Oleh : Ahmad
Bachtiar Faqihuddin
Identitas
kebudayaan nasional Indonesia kini mengalami dilema, hal itu dikarenakan
identitas yang menjadi ciri bangsa Indonesia kian dipersimpang jalan. Identitas
kebudayaan Indonesia tidak terjadi dengan sendirinya, namun merupakan proses
pergumulan sejarah dan pencarian jati diri yang sangat panjang. Indonesia yang
berada dalam proses pembentukan negara-bangsa menghadapi banyak tantangan baik
dari dalam maupun luar negeri, yang memerlukan
pembenahan dalam berbagai sektor kehidupan. Pasca revolusi Agustus 1945
saat Indonesia mencari identitas kebudayaan nasional adalah momentum perdebatan
dalam mencari sebuah pengertian identitas kebudayaan nasional Indonesia, maka
tidak heran pada era ini muncullah Pencarian identitas kebudayaan yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga lain dengan aliran dan ideologi masing-masing,
seperti LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan
Muslim Indonesia), HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam), Manikebu (Manifesto
Kebudayaan) dan lain sebagainya.
Aliran-aliran
kebudayaan diatas tidak dipungkiri beraflilasi dengan Partai politik atau
organisasi massa (ormas). LKN berafliasi dengan Partai Nasional Indonesia
(PNI), Lekra dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Lesbumi dengan Nahdhlatul
Ulama (NU) dan lain sebagainya yang mewarnai corak serta warna bagi masyarakat
Indonesia. Bagi Lekra misalnya kesenian tidak sekadar sebagai seni keindahan
atau hiburan tetapi seni yang sadar pada politik, negara, partai, rakyat,
perjuangan revolusi dan bahasa diplomasi-komunikasi-antar negara.
Program-program Lekra memperlihatkan perhatian yang cukup besar pada seni
daerah. Hal ini bisa dilihat dari laporan kongres, konfrensi nasional, maupun
pleno Lekra. Misalnya pada Konfrensi Nasional I di Bali (1962), Lekra dari
Sumatera Selatan diwakili oleh Z. Trisno melaporkan selama satu tahun telah
mengadakan investarisasi dongeng-dongeng, tari-tari, lagu-lagu daerah dan
mengumpulkan bahan-bahan untuk penyelidikan akasara-akasara dan bahasa daerah.
LEKRA Sulawesi Tenggara, yang diwakili oleh Mahmud Jusmanor, juga melaporkan
pengembangan tari-tari daerah dan pengembangan tari-tari suku daerah lainnya.[1]
PKI dengan idiologinya yang sangat kental dengan anti imperialism dan kapitalisme
ini menandakan langkah serta progresivitas PKI mampu memberikan corak
kebudayaan tersendiri dengan pengaruh yang besar, hal inilah memunculkan
terbentuknya Lesbumi pada tahun 1962 sebagai respon upaya penolakan terhadap
komunisme[2]. Lesbumi membawa warna yang berbeda dari Lekra. Lesbumi
membawa genre “religius”. Ia
merupakan manifestasi dari cita-cita dan gagasan kesatuan Nasakom Soekarno yang
meniscayakan terhadap agama sebagai unsur mutlak dalam nation and character building di bidang kebudayaan. Pendefinisian
ini sejalan dengan tujuan revolusi Indonesia yang menginginkan tercapainya
masyarakat yang adil makmur lahir batin yang diridlai Allah. Diyakini bahwa
jalannya revolusi Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Manifesto Politik,
menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam kesatuan Pancasila sebagai
landasan ideal. Lesbumi dengan semboyan Humanisme religius-nya juga memberikan
alternatif baru dalam polemik dalam mementukan arah kebudayaan yang terjadi
antara Lekra yang beraliran realisme sosialis dan Manifes Kebudayaan yang
beraliran humanisme universal. Selain Lesbumi, Manikebu juga menolak jargon
“politik adalah panglima” yang menjadi motor penggerak aktivitas Lekra, dan
semboyan “seni untuk seni” (l’ art pour
l’ art). [3]
Lembaga
kebudayaan diatas memang sangat membantu dalam penemuan jati diri bangsa
Indonesia sebagai identitas serta simbol kebangsaan, pergolakan kebudayaan
antara LKN, Lesbumi, Manikebu, HSBI semestinya dipandang bukan perdebatan kebudayaan,
tapi hemat penulis lebih mengrah kepada kepentingan politik mengatasnamakan
kebudayaan. Hal itu memang lumrah adanya dalam dinamika sebuah bangsa yang beranjak
dewasa ditengah masyarakat yang majemuk (plural).
Dengan Tumbangnya Orde Lama, secara tidak langsung bergantinya era Orde Baru
membawa dampak pergeseran kebudayaan dari Indonesia sentris ke Barat
sentris (Kebarat-baratan). Pada masa Orde
Lama (orla) diskursus kebudayaan dan kesusatraan begitu kaya, mulai dari
ketoprak, film Indonesia, tari-tari daerah menjadi aset yang sangat berharga.
Karya-karya Lekra, Lesbumi, Manikebu, HSBI bagai terkubur dalam sejarah
kebudayaan Indonesia. Produk hukum beserta regulasi (kebijakan) Soeharto yang
berbau Orde Lama menjadi fatwa haram untuk mempelajari bahkan menjadi bahan
perdebatan sampai era reformasi sekarang ini. Hal ini hemat penulis
mengidintesifikasikan ada upaya ahistoris dengan penghapusan jejak identitas
kebudayaan Indonesia serta derasnya arus
westernisasi yang menggerogoti sendi-sendi jati diri bangsa yang lama
diperjuangkan. Produk hukum Soeharto membawa dampak menjamurnya kapitalisme
secara budaya yang diboncengi kepentingan barat (AS) serta sekutunya, imperialisme
dalam sumber-sumber ekonomi sangat bertentangan dengan landasan negara yakni
pancasila yang lebih menganut kepada faham sosialisme (keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia). Disamping
itu aura politik Soekarno yang anti penjajahan asing (imperialis) saat itu merambah ke aksi kebudayaan. Misalnya mobilisasi massa untuk ganyang
Malaysia (karena konsolidasi Malaysia
akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga jadi ancaman terhadap
kemerdekaan Indonesia) dan aksi boikot film-film import oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika
Serikat (PAPFIAS) karena dinilai berisi propaganda yang berbahaya bagi
kesadaran massa. Disisi lain hal ini berbanding terbalik dengan era
Soeharto, liberalisasi ekonomi praktis membawa masuk produk-produk budaya dari
peradaban barat ke Indonesia, mengubah budaya masyarakat kita. Yang tadinya
hanya mengenal budaya kerakyatan (local genius) dan sisa-sisa feodalisme,
sejak adanya gelombang kapitalisme kita
pun tahu: diskotik, Coca Cola, MTV, mode/fashion
yang bisa membuat penampilan para remaja kita secara homogen dan hedonisme.
Era
globalisasi dan kapitalisme global menyeret bangsa kita kepada hilangnya
identitas budaya yang menjadi icon
bangsa yang besar, menjamurnya budaya asing seperti Boy Band, Jazz, pop tanpa
adanya filter menyebabkan hilangnya
apa yang menjadi symbol Indonesia
sebagai bangsa yang plural. Hemat penulis untuk memaknai sebuah apa itu
Identitas Kebudayaan nasional Indonesia sekiranya aspek-aspek nilai-nilai,
norma, idiologi, serta keberagamaan ke-agama-an harus menjadi solusi guna
mempertahankan symbol persatuan dan kesatuan. Maka penulis kiranya berharap
lembaga-lembaga kebudayaan dulu yang pernah dan masih ada semisal Lekra,
Lesbumi, HSBI, Manikebu dan lain sebagainya kembali digalakan dalam membendung
pergeseran dan kritik kebudayaan pro westernisasi.
Dalam konteks kekinian suatu
perjuangan kebudayaan harus memiliki landasan ideologi, yakni harus punya
cita-cita membangun masyarakat sejahtera, modern, berpemerintahan bersih (good governnance) dan pro
rakyat/kerakyatan. Kita boleh saja berkata dengan asumsi yang menyatakan bahwa
Indonesia sedang dijajah baik ekonomi, maupun kebudayaan, dalam hal ini Sekaranglah
keharusan kita membangun gerakan Pembebasan lewat demonstrasi, lewat
organisasi, dengan teater, film, seni musik, seni sastra, tari-tarian, rapat,
kongres, diskusi, selebaran, pamflet dan
sebagainya sebagai jalan pencarian identitas kebudayaan Bangsa Indonesia
kembali.
[1]
Tak Seorang Berniat Pulang,
Walau Mati Menanti’ dalam ‘Laporan Kebudajaan Rakjat II’, Laporan
daerah-daerahI diterbitkan oleh bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat’, tanpa
tahun terbit, hlm. 140-143. Lebih jelasnya lihat di http://bingkaisastra.blog.com/2010/12/23/lekra-pencarian-identitas-kebudayaan-nasional-indonesia/,
diakses pada tanggal 18 Oktober 2012 pukul 22:24 WIB
[2] Lebih
jelasnya lihat dalam bukunya Choirotun Chisaan.
2008. Lesbumi: Strategi Politik
Kebudayaan. Yogyakarta : LKIS. Hlm. 125,126
[3] Lebih jelasnya silahkan lihat dalam
skripsinya Alexander Supartono. 2000. Lekra vs Manikebu : Perdebatan Kebudayaan
Indonesia 1950-1965. Jakarta : STF Driyakarsa. hlm.8