Kamis, 09 Agustus 2012

Puasa Momentum Pembebasan dan Kemerdekaan.



Bulan puasa (Ramadhan) sering kali disebut sebagai bulan suci, bulan metamorfosis dari keterbelengguan menuju merdeka. Puasa tiap tahunnya yang diselenggarakan hanya sebatas dramaturgi dan ritual keagamaan namun kurang memaknai secara substantif  bahwasanya puasa membawa misi kekuatan pembebasan (liberating power). Dalam konteks ke-Indonesiaan, momentum puasa ramadhan mempunyai arti historis-semiotis. Kemerdekaan Indonesia terlahir bertepatan dengan bulan Ramadhan jika ditarik lebih jauh mengandung pesan unsur pembebasan dan kemerdekaan dengan makna dan arti yang cukup mendalam.
Kemerdekaan yang dimaksudkan dalam konteks puasa keindonesiaan (Puasa kebangsaan) adalah spirit kemerdekaan jiwa, dan raga dari hal-hal yang membelenggu dan memborgol  kekuatan mental-spiritual. Puasa tidak hanya dijadikan ritual keagamaan secara interaksionisme simbolik, akan tetapi sebagai muhasabah atau refleksi kita agar bangsa ini benar-benar terlepas dari segala sesuatu yang membelenggu, menawan nafsu keserakahan, mereduksi  nafsu kebendaan (materi) yang dapat menyebabkan gangguan mental dari  rakyat kelas akar rumput sampai  elit kelompok tertentu.
Pembebasan dalam misi ritual puasa tidak lain adalah membebaskan jiwa atau qolbu (hati) dari penyakit-penyakit ruhani yang bisa berimplikasi pada sistem dalam masyarakat kolektiv, bangsa bahkan negara. Mental-mental ruhani yang tidak merdeka itu berdampak pada efek domino lebih luas, dari korupsi personal sampai korupsi berjama’ah yang sering kita dengar tiap tahunnya adalah bukti bahwa selama ini puasa hanya dimaknai secara ritual keagamaan, lebih celakanya lagi puasa sebagai momentum pembebasan dimaknai bebas dalam melanggar batas-batas kemanusiaan semisal bebas korupsi, bebas membodohi rakyat, bebas melakukan tindakan intoleran, dan pola-pola dekonstruktif lainnya yang menjadikan bangsa ini bangsa yang berperadaban biadab. Relasi kemerdekaan Indonesia dengan Puasa Ramadhan bukan momentum sebatas kemerdekaan fisik saja, tetapi ruh dan spirit kesolehan personal (transendental) dan Kesholehan sosial (humanisasi). Dengan demikian Puasa yang seperti inilah sejatinya puasa yang integral, Kaffah dan holistik.
Fenomena sosial seperti : Kemiskinan, kebodohan, dan kesenjangan sosial dalam  kehidupan telah menggurita di berbagai lapisan masyarakat. Umat manusia hanya berkompetisi di depan publik dengan pemberian hadiah pada saat momen religius saja, dan tidak jarang momentum itu hanya dijadikan politisasi agama guna meraup dukungan dan meraih kedudukan. Selain itu, basis kebajikan manusia kembali mengakar pada teosentrisme, sebuah prolog yang lagi-lagi dirasionalkan  demi kepentingan Tuhan yang sebenarnya. Krisis yang timbul di kalangan elite dan masyarakat kita sekarang ini karena mereka kehilangan kendali diri dan menjauh dari jalan yang sebenarnya. Bahkan, di era globalisasi, manusia sudah kehilangan solidaritas sosial. Tak salah kalau banyak yang kelaparan pada saat kita semua menjalankan ibadah puasa karena puasa hanya sekadar kewajiban. Jika pada bulan-bulan lain para elite politik seenaknya mengumbar kata-kata, selama puasa harus berlatih untuk lebih bijak dalam bertutur. Kalau pada bulan selain Ramadhan para pelaku birokrasi begitu mudah menyimpangkan anggaran negara, saat puasa mereka mesti berupaya mengakhirinya. Tidak ada momentum sekhidmat Puasa Ramadhan yang bisa dijadikan titik balik untuk membuat lompatan jauh kedepan. Sekiranya hemat saya, puasa dapat menjadi landasan untuk membangkitkan spirit kebijakan umum yang memerdekakan dan membebaskan terhadap segala sesuatu yang mebelenggu. Merdeka dari jajahan bangsa sendiri yang dengan tanpa malu meraup hak-hak rakyat dengan rakusnya. Apapun jabatan dan strata/status sosial, tatkala kita berpuasa sejatinya kita mempunyai tanggung jawab untuk merasakan apa yang orang lain rasakan.  Puasa ramadhan hanyalah bulan latihan agar kita mampu meng-hijrah-kan diri dari nafsu kebinatangan (hewani) menuju hakikat manusia yang sesungguhnya. Puasa ramadhan bukanlah ajang pertaubatan sementara yang memunculkan sikap dramaturgi tetapi berlaku konsisten  menuju jalan transformasi diri yang berangkat dari kesadaran spiritual individual dan kemudian terwuujd dalam kesadaran sosial sehingga bisa membawa manfaat bagi negeri kita tercinta ini.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Puasa Refleksi Perbaikan




Puasa merupakan momentum menuju perbaikan dari proses statis menuju dinamis, Jika menurut Al- zamaksyari dalam tafsir Al- kasyyaf, puasa merupakan tradisi umat terdahulu sejak Nabi Adam AS. Bahkan, seluruh umat terdahulu juga melaksanakan puasa dengan tujuan memupuk IMTAQ (Iman dan Taqwa), dengan bertujuan melanjutkan misi propetik agama- agama.

Misi profetik seperti ini sebenarnya harus mampu menggugah kesadaran secara kolektif dalam berbangsa dan bernegara guna mewujudkan “ Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghoffur”. Momentum puasa seharusnya dijadikan sebagai referensi paradigma berfikir yang menuju kepada transformasi sosial, artinya selama ini puasa hanya dimaknai sebagai ritual-individual (Transendental), bukan pada aspek yang lebih luas yakni ritual-sosial (Humanisasi). Maka memaknai puasa sejatinya dalam konteks pembebasan individual yang ditempatkan sebagai rutinitas-ritualitas belaka sebagaimana berlaku general, tetapi harus ditarik lebih luas guna membebaskan dari berbagai problem sosial – kemasyarakatan.

Perbedaan puasa dengan bulan- bulan lain tercermin pada pola pikir ( paradigma) keberagaman yang menjadi sorotan. Bila pada bulan bukan Ramadhan masyarakat umumnya disibukan dengan urusan memperkaya diri, bahkan korupsi kolektif ( berjama’ah) beserta jaringanya ( Mafia), tetapi pada bulan puasa ada selang waktu untuk refleksi diri (Muhasabah) , Stop kekerasan dan Korupsi !

Tuhan memerintahkan manusia untuk melaksanakan ritual keagamaan bertujuan tidak lain sebagai proses perubahan menuju perbaikan. Jika dalam kacamata islam perubahan itu dari Mu’min- Muttaqin yang selaras dengan tujuan dari puasa itu sendiri. Jika kita melihat fenomena sosial dan dikaitkan dengan hakikat puasa , seharusnya momentum puasa mampu menjadi refleksi diri dari problematika sosial yang ada. Sebagai contoh : prostitusi, perjudian, warung bar dimana- mana dan sebagainya ketika memasuki bulan Ramadhan masyarakat dan pemerintah beramai- ramai menetralisir kegiatan tersebut dengan dalih menghargai bulan Ramadhan, akan tetapi pasca ramadhan masyarakat dan pemerintah kurang begitu memperhatikan ketika problematika itu mencuat ke permukaan dan cenderung kurang menjadi sorotan. Dengan kondisi demikian, bulan Ramadhan hanya dijadikan bulan pertaubatan sementara.

Demikian pula halnya dengan korupsi yang semakin marak, politik saling sandera, konflik horizontal, yang terjadi dibeberapa tahun menandakan puasa yang dilakukan oleh sebagian yang menjalakanya (Muslim)  belum mampu menjawab realitas problem sosial. Dalam konteks ini puasa Ramadhan harus dijadikan sebagai gerbong perubahan menuju lokomotif perbaikan. Jika bangsa ini tidak belajar dari puasa sebelum- sebelumnya dengan hasil yang tidak positif  di tengah masyarakat, maka puasa jauh dari maknanya (Substansi).

Karena itu, puasa dapat menjadi landasan untuk membangkitkan spirit kebijakan umum. Apapun jabatan dan strata/status sosial, tatkala kita berpuasa sejatinya kita mempunyai tanggung jawab untuk merasakan apa yang orang lain rasakan.  Puasa ramadhan hanyalah bulan latihan agar kita mampu meng-hijrah-kan diri dari nafsu kebinatangan (hewani) menuju hakikat manusia yang sesungguhnya. Puasa ramadhan bukanlah ajang pertaubatan sementara yang memunculkan sikap Hidden kemunafikan tetapi berlaku konsisten dengan out put yang positif.