Kamis, 26 Juli 2012

Memaknai Revolusi Indonesia “Kajian Historis-analitis : Refleksi dalam bingkai Sejarah”

  
Sejarah tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, sejarah mampu menembus ruang dan waktu, melintasi batas kultural relung peradaban umat manusia. Unsur perubahan merupakan suatu hal yang dapat dipisahkan, dalam kacamata kita perubahan bisa diartikan sebagai gejala yang konstruktif atau juga sebaliknya sebagai gejala yang bersifat destruktif. Abad ke-19 merupakan periode pergolakan atau revolusi sosial  yang menyertai terjadinya perubahan sosial sebagai akibat dari pengaruh kuat lintah darat kaum kolonialisme Barat. Adanya pergeseran identitas budaya masyarakat tradisonal tentu saja menimbulkan rasa frustasi  dan teralienisasi (terasingkan). Kedaan demikian menimbulkan ledakan kekecewaan, kegalauan dan kegelisahan yang meluas. Keadaan demikian mencapai klimaks jika difokuskan di bawah satu pemimpin yang mampu membimbing potensi agresif itu pada sasaran. Sasaran tertentu yang dianggap bermusuhan atau menuju perwujudan gagasan-gagasan tentang milenari.[1]
Revolusi adalah sebuah perubahan dalam kurun waktu yang singkat dan terjadi dengan proses yang cepat. Revolusi merupakan gambaran dari keinginan terbesar individu maupun kelompok, dalam konteks ini adalah bangsa, untuk mencapai sesuatu yang menjadi tujuan gerakan revolusi itu sendiri. Oleh karena itu, sebuah pergerakan revolusi selalu diwarnai dengan pertentangan, perpecahan, yang kemudian mengarah kepada kekerasan. Hal tersebut dikarenakan tidak semua pihak siap menerima perubahan yang sedemikian cepat, dan tentu akan mempengaruhi berbagai bidang dalam kehidupan.
Revolusi dan kemerdekaan sangat erat kaitannya, karena suatu proses kemerdekaan kebanyakan diperoleh melalui perubahan yang cepat dan mendasar. Pemanfaatan situasi dan kondisi juga membawa pengaruh dalam sebuah proses revolusi.  Revolusi Prancis dan revolusi perbudakan di Amerika Serikat merupakan contoh sebuah pemanfaatan situasi dan kondisi dalam memperoleh kemerdekaan yang membawa perubahan mendasar dan cepat. Kemerdekaan Indonesia adalah sebuah revolusi, karena kemerdekaan Indonesia terjadi secara cepat dan mendasar. Dalam usaha pencapaian kemerdekaannya, berbagai cara digunakan bangsa Indonesia. Mulai dari perlawanan fisik, hingga perjuangan diplomatis untuk mendapat bantuan dan pengakuan dari negara lain. Korban sudah menjadi hal yang biasa dalam usaha itu, tapi menjadi tidak biasa jika bangsa Indonesia gagal memperoleh kemerdekaannya. Kondisi negara dan tepatnya waktu juga tidak dapat dilupakan dalam pencapaiaan revolusi ini. Walaupun ada nuansa keberuntungan, tapi kemampuan para tokoh untuk memanfaatkan waktu tersebut harus diperhitungkan.
      Revolusi dalam gerak sejarah, merupakan gejala peradaban umat manusia yang harus ditafsirkan sebagai catatan masa lalu yang harus diungkap, dibicarakan, serta mengangkat hal-hal yang tabu untuk dibicarakan.  Revolusi di Indonesia tidak lah serta merta ditelan mentah-mentah sebagai suatu catatan ingatan, tetapi labih dari itu. Tapi Sejarah lebih membicarakan pada aspek makna, refleksi peristiwa yang terjadi pada rekaman jejak masa lalu, sehingga pola fikir analitis dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu dalam kurun waktu revolusi Indonesia harus dikaji dalam berbagai prespektif.
MAKNA SEBUAH REVOLUSI INDONESIA
      Berfikir historis mewajibkan kita mencarri titik temu yang saling dikotomi (bertolak belakang), alasan itu sangat mendasar karena beragamanya pandangan dalam memaknai sebuah kata revolusi khusunya di Indonesia. Selain itu tipologi cara berfikir ini memang tidak terlepas pada : pertama,cara berfikir kita selama ini adalah warisan yang tidak dapat disingkirkan, kedua jika tidak berusaha menyingkirkan warisan itu, maka kita harus menggunakan presentisme yang melihat  masa lalu dengan kacamata sekarang.[2]
      Dalam teori revolusi, Karl Marx mengatakan bahwa perkembangan masyarakat di tingkat kekuatan produksi material masyarakat berada dalam pertentangan dengan keberadaan hubungan produksi di tempat mereka bekerja. Bentuk perkembangan kekuatan produksi itu lantas berubah menjadi pengekangan (penindasan). Konflik antara kekuatan produksi baru dengan hubungan produksi lama itulah yang menjadi gerakan revolusi.[3] Istilah revolusi dalam terminology Ali Syariati sangat berbeda,  walaupun Karl Marx dan Ali Syari’ati mempunyai kesamaan sebagai seorang sosialis. Bagi Ali Syari’ati, Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan. Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati menurut Shahrough Akhlavi adalah ”Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk mengubah dunia”.[4] Manusia sebagai khalifah digambarkan oleh Syari’ati sebagai manusia individu yang dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan sebegai individu. Karenanya, manusia adalah individu yang otonom, mempunyai kesadaran, mempunyai daya kreatifitas, dan mempunyai kebebasan kehendak. Pemikiran Syari’ati ini dipengaruhi oleh Eksistensialisme yang menekankan kebebasan dan otonomi individual.
Dua Prespektif diatas menunjukan makna yang berbeda tentang terminologi sebuah revolusi, akan tetapi hemat penulis revolusi Indonesia mengandung arti sebagai usaha untuk mencapai kemerdekaanya yang mempunyai makna tersendiri, yakni menuju Negara yang anti asing (kolonial), secara lebih luas dapat digambarkan sebagai i’tikad perubahan total dalam tatanan masyarakat  makro pada umumnya. Baik secara politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Untuk menguatkan argumentasi penulis, sekiranya kita dapat menarik kesimpulan dari berbagai definisi mengenai revolusi, namun semua definisi itu mengandung unsur-unsur perubahan (change) yang menyangkut Negara. Ada yang mengandung unsur paksaan (force), kekerasan (violence) dan apa-apa yang tidak termasuk dalam kategori unsur-unsur tersebut. Meskipun berbeda dengan definisi diatas, sekiranya pengertian revolusi dapat didefinisikan mendekati kenyataan  sebagai berikut “ revolusi adalah tindakan memaksa untuk mengganti pemerintah (rezim) ataupun untuk mengganti proses-proses pemerintahan”[5]. Revolusi memang mempunyai makna sentral bagi persepsi Bangsa Indonesia, peristiwa yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949 merupakan revolusi yang dipandang sebagai manifestasi tertinggi dari tekad nasional, [6] lambang kemandirian suatu bangsa, dan bagi mereka yang terlibat didalamnya maka revolusi adalah pengalaman emosional luar biasa dengan rakyat yang berpartisipasi langsung.[7]
Proklamasi RI pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan definisi diatas bisa kita tarik kesimpulan adalah sebagai revolusi. Alasan yang mendasar dikarenakan pada saat itu suatu sistem legalitas (kolonial) diganti dengan sistem legalitas yang lain. Dalam artian sistem legalitas kemaharajaan Jepang (Nippon) yang dilaksanakan oleh tentara pendudukannya di Indonesia diganti dengan sistem legalitas Indonesia merdeka.
REVOLUSI DALAM PRESPEKTIF SOEKARNO, HATTA DAN SYAHRIR
      Secara historis, konsepsi revolusi Indonesia baik masa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan mengalami diskursus bagi kalangan revolusioner termasuk Ir. Soekarno, Bung Hatta, dan Syahrir. Perbedaan faham bahwa suatu “revolusi belum selesai” dan “revolusi telah selesai” pernah mewarnai perkembangan sejarah revolusi tersebut. Seperti kontras sekali konsepsi Bung Karno dan Bung Hatta dalam memahami “revolusi”. Tidak hanya keduanya Sutan Syahrir pun memiliki definisi sendiri dalam menjabarkan makna dari revolusi itu sendiri, sikapnya anti terhadap oknum-oknum yang berkolaborasi dengan Jepang, statement  ini tentu saja mengarah kepada sosok Bung Karno dan Bung Hatta yang dinilai berkolaborasi dengan pihak Jepang, sehingga asumsi kita menilai bahwa kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak lain merupakan pemberian dari Jepang.
      Tulisan  yang penulis kutip dalam jurnal Istoria (Volume 7 No.1, September, 2009), Karya Zulkarnain secara singkat mendeskripsikan makna revolusi dalam prespektif ke-3 tokoh revolusiner tersebut, sehingga kita tahu bahwasanya Revolusi Indonesia terjadi adanya pergolakan pemikiran yang berbeda-beda (dialektik).
Pertama,  Bung Karno selalu menegaskan bahwa “ revolusi belum selesai”, Ia pernah mengatakan bahwa revolusi tidak akan pernah berhasil jika dipimpin oleh ahli hukum, segala perubahan yang seharusnya cepat diambil tidak akan terlaksana karena ahli hukum itu akan banyak berkutat dengan persoalan keabsahan (legalitas) sehingga kita akan dikenang sebagai generasi peragu.  Bung Karno membagi tingkatan-tingkatan revolusi berdasarkan kurun waktu dan arah perjuangan. Tahun 1945-1955 menurutnya, adalah tingkatan physical revolution. Dalam tingkatan ini Indonesia berada dalam tahap merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan-tangan imperialis dengan pengorbanan raga dan jiwa (darah). Periode 1945-1950 adalah periode revolusi fisik. Lalu tahun 1950-1955 adalah periode bertahan hidup (survival) atau disebut juga sebagai tahun penyembuhan luka-luka, dan tahun penebus penderitaan yang dialami dalam revolusi fisik. Tahun 1956 adalah periode revolusi sosial-ekonomi. Tepatnya tahun 1955-sekarang (dan seterusnya) adalah perode amanat penderitaan rakyat.[8] Logika revolusioner Bung Karno secara singkatnya adalah sekali revolusi, kita harus meneruskan revolusi itu, sampai segala cita-citanya terlaksana.
Kedua, Berbeda dengan Bung Karno, bagi Bung Hatta “revolusi telah selesai”  hal ini sangat kontras sekali bertolak belakang dengan apa yang dikonsepsikan oleh Bung Karno bahwa “revolusi sudah selesai”. Hal itu bisa kita analisis dalam sikapnya terhadap nasionalisasi perusahaan asing (Belanda) di Indonesia pasca kemerdekaan. Bagi Bung Karno menghendaki perusahaan-perusahaan  Belanda yang dianggapnya sebagai alat kapitalisme asing itu dinasionalisasikan atau diambil alih bangsanya tanpa ganti rugi. Berbeda dengan pandangan Bung Hatta,  jika dinasionalisasikan dengan cara begitu saja, maka kemerdekaan  bangsa Indonesia tidak akan tercapai, karena kita hidup dalam lingkaran syetan kapitalis dan imperialis. Bung Hatta takut akan timbulnya  permintaanganti rugi, sedangkan kondisi keuangan negara pada saat itu sedang tekor.[9] Bung Hatta menilai bahwa segala pemberontakan, anarki politik, avounterisme, serta tindakan ekonomi yang mengacaukan yang terjadi di Republik Indonesia  merupakan akibat dari revolusi yang tidak dibendung pada waktu yang tepat. Dan diantara merdeka dan anarki, tidak terang lagi batasnya. Karena itu Bung Hatta menegaskan Bahwa “revolusi telah selesai”.[10]
Ketiga, Syahrir menuturkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus berada anti fasis (pengaruh jepang), dan kesadaran akan potensi otoriter yang terkandung dalam proses revolusi. Syahrir juga menyerukan kepada rakyat Indonesia  agar menolak semua pimpinan yang pernah aktif berkolaborasi dengan Jepang atau Belanda, dan memeprcayakan kepemimpinan revolusi hanya kepada mereka yang tidak ternodai oleh relasi semacam itu.
REFLEKSI REVOLUSI INDONESIA : PILIHAN DAN PELUANG
      Penulis merasa tertarik dengan pengakuan Soedjatmoko dalam “Symposium on Decolonisation of Indonesia”[11], dalam pengakuan pribadinya yang banyak berdialog dengan para tokoh revolusioner seperti Amir Sjarifudin, Soekarno, dan Sutan Syahrir. Ke-3 sosok tersebut merupakan mentor Soedjatmoko. Sehingga penulis merasa pengakuanya merupakan sumber sejarah dalam mengupas dinamika revolusi  Indonesia. Soedjatmoko menganalisis revolusi Indonesia dalam rangka “ pilihan dan peluang” . Selama Revolusi Indonesia berjalan ada sejumlah pilihan yang sangat penting harus ditentukan dan umumnya pilihan-pilihan itu harus dihadapi dalam konteks suatu perangkat peluang dalam suasana yang khusus. Untuk mereflesikan sebuah Sejarah pada masa Revolusi Indonesia, sekiranya ada beberapa prisma pemikiran yang dapat kita ambil dalam dialog Soedjatmoko dengan para tokoh revolusioner, pemikiran Soedjatmoko dapat kita petakan dan dikeructkan menjadi 3 analisis :

1.      Kolaborasi atau Tidak?
Salah satu pilihan penting adalah apakah akan diadakan kerja sama dengan penguasa Jepang atau tidak. Pada masa awal perkembangan pergerakan kebangsaan Indonesia telah muncul persoalan. Pemisahan antara koperator dan nonkoperator telah melintasi sebagian besar dari sejarah pergerakan kebangsaan. Tetapi pada waktu itu konteks pada dasarnya politis semata. Bagi orang Indonesia Pendudukan jepang bukan berarti suatu pilihan belaka dari satu pemerintahan kolonial ke yang lain.  Melalui kerja sama Soekarno-Hatta mereka mendirikan organisasi massa yang lambat laun, ketika keadaan perang semakin memburuk, makin lama makin dikuasai oleh pihak Jepang sendiri. Dengan kebijakan Pemerintah Jepang seumpamnya melarang penggunaan bahasa Belanda  dengan demikian memaksak elite Indonesia untuk berbicara bahasa Indonesia. Dengan begitu Jepang membantu mengurangi jarak sosial yang besar yang pernah ada pada rezim kolonial Belanda.[12] Jadi pendudukan jepang turut membantu meletakan dasar bagi sebuah politik Indonesia yang tunggal, hal itu tidak dapat dirasakan sama sekali pada masa kolonial Belanda. Soekarno melihat revolusi dalam konteks kolaborasi dengan penguasa Jepang pada dasarnya Soekarno melihat sekutu sebagai musuh yang nyata. Kerja sama dengan Jepang dapat dimanfaatkan untuk disesuaikan dengan cita-cita kebangsaan Indonesia.  Tak dapat diragukan lagi keputusan Soekarno itu menguntungkan bagi tentara pendudukan Jepang, bersamaan dengan itu ia membenarkan  tindakannya dengan alasan bahwa ia melayani kepentingan jangka panjang dari nasionalisme Indonesia. Dengan cara demikian, Bung Karno turut menciptakan sebuah policyyang baru, meskipun banyak alasan-alasanya untuk bertindak demikian telah terbukti salah. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan sosok pemuda (golongan muda) dalam menafsirkan kemerdekaan nonkooperatif dengan pihak Jepang. Dalam arti kemerdekaan Indonesia  merupakan hadiah dari asing? Lantas pantaskah soekarno sebagai revolusioner? Sementara andil besar peran pemuda Indonesia terlupakan dalam pentas sejarah kemerdekaan Indonesia? Barangkali tanpa adanya penculikan yang bertempat di Rengasdengklok akan kah Indonesia merdeka pada saat 17 Agustus 1945? Atau kapankah Indonesia merdeka jika terus berkolaborasi dengan Jepang?
2.      Anti Jepang atau Netral?
Bung Karno sendiri masih tetap percaya akan janji militer Jepang, akan tetapi ia mendapatkan tekanan dari kedua belah pihak. Pertama, pihak Syahrir yang bersama pengikut-pengikutnya  tegas menentang kalau kemerdekaan akan diberikan sebagai “hadiah” Jepang. Ia menginginkan Kemerdekaan yang anti Jepang, anti-fasis,  dan sebanarnya telah diadakan upaya untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 16 Agustus 1945.  Kedua, tekanan dari pemuda yang tidak begitu mementingkan ideologi, tetapi menginginkan suatu keberanian untuk mengumumkan kemerdekaan.[13]3.     3. Berunding atau bertempur?
Dengan tibanya Inggris yang memboncengi NICA, perjuangan sebuah revolusi mengalami pilihan yang sulit ditengah membangun sebuah Negara yang merdeka masih belia. Pilihan dan tantanga itu dilihat dengan banyaknya konflik baik secara eksternal maupun internal.  Konflik tidak hanya sebatas pergulatan ideology dan perebutan kekuasaan dalam internal pemerintahan Negara Indonesia, tapi menghadapi bahaya dari luar. Kedatangan Inggris yang memboncengi Belanda menjadi ketakutan akan munculnya sejarah kelam akan sebuah penindasan dan penderitaan. Dengan asumsi demikian maka tidak heran jika diberbagai daerah Indonesia terjadi pertempuran dahsyat, pertempuran Surabaya,  dan Bandung lautan Api contohnya.
Saat Syahrir menjadi perdana menteri, menganggap jalan perundingan sebagai suatu yang esensial. Hal itu dimaksudkan bertujuan untuk memperoleh pengakuan internasional tentang pernyataan kemerdekaan yang meliputi daerah bekas Hindia-Belanda. Ini berarti mengindikasikan pengakuan Republik Indonesia sebagai Negara, dengan sebuah pemerintahan yang memilki atributnya. Syahrir, tentu saja tidak dapat mengatakan kepada umum alasan-alasan mengenai strateginya untuk berunding, sementara itu ada tekananan  terus menerus terhadapnya baik dari pihak militer mapun kalangan elit politikus untuk mengadakan serangan militer dalam menghadapi Belanda.[14]

     Sebagai penutup kiranya kita  memaknai Revolusi Indonesia pada dasarnya bukan merupakan sebuah semboyan semata, tetapi lebih kepada tataran aplikasi “mau dibawa kemana Bangsa Indonesia”. Revolusi dimaknai tidak hanya dianggap sebagai sebuah gerakan ratu adil/milenari, tetapi hemat penulis Revolusi Indonesia baik dalam prespektif Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, dan lain sebagainya merupakan hal yang abstrak, karena revolusi bagi penulis merupakan  sebuah konstruski apa yang sedang difikirkan yang bersifat abstrak, tapi anehnya berapa banyak orang yang kehilangan jiwanya hanya demi sebuah kata revolusi yang abstrak itu?. Kita tidak berbicara dalam konteks pengertian makna yang benar dalam deskripsi sebuah revolusi, akan tetapi dalam tulisan singkat ini penulis melihat adanya dinamika dalam perjuangan Revolusi di Indonesia. Tarik menarik kepentingan ideologi, ego sektoral masing-masing kelompok tua maupun muda, serta perbedaan faham dalam mentelurkan regulasi/kebijakan sebagai rencana strategis kedepan kehidupan bangsa Indonesia. Dalam konteks sekarang, tuntutan revolusi kian menggelegaar dan nyaring dimana-mana, juga terpuruknya kehidupan Wong cilik (kelompok akar rumput). Revolusi dapat diyakini menjadi jalan untuk melakukan lompatan sejarah peradaban umat manusia. Revolusi memang penting, tapi lebih penting adalah konsep rekonstruksi dan rekonstruktisasinya yang harus jelas dan terstruktur, sehingga bukan revolusi atas dasar sentiment politik yang temporal. Karena kita meyakini lain zaman, lain pendekatan. Dalam artian revolusi yang diagagas harus benar-benar kontekstual, massif dan jelas tujuanya.

 Catatan Kaki :
[1]  Sartono Kartodirjo. Pemberontakan Petani Banten 1888, jalan dan Kelanjutanya Sebuah Studi, Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, Ter. Hasan Bashri. Jakarta : Pustaka Jaya.1984. Hlm. 24. Lihat Juga dalam Zulkarnain. Istoria, Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah, Volume 7 No.1. September 2009. Hlm 82.

[2] Sam Winerburg. Berfikir Historis : Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa lalu, terj. Masri Maris. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2006. Hlm.17-18

[3] Sarbini. Islam di Tepian Revolusi, Ideologi Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta : Pilar Media. 2005. Hlm. XI

[4] ”Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern :Ekky Malaky. 2004. Hlm. 119

[5] Nugroho Notosusanto. Proklamasi dan Revolusi . Jakarta : Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke-70. 1972. Hlm.289

[6]  Lihat Zulkarnain, dalam Jurnal,  Istoria : Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah. Yogyakarta : ISSN. Hlm.85

[7]  J.D. Legge. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemmerdekaan : Peranan Kelompok Syahrir.Terj. Hasan Basri, Jakarta : Pustaka Utama Graffiti. 1993. Hlm.1-2 

[8] Departemen Penerangan RI. Tujuh Bahan pokok Indoktrinasi dengan Tambahan Re-So-Pim tahun kemenangan Genta Suara revolusi: Surabaya : Perjetekan Negara dan Pers Nasional. 1963. Hlm.158.

[9]  Lihat kembali Nugroho Notosusanto. Proklamasi dan Revolusi . Jakarta : Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke-70. 1972. Hlm. 463.

[10] Wawan Tunggal Alam. Demi Bagsaku pertentangan Soekarno vs Hatta. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2003. Hlm. 464

[11]  Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam Jurnal Sejarah :Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 1. Jakarta : MSI dan bekerja sama dengan PT Gramedia Pustaka Utama. Merupakan isi pemikiran Soedjatmoko dalam acara Symposium on Decolonisation of Indonesia, Rooselvelt Study Center.Middelburg, Nederland, 2 September 1987.

[12] Soedjatmoko. Jurnal Sejarah :Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 1. Jakarta : MSI. Hlm. 5

[13] Ibid, Hlm. 8

[14] Ibid, Hlm 9-10.

Selasa, 24 Juli 2012

Gesekan antar Perdaban




Makna dari peradaban secara etimologi yakni berasal dari kata addaba yang artinya memperbaiki atau meluruskan.Sedangkan, secara terminologis peradaban memiliki beberapa arti yakni istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah "budaya" yang populer dalam kalangan akademis[1] . Namun dalam pengertian lain yakni peradaban berarti manifestasi iman di dalam segala aspek kehidupan.[2]Dan makna peradaban ini juga dapat di perluas sebagai memanifestasikan iman serta mengikuti pola hidup Rasulullah dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat. Tahun-Tahun setelah terjadinya perang Dingin merupakan saksi bagi dimulainya perubahan-perubahan identitas-identitas dan symbol-simbol secara dramatis. Politik global mulai melakukan rekonfigurasi di sepanjang lintas batas kultural. Pasca perang dingin, begitu banyak bendera dan symbol-simbol identitas cultural lainya  yang tak terhingga, termasuk palang salib, bulan sabit, dan bahkan tutup kepala. 
Tesis Samuel.P. Huntington, yang penulis jadikan rujukan utama dalam penulisan ini merupakan sebuah pemikiran dalam menguraikan peta peradaban dunia yang kian berujung konflik, kepentingan, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya perang.Selain itu bangkitnya identitas kultural dari kelompok subordinasi (wilayah timur) menjadi pemicu dan menarik untuk di kaji bersama dalam buku ini. Pandangan yang berkembang hingga dewasa kini bahwa lahirnya pemikiran di Barat berupa filsafat, ilmu pengetahuan, kebudayaan, hingga berkembangnya peradaban Barat pada dasarnya berasal dari proses “pergumulan” dari interaksi peradaban besar sebelumnya. [3]Sebagaimana yang dikemukakan Arnold Tonybee, bahwa peradaban Barat lahir dari kehancuran peradaban yunai-Romawi.With Disintegration, come rebirth.[4] Sedangkan Roger Garaudy menyebut 3 pilar peradaban barat, yakni Yunani-Romawi, Jude-Kristiani, dan islam. Menurutnya Barat suatu kebetulan. Kebudayaanya suatu hal yang tidak wajar, karena tidak memiliki dimensi yang asli.[5]. Dalam prespektif uraian singkat dalam latar belakang ini merupakan langkah awal bagaimana kita mampu mereflesikan nilai-nilai peradaban yang terjadi di belahan dunia, kepentingan, konflik dan perang pemikiran merupakan keniscayaan yang tak dapat dihindarkan.
Hubungan-hubungan antar peradaban yang paling signifikan dan dramatis terjadi ketika orang-orang dari satu peradaban menundukan dan mengeliminasi atau menyingkan orang-orang dari peradaban lain. Hubungan-hubungan tersebut pada umumnya bersifat sesaat, secara tersamar dan kasar.Baru pada permulaan abad VII M, terjadi hubungan intersivilisasional yang berkembang antara Islam dan Barat dan Islam dengan India.[6] Pengaruh kebangkitan Barat pada abad VIII dan IX M, dunia Kristen Eropa muncul sebagai sebuah peradaban  tersendiri. Selama beratus-ratus tahun ia ketinggalan di belakang peradaban-peradaban lain.  Munculnya sistem internasional-Barat merupakan perkembangan utama dalam kancah politik global pada masa setelah 1500.Sebagai tambahan terhadap saling keterkaitan dalam corak dominasi-subordinasi dengan masyarakat non-Barat, masyarakat-masyarakat Barat juga bertumpu pada sebuah landasan yang lebih sepadan. Setiap peradaban melihat dirinya sebagai pusat dunia dan menyatakan diri sebagai pusat kehidupan Sejarah manusia. Ini barangkali yang menjadi sebab mengapa kebudayaan lebih dapat dibenarkan dibandingkan dengan kebudayaan-kebudayaan lain.[7]
Pertemuan-pertemuan antar peradaban multiredaksional yang terbatas atau tersamar memberikan jalan bagi Barat untuk tetap eksis, penuh kekuatan dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap peradaban-peradaban lain. Akhir Abad XV M merupakan akhir penddudukan semenanjung Iberia oleh Bangsa Moor dan awal pendudukan Portugis atas Asia dan Spanyol.  Pada awal abad XII M, seluruh wilayah Timur Tengah, kecuali Turki baik secara langsung atau tidak  langsung, berada di bawah kontrol Barat. Selama ekspansi Eropa, peradaban-perdaban  Andea dan Meso-Amerika benar-benar tersingkir, peradaban-peradaban India dan Islam yang membentang di wilayah Afrika tersisih,  demikian halnya dengan peradaban Cina, terpaksa harus enyah di gantikan oleh kehadiran (peradaban) Barat.
Barat yang terus mendominasi dalam menggerus peradaban lain, penyebaran kebudayaan di dunia mereflesikan penyebara hegemoni dan memulai bangkitnya peradaban lain di luar peradaba Barat (non-Barat). Ideologi Komunis berkembang di seluruh dunia pada tahun 1950-dan 1960 ketika itu mampu menunjukan keberhasilan dalam bidang ekonomi dan militer.Uni Soviet dan kemudian memudar ketika Soviet mengalami kemandegan. Selama berabad-abad masyarakat non-Barat merasa iri terhadap  kemajuan-kemajuan yang dicapai Barat dalam bidang ekonomi, teknologi, militer dan politik. Manakala mereka menemukanya, mereka pun mencoba menerapkanya dalam kehidupan mereka sendiri.Untuk menjadi kaya dan penuh kekuatan, mereka harus seperti Barat.Krisis Peradaban. Dewasa ini, peradaban umat manusia yang sedang dihinggapi patologi sosial dan anomali ekonomi seolah mengisyaratkan satu hal, keruntuhan peradaban. Isyarat itulah yang dibaca Fritjof Capra, pakar fisika energi-tinggi, dalam analisis kritisnya tentang kebangkitan dan keruntuhan peradaban yang ditulis dalam bukunya, Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan .
Suatu peradaban terdiri atas transisi dari kondisi statis ke aktivitas dinamis. Tantangan dari lingkungan alam dan sosial memancing tanggapan kreatif dalam suatu masyarakat, atau kelompok sosial, yang mendorong masyarakat itu memasuki peradaban. Peradaban terus tumbuh ketika tanggapan terhadap tantangan awal berhasil membangkitkan momentum budaya yang membawa masyarakat keluar dari kondisi equilibrium memasuki suatu keseimbangan yang berlebihan (overbalance), yang tampil sebagai tantangan baru.Masing-masing tanggapan berhasil menimbulkan suatu ketidakseimbangan yang menuntut penyesuaian kreatif baru. Juga dengan perangkat analisis Toynbee, Capra menunjukkan semua peradaban berjalan melalui kemiripan siklus proses kejadian, pertumbuhan, disintegrasi, keruntuhan dan kebangkitan.[8]

Kebangkitan Perdaban non-Barat : Gesekan antar peradaban
Kebangkitan peradaban non-Barat ditandai dengan bangkitnya peradaban Timur yang di representasikan oleh dunia Asia Timur  dan Islam. Masyarakat Asia Timur akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat serta mampu melampaui Barat. Karenanya, Bangsa Asia akan menjadi Bangsa memiliki posisi kuat di kancah dunia. Dengan pertumbuhan ekonominya yang cepat.Masyarakat Asia yakin bahwa keberhasilan ekonomi ini merupakan hasil kebudayaan Asia, yang lebih unggul daripada Barat. Sistem nilai konfusianisme yang begitu di jungjung tinggi oleh masyarakat China yang menolak hidup individualistik dan keberadaan otorianisme  yang tersamar. Dengan keyakinan Masyarakat Asia Timur bahwa perkembangan yang terjadi di Asia dan nilai-nilai yang dimiliki Masayarakat Asia serta berbagai pola kebijakan yang diterapkan oleh masyarakat-masyarakat non-Barat  lainya dapat digunakan untuk menandingi serta mengejar ketertinggalan dari Barat yang harus diadopsi supaya dapat dilakukan pembaruan.
            Ketika negara-negara Asia, karena kemajuan yang dicapai memiliki dalam bidang ekonomi, Umat Islam  menegaskan bahwa ajaran Islam merupakan satu-satunya sumber identitas, makna stabilitas,  legitimasi, kemajuan, dan harapan yang melalui slogan “ Islam adalah jalan keluar”.[9] Kebangkitan Islam memiliki pengaruh terhadap setiap Umat islam di berbagai negara dan terhadap aspek-aspek kehidupan sosial-politik Umat Islam di sebagian besar negara Islam.  Kekuatan kebangkitan islam dan gerakan-gerakan islamis mendorong rezim yang berkuasa untuk memberikan dukungan terhadap institusi-institusi  dan perjuangan Islam, menjadikan symbol-simbol dan praktik-praktik  Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pemerintahan islam.  Dalam konteks yang luas, hal ini merupakan suatu penegasan kembali terhadap nilai-nilai Islam dari negara atau masyarakat Islam.  Kebangkitan Islam, bagaimanapun juga, merupakan produk dari kemorosotan kekuatan dan citra Barat ketika Barat benar-benar mengalami kemorosotan, mereka perlu untuk kembali pada pandangan-pandangan, praktik,  dan isntitusi-institusi Islam  sebagai penggerak sekaligus penyeimbang arus modernisasi. [10]
Munculnya kekuatan baru, yang ingin menandingi hegemoni Barat sering kali antar peradaban menyeret pada peperangan, aliansi-aliansi, dengan motif yang berbeda-beda bahkan perang antar peradaban yang mengubah tatanan dunia bisa terjadi.Sebuah perang yang melibatkan negara-negara inti dari peradaban-peradabann besar dunia sebagai suatu hal yang bisa terjadi. Perang seperti sebagaimana  berasal dari adanya sebuah garis persinggungan perang diantara berbagai kelompok yang berasal dari peradaban yang berbeda. Dan yang paling sering melibatkan kaum Muslimin dengan non_muslim serta lainya. Yang paling berbahaya dari perang global interperadaban adalah terjadinya balance of power di antara peradaban-peradaban dengan negara-negara satu sama lainnya. Tampilnya China sebagai kekuatan dominan di Asia Timur dan Tenggara akan menjadi kendala tersendiri bagi kepentingan-kepentingan Amerika yang telah mereka ketahui sebelumnya. Oleh karena itu,  kemungkinan konflik AS dan China akan berkembang pesat.  Sementara itu, perang tersebut memilki pengaruh terhadap negara-negara besar dari peradaban lain. India, atas tawaran China, berusaha menjadi kekuatan dominan di wilayah Asia Timur dengan melakukan serangan terhadap Pakistan dengan harapan  dapat menghancurkan secara total kekuatan-kekuatan nuklir  dan persenjataan konvensionalnya.[11]China dan AS berusaha memberikan dukungan kepada negara-negara sahabat mereka. Jika China berhasil dalam mengembangkan kemampuan militernya, Jepanag enggan bekerja sama dengan China.  AS, Eropa, Rusia dan India bersatu padu untuk menghadapi ancaman China, Jepang dan sebagian besar negara Islam, kedua belah pihak memilki  nuklir dan tidak sekedar memainkan peran minimal, maka salah satu dari  kedua belah pihak akan hancur.Kedua belah pihak merasakan adanya ancaman, sekalipun memungkinkan dilakukanya negosiasi, namun tetap tidak dapat mencarikan solusi bagi persoalan fundamental dalam kaitan dengan hegemoni China di Asia Timur.
Politik Global Peradaban :Islam VS Barat.
Hubungan Barat-Timur (Islam) dalam arti pengenalan Barat terhadap Islam sesungguhnya sudah berlangsung sejak lama, terutama sejak munculnya Islam sebagai kekuatan politik. Akan tetapi, pengenalan dalam arti yang lebih mendalam dan memperlihatkan intensitas yang luar biasa adalah sejak abad ke-19 yakni apa yang dikenal sebagai kajian orientalisme. Hubungan Barat-Islam selama masa tersebut memperlihatkan keragaman dari yang bersifat harmonis atau damai hingga konflik militer.Hubungan yang bersifat damai misalnya tercermin dalam pengiriman utusan atau duta antara kedua belah pihak.Kaisar-kaisar Bizantium misalnya sering mengirimkan perutusannya ke Baghdad, ibukota Daulah Abbasiyah.Meskipun demikian, hubungan Barat-Islam sepanjang yang dapat diamati hingga masa-masa belakangan, belum memperlihatkan tingkat hubungan sebagaimana yang diharapkan.Jalinan hubungan yang tampak, masih sebatas retorika, belum sampai pada tataran yang didasarkan atas ketulusan dan kesepadanan. Untuk melihat bagaimana sebenamya gambaran hubungan Barat-Islam selama ini berlangsung, menarik untuk disimak komentar Edward W. Said yang mengatakan bahwa hubungan Bamt dan Timur (Islam) adalah hubungan kekuatan, dominasi hubungan berbagai derajat hegemoni yang kompleks.[12]
Terdapat pelbagai faktor yang menjadi sebab terjadinya konflik antara Islam dengan barat (Kristen)  pada akhir abad XX.  Hal ini ditandai dengan pertumbuhan penduduk muslim yang begitu pesat menyebabkan terjadinya banyak pengangguran dan mendorong anak-anak muda menjadi anggota kelompok Islamis, melakukan tekanan terhadap penduduk sekitar dan bermigrasi ke Barat. Kebangkitan Islam memberikan keyakinan baru dikalangan Umat islam terhadap watak dan keluhuran peradaban serta nilai-nilai yang mereka miliki dibanding peradaban serta nilai-nilai barat. Upaya-upaya Barat yang simultan untuk mempropagandakan nilai-nilai dan institusi-institusi mereka, mempertahankan superioritas  kekuatan militer dan ekonomi mereka, serta intervensi mereka terhadap  pelbagai konflik yang terjadi di dunia Islam . Runtuhnya komunisme menjadi sebab tumbuhnya keyakinan akan musuh bersama antara Islam dan barat, dan melupakan permusuhan masa lalu.[13]Politik global barat, merupakan kebijakan kelanjutan dari misi imperialism baru.Varian seperti ini tidak selalu melakukan pendudukan pada sebuah negeri tertentu, serta penguasaan langsung. Imperialisme model ini dilakukan dengan mendiktekan kehendak dari balik tabir melakukan nasihat yang wajib dituruti dan dilaksanakan, dengan ancaman yang samar. Bahkan kadangkala mereka mengirim pasukan militer ke wilayah tertentu dengan alasan ada kesepakatan bilateral antara kedua negara yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah titah  dan dikte terhadap sebuah negara lemah yang dilakukan dengan besar. Sebagai contoh pemaksaan Amerika Serikat untuk menyerbu dan menduduki Afganishtan, kemudian Irak, menekan Iran dan Korea Utara menyerbu negara itu sebagai “poros Setan”[14]Banyak analisis yang menjelaskan sebab dan faktor yang memicu terjadinya benturan peradaban antara Islam dan Barat ini. Secara ringkas, dapat kita bagi menjadi 3 faktor utama sebagai berikut:
1.            Faktor agama.
Sejarah telah mencatat Baratlah yang memulai perang terhadap umat Islam yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Salib atau Crusade. Perang Salib terjadi selama 1 abad (1096–1192 M), yang berlangsung selama tiga tahap: antara tahun 1096–1099 M; antara tahun 1147–1149 M; dan antara tahun 1189-1192 M.[15]Pembantaian kaum Muslim oleh tentara salib di Spanyol (Andalusia) abad XV M, termasuk serangan secara pemikiran dan kebudayaan (tsaqâfah) seperti yang dilakukan oleh kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis, adalah juga berlatar belakang agama.[16]
Hingga kini, semangat Perang Salib ini masih melekat dalam benak orang-orang Barat, yang kemudian menjelma menjadi ‘prasangka buruk’ (stigma)  terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Edward Said, dalam bukunya yang berjudul, Covering Islam, menulis bahwa kecenderungan memberikan label yang bersifat generalisasi mengenai Islam dan orang Islam, tanpa melihat kenyataan sebenarnya, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul dan muncul kembali ke permukaan.Kata "christendom” dan “holy war” mulai banyak digunakan dalam berbagai tulisan di media massa Barat, seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi suatu “perang suci” antara Barat dan dunia lain di luarnya, terutama Dunia Islam.
2.      Faktor ekonomi.
Lenyapnya institusi Khilafah telah melebarkan jalan bagi negara imperialis Barat untuk menghisap berbagai kekayaan alam milik umat Islam.Sejak masa penjajahan militer era kolonial hingga saat ini, Barat telah melakukan eksploitasi ‘besar-besaran’ atas sumberdaya alam yang dimiliki umat Islam.
Sebaliknya, jika Khilafah Islam kembali berdiri dan berhasil menyatukan negeri-negeri Islam sekarang, berarti Khilafah Islam akan memegang kendali atas 60% deposit minyak seluruh dunia, boron (49%), fosfat (50%), strontium (27%), timah (22%), dan uranium yang tersebar di Dunia Islam (Zahid Ivan-Salam, dalam Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State).
Secara geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan jalur laut dunia yang strategis seperti Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati posisi strategis ini, kebutuhan dunia terutama Barat sangat besar akan wilayah kaum Muslim. Ditambah lagi dengan potensi penduduknya yang sangat besar, yakni lebih dari 1.5 miliar dari populasi penduduk dunia. Melihat potensi tersebut, wajar jika kehadiran Khilafah Islam sebagai pengemban ideologi Islam ini dianggap sebagai tantangan, atau lebih tepatnya lagi, menjadi ancaman bagi  peradaban  Barat saat ini.Walhasil, benturan antara kepentingan umat Islam yang ingin mempertahankan hak miliknya dan kepentingan negara Barat kapatalis tidak terhindarkan lagi.
3.      Faktor ideologi.
Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020, salah satu di antaranya adalah akan berdirinya "A New Chaliphate", yaitu berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan terhadap norma-norma dan nilai-nilai global Barat. Terlepas dari apa maksud dipublikasikannya analisis ini, paling tidak, kembalinya negara Khilafah Islam menurut kalangan analisis dan intelijen Barat termasuk hal yang harus diperhitungkan. Pertanyaannya, mengapa harus Khilafah?Jawabannya, karena potensi utama dari negara Khilafah adalah ideologi yang diembannya.Khilafah Islam adalah negara global yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan asas ideologi Islam.Ideologi Islam ini pula yang pernah menyatukan umat Islam seluruh dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa.Islam mampu melebur berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang berbeda.Kelak, Khilafahlah yang  bertanggungjawab untuk mengemban dan menyebarkan ideologi Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.



[1]Civilisation" (1974), Encyclopaedia Britannica 15th ed. Vol. II, Encyclopaedia Britannica, Inc., 956. Lebih jelasnya lihat http://ahmedmoezliem.blogspot.com/2012/01/efek-benturan-peradaban-islam-vs.html, Diakse pada tanggal 14 Mei 2012, pukul 12.00 WIB
[2]Pengertian yang biasanya di gunakan di pondok pesantren Hidayatullah yang di gagaskan oleh Ust. Suharsono
[3] Firdaus Syam. Pemikiran Politik Barat : Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia ke-3.  Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2007. Hlm. 1
[4]  Albert Hourani. Islam dalam Pandangan Eropa (terj).Yogyakarta. Pustaka Pelajar.1998. hlm.9
[5]  Roger Graudy. Janji-janji Islam (terj), Hm. Raqsyidi. Jakarta : Bulan Bintang. 1984. Hlm 11.
[6]Samuel P. Huntington.. Benturan Peradaban. Yogyakarta : Qalam. 2010. hlm. 55
[7]Ibid, hlm 65
[8]Pidato Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa Bidang Kemanusiaan dari Universitas Gadjah Mada Pada Rapat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 19 Desember 2011.
[9]Samuel.P. Huntington,Op.cit., hlm 181.        
[10]Ibid, hlm 193.Lebih jelasnya lihat Mahathir Mohammad. 1983. Mare Jirenma (The Malay Dilemma).hlm,267.
[11]Ibid,hlm 591-593
[12]Edward W. Said, Orientalisme (Bandung: Pustaka, 1994) Lihat lebih jelasnya dalam Katimin.Menuju Tata Dunia Baru, Hubungan Barat – Islam (perspektif historis-politis). Hlm. 153.
[13] Samuel.P. Huntington,Op.cit., hlm 383.
[14] Yusuf Al-qaradhowi..Islam Abad 21: Refleksi Abad 20 dan Agenda Masa depan.Jakarta : Pustaka Kautsar. 2000. Hlm. 8-9
[15]Samuel. P. Huntington,op.cit, hlm 333
[16]An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islamiyah. ____________:  Penerbit  Hizbut Tahrir,2002.hlm. 168-173.

Mathlaul Anwar Inspirator Modernisasi Pendidikan di Banten.



Pada pertengahan abad XIX, seiring makin banyaknya orang-orang nusantara dikenal dengan orang Jawi- yang pergi ke Mekkah, jamaah haji dari Banten menempati jumlah paling banyak.[1] Orang-orang Banten yang bermukim di Mekkah juga merupakan kelompok yang paling terkemuka di antara orang-orang Asia Tenggara lainnya,[2] di antara mereka yang paling menonjol adalah Syekh Nawawi al-Bantani.[3]  Kuatnya penduduk Banten terhadap ajaran Islam ini juga dikarenakan unsur-unsur yang membentuk kebudayaan mereka hampir tidak terdapat unsur peradaban Hindu.[4] Dalam  kenyataannya, pengaruh unsur Islam sangat menonjol, sehingga kadar sinkretisme Islam tidak kelihatan dibandingkan daerah- daerah yang telah begitu kuat pengaruh Hindu-Budha sebelumnya.[5] Dapatlah dimaklumi bahwa agama Islam mempunyai pengaruh yang mendalam dalam kehidupan penduduk daerah tersebut. Terjadinya Revolusi Banten pada tahun 1888 dan 1926 juga tidak terlepas dari dorongan semangat keagamaan. Gerakan-gerakan tersebut banyak melibatkan para ulama yang merasa diganggu keberagamaannya oleh pemerintah kolonial. Tidak kurang dari 43 haji dan 90 guru agama yang terlibat dalam pemberontakan 1888 itu.16 Sementara pada 1926, sekitar 27 haji dan 11 guru agama dari 99 tahanan yang dibuang ke Boven Digul.17
Selain karena tradisi menjalin hubungan dengan pusat ajaran Islam yang telah giat dilakukan sejak masa-masa awal kesultanan Banten, kesadaran keagamaan yang kuat terhadap ajaran Islam ini juga tentu tidak terlepas dari proses pendidikan yang dilaksanakan oleh para penyebar Islam. Mereka secara intens menanamkan ajaran-ajaran Islam kepada penduduk Banten hingga melahirkan orang-orang Banten yang disebut oleh pemerintah kolonial sebagai fanatik, atau menurut lafal Bantennya, orang panatik. Pendidikan tersebut dilaksanakan di lembaga-lembaga seperti langgar, masjid, pesantren atau di rumah-rumah seorang tokoh agama. Sedangkan lembaga pendidikan yang disebut madrasah tidak dikenal hingga dekade pertama awal abad XX.
Pada awal abad tersebut, pemerintah kolonial Belanda telah sepenuhnya menguasai seluruh daerah yang disebut Hindia Belanda.[6] Administrasi birokrasi yang sebelumnya berada di tangan raja-raja lokal, kini telah terpusat pada pemerintahan Hindia Belanda. Pada saat inilah, kolonial Belanda meluncurkan Program Politik Etis-nya. Politik Etis ini kelak sangat menentukan kehidupan sosial keagamaan penduduk Banten, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan Islamnya. Melalui Politik Etis ini pemerintah mengharapkan terjadinya masyarakat pribumi yang cepat dari pola statik, pola Asia, kepada suatu pola Barat di bawah pengayoman Belanda.[7] Namun di sisi lain, selain sasaran transparan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di koloni, pada saat yang sama orang-orang Belanda menyembunyikan kepentingan terselubungnya. Meskipun kebijakan tersebut tidak secara terang-terangan dimaksudkan untuk mempromosikan cita- cita Kristiani, namun fakta menunjukkan bahwa korelasi keduanya sangat kuat. Berbagai subsidi terhadap sekolah dan lembaga misi, kini mulai diberikan secara terang-terangan.[8]
Pesantren yang menjadi basis pendidikan agama masyarakat muslim tidak mendapatkan perhatian sama sekali.[9] Pemerintah berargumen bahwa hal itu dilakukan untuk menjaga netralitas terhadap agama apapun sebagaimana secara formal tertuang dalam konstitusi Belanda tahun 1855 dan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1871. Akan tetapi klaim tersebut tidak benar, karena pada saat yang sama pemerintah membantu pembangunan sekolah teologi Kristen.[10]
Di Banten, pendidikan dengan sistem modern yang didirikan oleh kolonial baru dibuka pada tahun 1910.25 Keterlambatan
pendirian ini mengakibatkan jumlah anak-anak Banten yang masuk ke dalam sistem persekolahan ini adalah jumlah yang paling rendah di seluruh Jawa.[11] Penyebab lainnya adalah rasa enggan yang mengidap di masyarakat Banten untuk memasukkan anak- anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Dalam pandangannya, menyekolahkan anak-anaknya ke sekolahan yang didirikan oleh kaum kafir itu adalah haram, atau setidaknya tidak dianjurkan dalam Islam.[12]Lebih dari itu, rasa kebencian yang sangat mendalam karena banyak saudaranya yang dihukum gantung, dipenjara atau dibuang setelah peristiwa heroik pada tahun 1888 itu. Sehingga apapun yang berkaitan dengan kolonial, mereka menjadi sangat resisten terhadapnya. Kekhawatiran akan dimurtadkan apabila anak-anaknya dimasukkan ke dalam persekolahan kolonial juga ikut mempertebal rasa enggan tersebut.
Dengan demikian, lembaga pendidikan Islamlah yang menjadi pilihan utama orang tua dalam mendidik anak-anaknya pada saat itu. Namun di sisi lain, pendidikan Islam sudah saatnya untuk menawarkan pola pendidikan yang lebih maju, baik dalam hal kelembagaan, struktur materi, maupun metodenya, sehingga dapat mengimbangi sekolah-sekolah ala Belanda. Oleh karena itu, tulisan ini akan coba menelusuri perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam yang berkembang di masa awal abad XX. Pertanyaan yang akan dicari jawabannya dalam tulisan ini adalah, sejak kapan gerakan pembaharuan pendidikan Islam berlangsung di daerah Banten dan dengan cara bagaimana proses pembaharuan pendidikan Islam dilaksanakan? Pertanyaan-pertanyaan historis di atas tentu saja didasarkan pada sebuah fakta bahwa, sama seperti di daerah lainnya di Indonesia, Banten menjadi salah satu tempat terjadinya gerakan pembaharuan pendidikan Islam, hanya saja mungkin dengan cara yang agak berbeda dengan yang terjadi di tempat lain dan waktu dimulainya gerakan pembaharuan tersebut.
Latar belakang pembaharuan pendidikan Islam di Banten tidak jauh berbeda dengan di tempat-tempat lain di Indonesa. Kendati demikian, Banten memiliki keunikan tersendiri dibandingkan di tempat-tempat lain di Indonesia. Sebagaimana William katakan, Banten yang telah memiliki akar tradisi ketaatan kepada ajaran Islam yang sangat panjang itu, merasa kesulitan untuk menerima ide-ide modernisme. Karena menurut pandangannya, mendukung ide-ide tersebut sama dengan mengakomodasi Belanda yang sedang mereka benci. Ketika angin pembaharuan menerpa hampir di seluruh daerah di nusantara pada awal-awal abad itu, Banten baru menerimanya pada tahun-tahun 1920-an.55
Steenbrink menggambarkan bahwa awal abad XX, telah terjadi apa yang disebut sebagai kebangkitan, pembaharuan (renaissance) atau bahkan pencerahan.[13] Bagi tokoh-tokoh pembaharu, pendidikan kiranya senantiasa sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Dari pandangan seperti inilah terwujud lembaga pendidikan Islam baru yang dinamakan madrasah.[14] Di samping itu, kenyataan makin merakyat sekolah-sekolah sekuler kolonial Belanda dan sikap diskriminatif dari pemerintah terhadap rakyat pribumi, juga ikut mendorong lahirnya lembaga pendidikan madrasah ini.58 Sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan penting yang menentukan masa depan pendidikan di nusantara ini. Kebijakan tersebut adalah Politik Etis (Etische Politiek).
Inti dari kebijakan ini adalah emansipasi bangsa Indonesia secara berangsur-angsur. [15]Dari sinilah kemudian lembagalembaga pendidikan dengan sistem Barat diperkenalkan sampai ke lapisan golongan bawah, yang sebelumnya hanya dinikmati secara eksklusif dari kelompok-kelompok terpilih menurut ukuran Belanda. Berdasarkan kenyataan ini umat Islam meresponnya dengan melakukan sintesa antara lembaga pendidikan pesantren dengan persekolahan Belanda sehingga melahirkan bentuk lembaga pendidikan Islam madrasah. Tambahan pula, kelahiran madrasah tersebut dimaksudkan untuk menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen.62 Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dipersepsikan sebagai pemerintahan Kristen. Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh pemerintah kolonial, sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan.
Harus diakui bahwa kiprah Mathla'ul Anwar sebagai sebuah gerakan Islam yang dikenal berorientasi pembaruan yang lahir pada tahun 1916 Masehi patut diapresiasi atas jasa dan kontribusinya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia di berbagai bidang kehidupan masyarakat seperti bidang dakwah, sosial, pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya.Mathla'ul Anwar merupakan lembaga pendidikan klasikal pertama di Banten yang didirikan pada tahun 1334 H/1916 M di Menes, Pandeglang, Banten, dengan dasar Islam. Sementara tujuan didirikan Mathla'ul Anwar adalah terwujudnya pendidikan dan ajaran Islam di kalangan umat dan masyarakat Islam. Adapun tujuan didirikannya Mathla'ul Anwar ini adalah agar ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk menghimpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam, mendirikan madrasah, memelihara pondok pesantren dan menyelenggarakan tablig ke berbagai penjuru tanah air yang pada saat itu masih dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Pemerintah kolonial telah membiarkan rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.
Mathla'ul Anwar adalah sebuah organisasi masyarakat yang berorientasi pada pendidikan dan dakwah. Berdiri pada 10 Ramadhan 1334H/10 Juli 1916 di Kampung Kananga, Menes, Didirikan oleh KH Mas Abdurrahman bin KH Mas Jamal bersama beberapa kiyai lainnya, antara lain: KH Tubagus Muhammad Sholeh, KH Entol Muhammad Yasin, Kiai Tegal, KH Abdul Mu'thi, Kiyai Soleman Cibinglu, KH Daud, Kiai Rusydi, Kiya Entol Danawi, dan KH Mustaghfiri. Ialah KH Raden Mas Abdurahman Saleh Abdurahman Jamal, salah seorang ulama yang berjasa dalam dunia pendidikan di Banten dan Indonesia. Dia tokoh muda, sepulang dari Mekkah mendirikan Mathla'ul Anwar bersama kiai sepuh lainnya. Lahir tahun 1882 di Kampung Janaka (Gunung Aseupan), Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang dan wafat 1943. (Muhammad Idjen, penulis buku berjudul KH Mas Abdurrahman Ulama Besar Kharismatik Dari Tutugan Gunung Aseupan). Sumber lain menyebut, ulama ini lahir sekitar tahun 1875 dan wafat 16 Agustus 1944 dan dimakamkan di Cikaliung Sodong, Kecamatan Saketi, Pandeglang atau sekitar lokasi Universitas Mathlaul Anwar (UNMA). (M Nahid Abdurahman, penulis buku berjudul KH Abdurrahman Pendiri Mathlaul Anwar). Sementara menurut buku 'Dirosah Islamiyah I Sejarah dan Khittah MA' yang diterbitkan Pengurus Besar Mathla'ul Anwar, disebutkan dia lahir tahun 1868 dan wafat tahun 1943. Mathla'ul Anwar saat ini telah menjelma menjadi salah satu kekuatan civil society yang sangat diperhitungkan sebagai katalisator seluruh agenda pembangunan bangsa. Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, selain Nahdatul ulama (NU) dan Muhammadiyah. Mathla'ul Anwar sejatinya tetap menjaga netralitasnya dalam menyikapi berbagai persoalan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali dalam konteks politik.[16]



[1] Menurut angka statistik 1887, di Banten terdapat 4073 haji, 0,72 dari jumlah penduduk yakni 561.003. Ini merupakan persentase tertinggi untuk seluruh Jawa. Lihat, Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt, h. 152, edisi bahasa Indonesia, h. 247.
[2] Christiaan Snouck Hurgronje, “Ulama Jawa yang Ada di Mekah pada Akhir Abad XIX” dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique dan Yasmin Hussain, Islam Asia Tenggara, terj. A. Setiawan Abadi (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 150, Ulama-ulama Banten yang terdapat di Mekkah pada akhir abad XIX, terdapat pada h. 156-160; Laffan, Islamic Nationhood, h. 63-64; dan Alex Soesilo Wijoyo, “Syaikh Nawawi of Banten: Texts, Authority, and the Gloss” Disertasi, Unpublished (New York: Columbia University, 1997), h. 13.
[3] Kajian yang mendalam terhadap ulama yang sangat terkenal ini dan karya-karya yang dihasilkan selama hidupnya, lihat Wijoyo, Syaikh Nawawi of Banten; Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al- Bantani (Yogyakarta: LKiS, 2009); dan Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 117-127
[4] Lihat, Muhaimin AG., Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, cet. ke-2 (Jakarta: Logos, 2002), h. x. Lihat juga, Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia” dalam Mark R. Woodward (Ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
[5] Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950 (Yogyakarta: MATABANGSA, 2001), h. 49
[6] Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1980), h. 53.
[7] Ibid., h. 56
[8] Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 43-44
[9] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, cet. ke-2 (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 8-9.
[10] Soemarsono Mestoko, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 80-81
[11] Pada tahun 1916, empat HIS di Banten masing-masing memiliki murid sebagai berikut: Serang, 189 laki-laki dan 46 perempuan; Cilegon, 91 laki-laki dan 29 perempuan; Pandeglang, 147 laki-laki dan 23 perempuan; dan Rangkasbitung, 136 laki-laki dan 40 perempuan. Lihat, Williams, Communism, h. 106, catatan kaki no. 3. Sebagai bahan perbandingan, di seluruh Hindia Belanda jumlah siswa HIS ini mencapai 22.734 siswa pada tahun 1915. Lihat, Wardiman Djojonegoro, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1996), h. 64.
[12] Rahayu Permana, “Kyai Haji Syam’un (1883-1949): Gagasan dan PerjuangannyaTesis (Depok: PPs Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2004), h. 29.
[13] Steenbrink, Pesantren, Madrasah, h. 26.
[14] Istilah “madrasah” berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat belajar. Lihat, Ibrahim Anis dkk., Al-Mu’jam al-Wasit (Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1972), h. 280.
[15] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, cet. ke-3 (Bandung: Jemmars, 1987), h. 16.
[16] Eko Supriatno Dosen FISIP Universitas Mathla'ul Anwar Banten. Ketua ICMI Orsat Labuan dalam tulisannya Kabar Banten.com. Mathlaul Anwar dan Godaan politik. Edisi 29 Sep 2011