Kamis, 18 Oktober 2012

“Mencari Kembali Jalan menuju Identitas Kebudayan Indonesia dalam kacamata Historis”.




Oleh : Ahmad Bachtiar Faqihuddin

Identitas kebudayaan nasional Indonesia kini mengalami dilema, hal itu dikarenakan identitas yang menjadi ciri bangsa Indonesia kian dipersimpang jalan. Identitas kebudayaan Indonesia tidak terjadi dengan sendirinya, namun merupakan proses pergumulan sejarah dan pencarian jati diri yang sangat panjang. Indonesia yang berada dalam proses pembentukan negara-bangsa menghadapi banyak tantangan baik dari dalam maupun luar negeri, yang memerlukan pembenahan dalam berbagai sektor kehidupan. Pasca revolusi Agustus 1945 saat Indonesia mencari identitas kebudayaan nasional adalah momentum perdebatan dalam mencari sebuah pengertian identitas kebudayaan nasional Indonesia, maka tidak heran pada era ini muncullah Pencarian identitas kebudayaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lain dengan aliran dan ideologi masing-masing, seperti LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia), HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam), Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dan lain sebagainya.

Aliran-aliran kebudayaan diatas tidak dipungkiri beraflilasi dengan Partai politik atau organisasi massa (ormas). LKN berafliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Lekra dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Lesbumi dengan Nahdhlatul Ulama (NU) dan lain sebagainya yang mewarnai corak serta warna bagi masyarakat Indonesia. Bagi Lekra misalnya kesenian tidak sekadar sebagai seni keindahan atau hiburan tetapi seni yang sadar pada politik, negara, partai, rakyat, perjuangan revolusi dan bahasa diplomasi-komunikasi-antar negara. Program-program Lekra memperlihatkan perhatian yang cukup besar pada seni daerah. Hal ini bisa dilihat dari laporan kongres, konfrensi nasional, maupun pleno Lekra. Misalnya pada Konfrensi Nasional I di Bali (1962), Lekra dari Sumatera Selatan diwakili oleh Z. Trisno melaporkan selama satu tahun telah mengadakan investarisasi dongeng-dongeng, tari-tari, lagu-lagu daerah dan mengumpulkan bahan-bahan untuk penyelidikan akasara-akasara dan bahasa daerah. LEKRA Sulawesi Tenggara, yang diwakili oleh Mahmud Jusmanor, juga melaporkan pengembangan tari-tari daerah dan pengembangan tari-tari suku daerah lainnya.[1] PKI dengan idiologinya yang sangat kental dengan anti imperialism dan kapitalisme ini menandakan langkah serta progresivitas PKI mampu memberikan corak kebudayaan tersendiri dengan pengaruh yang besar, hal inilah memunculkan terbentuknya Lesbumi pada tahun 1962 sebagai respon upaya penolakan terhadap komunisme[2]. Lesbumi membawa warna yang berbeda dari Lekra. Lesbumi membawa genre “religius”. Ia merupakan manifestasi dari cita-cita dan gagasan kesatuan Nasakom Soekarno yang meniscayakan terhadap agama sebagai unsur mutlak dalam nation and character building di bidang kebudayaan. Pendefinisian ini sejalan dengan tujuan revolusi Indonesia yang menginginkan tercapainya masyarakat yang adil makmur lahir batin yang diridlai Allah. Diyakini bahwa jalannya revolusi Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Manifesto Politik, menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam kesatuan Pancasila sebagai landasan ideal. Lesbumi dengan semboyan Humanisme religius­-nya juga memberikan alternatif baru dalam polemik dalam mementukan arah kebudayaan yang terjadi antara Lekra yang beraliran realisme sosialis dan Manifes Kebudayaan yang beraliran humanisme universal. Selain Lesbumi, Manikebu juga menolak jargon “politik adalah panglima” yang menjadi motor penggerak aktivitas Lekra, dan semboyan “seni untuk seni” (l’ art pour l’ art). [3]
Lembaga kebudayaan diatas memang sangat membantu dalam penemuan jati diri bangsa Indonesia sebagai identitas serta simbol kebangsaan, pergolakan kebudayaan antara LKN, Lesbumi, Manikebu, HSBI semestinya dipandang bukan perdebatan kebudayaan, tapi hemat penulis lebih mengrah kepada kepentingan politik mengatasnamakan kebudayaan. Hal itu memang lumrah adanya dalam dinamika sebuah bangsa yang beranjak dewasa ditengah masyarakat yang majemuk (plural). Dengan Tumbangnya Orde Lama, secara tidak langsung bergantinya era Orde Baru membawa dampak pergeseran kebudayaan dari Indonesia sentris ke Barat sentris  (Kebarat-baratan). Pada masa Orde Lama (orla) diskursus kebudayaan dan kesusatraan begitu kaya, mulai dari ketoprak, film Indonesia, tari-tari daerah menjadi aset yang sangat berharga. Karya-karya Lekra, Lesbumi, Manikebu, HSBI bagai terkubur dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Produk hukum beserta regulasi (kebijakan) Soeharto yang berbau Orde Lama menjadi fatwa haram untuk mempelajari bahkan menjadi bahan perdebatan sampai era reformasi sekarang ini. Hal ini hemat penulis mengidintesifikasikan ada upaya ahistoris dengan penghapusan jejak identitas kebudayaan Indonesia serta derasnya arus westernisasi yang menggerogoti sendi-sendi jati diri bangsa yang lama diperjuangkan. Produk hukum Soeharto membawa dampak menjamurnya kapitalisme secara budaya yang diboncengi kepentingan barat (AS) serta sekutunya, imperialisme dalam sumber-sumber ekonomi sangat bertentangan dengan landasan negara yakni pancasila yang lebih menganut kepada faham sosialisme (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Disamping itu aura politik Soekarno yang anti penjajahan asing (imperialis) saat itu merambah  ke aksi  kebudayaan.  Misalnya mobilisasi massa untuk ganyang Malaysia (karena konsolidasi  Malaysia akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga jadi ancaman terhadap kemerdekaan Indonesia) dan aksi boikot film-film import oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) karena dinilai berisi propaganda yang berbahaya bagi kesadaran massa. Disisi lain hal ini berbanding terbalik dengan era Soeharto, liberalisasi ekonomi praktis membawa masuk produk-produk budaya dari peradaban barat ke Indonesia, mengubah budaya masyarakat kita. Yang tadinya hanya mengenal budaya  kerakyatan (local genius) dan sisa-sisa feodalisme, sejak adanya gelombang  kapitalisme kita pun tahu: diskotik, Coca Cola, MTV, mode/fashion yang bisa membuat penampilan para remaja kita secara homogen dan hedonisme.

Era globalisasi dan kapitalisme global menyeret bangsa kita kepada hilangnya identitas budaya yang menjadi icon bangsa yang besar, menjamurnya budaya asing seperti Boy Band, Jazz, pop tanpa adanya filter menyebabkan hilangnya apa yang menjadi symbol Indonesia sebagai bangsa yang plural. Hemat penulis untuk memaknai sebuah apa itu Identitas Kebudayaan nasional Indonesia sekiranya aspek-aspek nilai-nilai, norma, idiologi, serta keberagamaan ke-agama-an harus menjadi solusi guna mempertahankan symbol persatuan dan kesatuan. Maka penulis kiranya berharap lembaga-lembaga kebudayaan dulu yang pernah dan masih ada semisal Lekra, Lesbumi, HSBI, Manikebu dan lain sebagainya kembali digalakan dalam membendung pergeseran dan kritik kebudayaan pro westernisasi. Dalam konteks kekinian suatu perjuangan kebudayaan harus memiliki landasan ideologi, yakni harus punya cita-cita membangun masyarakat sejahtera, modern, berpemerintahan bersih (good governnance) dan pro rakyat/kerakyatan. Kita boleh saja berkata dengan asumsi yang menyatakan bahwa Indonesia sedang dijajah baik ekonomi, maupun kebudayaan, dalam hal ini Sekaranglah keharusan kita membangun gerakan Pembebasan lewat demonstrasi, lewat organisasi, dengan teater, film, seni musik, seni sastra, tari-tarian, rapat, kongres, diskusi, selebaran, pamflet  dan sebagainya sebagai jalan pencarian identitas kebudayaan Bangsa Indonesia kembali.




[1]     Tak Seorang Berniat Pulang,  Walau Mati Menanti’ dalam ‘Laporan Kebudajaan Rakjat II’, Laporan daerah-daerahI diterbitkan oleh bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat’, tanpa tahun terbit, hlm. 140-143. Lebih jelasnya lihat di http://bingkaisastra.blog.com/2010/12/23/lekra-pencarian-identitas-kebudayaan-nasional-indonesia/, diakses pada tanggal 18 Oktober 2012 pukul 22:24 WIB
[2]     Lebih jelasnya lihat dalam bukunya Choirotun Chisaan. 2008. Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan. Yogyakarta : LKIS. Hlm. 125,126
[3]     Lebih jelasnya silahkan lihat dalam skripsinya Alexander Supartono. 2000. Lekra vs Manikebu : Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965. Jakarta : STF Driyakarsa. hlm.8