dari satu pemerintahan kolonial ke yang lain. Melalui kerja sama Soekarno-Hatta mereka mendirikan organisasi massa yang lambat laun, ketika keadaan perang semakin memburuk, makin lama makin dikuasai oleh pihak Jepang sendiri. Dengan kebijakan Pemerintah Jepang seumpamnya melarang penggunaan bahasa Belanda dengan demikian memaksak elite Indonesia untuk berbicara bahasa Indonesia. Dengan begitu Jepang membantu mengurangi jarak sosial yang besar yang pernah ada pada rezim kolonial Belanda.[12] Jadi pendudukan jepang turut membantu meletakan dasar bagi sebuah politik Indonesia yang tunggal, hal itu tidak dapat dirasakan sama sekali pada masa kolonial Belanda. Soekarno melihat revolusi dalam konteks kolaborasi dengan penguasa Jepang pada dasarnya Soekarno melihat sekutu sebagai musuh yang nyata. Kerja sama dengan Jepang dapat dimanfaatkan untuk disesuaikan dengan cita-cita kebangsaan Indonesia. Tak dapat diragukan lagi keputusan Soekarno itu menguntungkan bagi tentara pendudukan Jepang, bersamaan dengan itu ia membenarkan tindakannya dengan alasan bahwa ia melayani kepentingan jangka panjang dari nasionalisme Indonesia. Dengan cara demikian, Bung Karno turut menciptakan sebuah policyyang baru, meskipun banyak alasan-alasanya untuk bertindak demikian telah terbukti salah. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan sosok pemuda (golongan muda) dalam menafsirkan kemerdekaan nonkooperatif dengan pihak Jepang. Dalam arti kemerdekaan Indonesia merupakan hadiah dari asing? Lantas pantaskah soekarno sebagai revolusioner? Sementara andil besar peran pemuda Indonesia terlupakan dalam pentas sejarah kemerdekaan Indonesia? Barangkali tanpa adanya penculikan yang bertempat di Rengasdengklok akan kah Indonesia merdeka pada saat 17 Agustus 1945? Atau kapankah Indonesia merdeka jika terus berkolaborasi dengan Jepang?
2. Anti Jepang atau Netral?
Bung Karno sendiri masih tetap percaya akan janji militer Jepang, akan tetapi ia mendapatkan tekanan dari kedua belah pihak. Pertama, pihak Syahrir yang bersama pengikut-pengikutnya tegas menentang kalau kemerdekaan akan diberikan sebagai “hadiah” Jepang. Ia menginginkan Kemerdekaan yang anti Jepang, anti-fasis, dan sebanarnya telah diadakan upaya untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 16 Agustus 1945. Kedua, tekanan dari pemuda yang tidak begitu mementingkan ideologi, tetapi menginginkan suatu keberanian untuk mengumumkan kemerdekaan.[13]3. 3. Berunding atau bertempur?
Dengan tibanya Inggris yang memboncengi NICA, perjuangan sebuah revolusi mengalami pilihan yang sulit ditengah membangun sebuah Negara yang merdeka masih belia. Pilihan dan tantanga itu dilihat dengan banyaknya konflik baik secara eksternal maupun internal. Konflik tidak hanya sebatas pergulatan ideology dan perebutan kekuasaan dalam internal pemerintahan Negara Indonesia, tapi menghadapi bahaya dari luar. Kedatangan Inggris yang memboncengi Belanda menjadi ketakutan akan munculnya sejarah kelam akan sebuah penindasan dan penderitaan. Dengan asumsi demikian maka tidak heran jika diberbagai daerah Indonesia terjadi pertempuran dahsyat, pertempuran Surabaya, dan Bandung lautan Api contohnya.
Saat Syahrir menjadi perdana menteri, menganggap jalan perundingan sebagai suatu yang esensial. Hal itu dimaksudkan bertujuan untuk memperoleh pengakuan internasional tentang pernyataan kemerdekaan yang meliputi daerah bekas Hindia-Belanda. Ini berarti mengindikasikan pengakuan Republik Indonesia sebagai Negara, dengan sebuah pemerintahan yang memilki atributnya. Syahrir, tentu saja tidak dapat mengatakan kepada umum alasan-alasan mengenai strateginya untuk berunding, sementara itu ada tekananan terus menerus terhadapnya baik dari pihak militer mapun kalangan elit politikus untuk mengadakan serangan militer dalam menghadapi Belanda.[14]
Sebagai penutup kiranya kita memaknai Revolusi Indonesia pada dasarnya bukan merupakan sebuah semboyan semata, tetapi lebih kepada tataran aplikasi “mau dibawa kemana Bangsa Indonesia”. Revolusi dimaknai tidak hanya dianggap sebagai sebuah gerakan ratu adil/milenari, tetapi hemat penulis Revolusi Indonesia baik dalam prespektif Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, dan lain sebagainya merupakan hal yang abstrak, karena revolusi bagi penulis merupakan sebuah konstruski apa yang sedang difikirkan yang bersifat abstrak, tapi anehnya berapa banyak orang yang kehilangan jiwanya hanya demi sebuah kata revolusi yang abstrak itu?. Kita tidak berbicara dalam konteks pengertian makna yang benar dalam deskripsi sebuah revolusi, akan tetapi dalam tulisan singkat ini penulis melihat adanya dinamika dalam perjuangan Revolusi di Indonesia. Tarik menarik kepentingan ideologi, ego sektoral masing-masing kelompok tua maupun muda, serta perbedaan faham dalam mentelurkan regulasi/kebijakan sebagai rencana strategis kedepan kehidupan bangsa Indonesia. Dalam konteks sekarang, tuntutan revolusi kian menggelegaar dan nyaring dimana-mana, juga terpuruknya kehidupan Wong cilik (kelompok akar rumput). Revolusi dapat diyakini menjadi jalan untuk melakukan lompatan sejarah peradaban umat manusia. Revolusi memang penting, tapi lebih penting adalah konsep rekonstruksi dan rekonstruktisasinya yang harus jelas dan terstruktur, sehingga bukan revolusi atas dasar sentiment politik yang temporal. Karena kita meyakini lain zaman, lain pendekatan. Dalam artian revolusi yang diagagas harus benar-benar kontekstual, massif dan jelas tujuanya.
Catatan Kaki :
[1] Sartono Kartodirjo. Pemberontakan Petani Banten 1888, jalan dan Kelanjutanya Sebuah Studi, Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, Ter. Hasan Bashri. Jakarta : Pustaka Jaya.1984. Hlm. 24. Lihat Juga dalam Zulkarnain. Istoria, Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah, Volume 7 No.1. September 2009. Hlm 82.
[2] Sam Winerburg. Berfikir Historis : Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa lalu, terj. Masri Maris. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2006. Hlm.17-18
[3] Sarbini. Islam di Tepian Revolusi, Ideologi Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta : Pilar Media. 2005. Hlm. XI
[4] ”Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern :Ekky Malaky. 2004. Hlm. 119
[5] Nugroho Notosusanto. Proklamasi dan Revolusi . Jakarta : Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke-70. 1972. Hlm.289
[6] Lihat Zulkarnain, dalam Jurnal, Istoria : Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah. Yogyakarta : ISSN. Hlm.85
[7] J.D. Legge. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemmerdekaan : Peranan Kelompok Syahrir.Terj. Hasan Basri, Jakarta : Pustaka Utama Graffiti. 1993. Hlm.1-2
[8] Departemen Penerangan RI. Tujuh Bahan pokok Indoktrinasi dengan Tambahan Re-So-Pim tahun kemenangan Genta Suara revolusi: Surabaya : Perjetekan Negara dan Pers Nasional. 1963. Hlm.158.
[9] Lihat kembali Nugroho Notosusanto. Proklamasi dan Revolusi . Jakarta : Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke-70. 1972. Hlm. 463.
[10] Wawan Tunggal Alam. Demi Bagsaku pertentangan Soekarno vs Hatta. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2003. Hlm. 464
[11] Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam Jurnal Sejarah :Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 1. Jakarta : MSI dan bekerja sama dengan PT Gramedia Pustaka Utama. Merupakan isi pemikiran Soedjatmoko dalam acara Symposium on Decolonisation of Indonesia, Rooselvelt Study Center.Middelburg, Nederland, 2 September 1987.
[12] Soedjatmoko. Jurnal Sejarah :Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 1. Jakarta : MSI. Hlm. 5
[13] Ibid, Hlm. 8
[14] Ibid, Hlm 9-10.