Jumat, 20 Juni 2014

EKSISTENSI PANCASILA DAN KEBANGSAAN KITA



“Sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitlk“
(pidato BJ. Habibie pada tanggal 1 Juni 2011 di Sidang MPR RI Peringatan Hari Pancasila)
Tepat tanggal 1 Juni kemarin adalah momentum bersejarah bagi bangsa ini dalam proses menginjak usia yang semakin menua sebagai negara berdaulat. Peristiwa penting tersebut tidak lain adalah hari dimana lahirnya Pancasila. Sebagai refleksi kesejarahan perlu kiranya momentum tersebut dijadikan sebagai otokritik sejauh mana pemahaman kita terhadap ideologi suatu bangsa dan berbagai macam persoalan yang menyertainya.
Lahirnya Pancasila tidak terjadi secara sendirinya, melainkan lahir dari dialektika dan consensus para founding father untuk menentukan dasar-dasar negara Indonesia merdeka. Istilah Pancasila pertama kali muncul atas gagasan Ir. Soekarno saat sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia), yang dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zumbi Cosakai. Menurut Soekarno, dasar negara Indonesia merdeka disebutnya sebagai philosophicische grondsag, yaitu fundamen, filsafat, jiwa, yang sedalam-dalamnya yang diatasnya didirikan gedung Indonesia merdeka (Rukiyati, 2008:49).
Melahirkan ideologi,  falsafah dan dasar negara Republik Indonesia tersebut tentu tidak mudah layaknya bimsalabim abrakadabra. Di tengah-tengah hiruk pikuk situasi dan porak-porandanya kondisi nasioanal yang setiap saat selalu mengancam keselamatan diri dan bangsa Indonesia, kiranya merupakan tantangan dan perjuangan berat bagi pejuang revolusi kala itu. Sementara kondisi dan situasi tersebut tak jarang merenggut nyawa dan persimbahan darah dan air mata.
Dewasa ini banyak kalangan dan individu yang mempertanyakan kembali Ideologi Pancasila, apakah masih relevan sebagai ideologi negara, falsafah hidup bangsa Indonesia? Apakah Pancasila merupakan living reality ataukah hanya mitos belaka? Ataukah justru Pancasila hanya simbol ornament semata yang tertancap di dinding gedung kelas dan isntitusi pemerintahan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan, karena eksistensi Pancasila sampai saat ini substansinya “Jauh panggang dari api”. Proses sejarah dan kenyataan yang terjadi selama diberlakukannya Pancasila dan UUD 45 menampilkan penilaian variatif. Meskipun hingga saat ini Pancasila dan UUD 45 masih tetap sebagai ideologi dan landasan konstitusi negara. Aktualisasi keduanya tetap tergantung kepada siapa yang menafsirkan dan kekuatan politik yang menggunakannya.
Sebagai contoh, dimasa Orde Lama kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno meletakkan dasar kepemimpinannya yang dinamakan “Demokrasi Terimpin”, yaitu demokrasi yang difahami sebagai pengejawantahan sistem musyawarah mufakat yang dikandung sila keempat di dalam Pancasila, dan dianggap mencerminkan kepribadian bangsa (As’ad Said Ali, 2009: 29). Selain itu juga, Soekarno menghendaki persatuan diantara beragam aliran politik saat itu, termasuk Komunis di bawah satu payung besar bernama Pancasila (Doktrin Manipol USDEK). Walaupun, Demokrasi Terpimpin dimaksudkan mencerminkan kepribadian bangsa, akan tetapi dalam kenyataannya lebih didominasi oleh kepribadian Soekarno.
Era Orde Baru Pancasila cenderung didogmatisasi dan indoktrinasi, jadilah Pancasila hanya jadi alat politik penguasa untuk mempertahankan status quo. Melalui media massa yang terkooptasi, kekuatan militer yang menopang stabilitas keamanan dengan senjata, operasi militer, maupun penguasaan jalur birokrasi, institusi resmi BP7, lembaga penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), dan sebagainya. Semuanya diperalat melalui korupsi politik untuk menepatkan Pancasila menjadi milik pemerintah (Munawar Fuad Noeh, 2000: 24). Apa yang dilakukan rezim ORBA menyebabkan Pancasila menjadi “Ideologi Tertutup”, kritik terhadap Pancasila merupakan fatwa haram untuk dipertanyakan, disinilah terjadinya “sakralisasi” Pancasila. Padahal jiwa zaman (Zeitgeist) Pancasila harus sesuai dengan perkembangan negera yang modern. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat.
            Tantangan Pancasila di Era Reformasi
Di era reformasi ini ada gejala Pancasila ikut “terdeskreditkan” sebagai bagian dari pengalaman masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi politik Pancasila pernah dipakai sebagai legitimasi ideologis dalam membenarkan negara Orde Baru dengan segala sepak terjangnya. Pancasila ikut disalahkan dan menjadi biang kerok kehancuran. Orang “ogah” untuk berbicara Pancasila dan merasa tidak perlu untuk membicarakannya.
Tidak sampai disitu, perubahan sosial yang bersifat aktif dan dinamis senantiasa mewarnai corak sejarah. Semangat awal pembentukan Pancasila tadi kemudian perlahan-lahan terkubur dalam ingatan bawah sadar masyarakat Indonesia di era reformasi sekarang. Derasnya arus globalisasi yang tidak dapat terbendung telah mengikis batas-batas kultural maupun geografis suatu negara (Global Civil).  Globalisasi telah membuat semua orang menjadi homogen, kemajuan IPTEK ibarat sisi mata uang berlainan. Di satu sisi membawa kemudahan dalam mengerjakan segala hal, disisi lain menyebabkan kemorosotan moral. Dampak negatif tersebut kemudian tercermin dari realitas masyarakat hari ini yang memiliki kecenderungan hedonis, glamour, apatis, opurtunis dan konsumtif. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa Pancasila bukan lagi dijadikan sebagai ukuran pembentukan kepribadian bangsa melainkan teknologilah yang merebut peran tersebut. Di sinilah peran Pancasila mestinya sebagai sumber moral dan identitas nasional menjadi filter budaya yang  menggerogoti sendi-sendi kebangsaan kita.
Wajah Pancasila sudah mulai mengerut dan tak tampak lagi dipermukaan, kian mulai bergeser dalam tatanan kehidupan. Misalkan dalam sila yang pertama bahwa “Ketuhanan yang maha Esa”, berubah menjadi “Keuangan yang Maha Kuasa”. Pengertian UUD talah diplintir menjadi Ujung-Ujungnya Duit (UUD), KUHP berubah arti menjadi “Karena Uang Hilanglah Perkara (KUHP)”. Sungguh ironi sebagai negara yang mayoritas beragama dan tempat ibadah berdiri disetiap penjuru desa/kota, justru korupsi tidak terkendali. Banyaknya tempat ibadah di negeri ini memang menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki agama namun tidak sekaligus menunjukkan bangsa ini agamis. Kenyataannya masih sering terjadi perselisihan yang mengatas namakan agama yang dalam perilakunya justru tidak menunjukkan perilaku yang agamis.
Sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, masih jauh dari susbtansinya. Contoh: banyak kasus pelecehan dan penganiayaan yang terjadi pada tenaga kerja Indonesia yang menjadi TKI atau TKW di luar negeri, upah buruh yang tidak sesuai, eksploitasi buruh tanpa kemanusian. Sila “Persatuan Indonesia” hanya slogan, banyaknya ormas (organisasi massa) yang masing-masing meletakkan batu nisan ideologi anti Pancasila yang dianggap kufur, ikatan primordialisme, dan ashabiyah antar golongan yang menyeret Pancasila dalam pusaran kepentingan.
 Sila“Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Rakyat belum benar-benar terwakili dalam parlemen melainkan hanya menjadi sarana pembenaran untuk meraih simpati rakyat. Sidang-sidang di DPR hanya panggung hiburan parade yang penuh akting bukan untuk memperjuangkan atau menyuarakan kepentingan rakyat. Dimana letak mufakatnya? Bila masing-masing berdebat atas nama kepentingan sendiri-sendiri?
“Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.  Dalam kenyataan pengamalan sila ini masih terlihat sekali bahwa rakyat negeri ini masih belum menikmati keadilan sosial secara utuh. Tingkat kemiskinan masih sangat tinggi, angka pengangguran membeludak, harga bahan pokok merangkak naik, kesejahteraan tidak merata, stratifikasi sosial terlalu jauh. Sementara elit penjabat negara hidup bermewah-mewah dengan fasilitas negara yang mereka punya.  Dimanakah keadilan sosial-kesejahteraan yang kami punya?

            Revitalisasi Pancasila
            Revitalisasi mengandung arti proses, cara dan perbuatan yang menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Pancasila harus dibangkitkan kembali sebagai nilai-nilai fundamental yang memberi orientasi dalam pembuatan kebijakan publik yang pro terhadap aspek-aspek religius, humanisme, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sebagaimana yang termaktub dalam butir Pancasila. Revitalisasi sebagai manifestasi Identitas Nasional mengandung makna bahwa Pancasila harus diposisikan sebagai satu keutuhan yang sejalan dengan dimensi-dimensi yang melekat padanya, seperti realitas, idealitas, dan fleksibilitas.
Saya berharap, kepada pemimpin yang terpilih agar menguatkan fondasi pancasila sebagai vision of state. Merevitalisasi Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa mengamalkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa-bernegara, Pancasila hanya rangkaian kata-kata tanpa makna dan nilai serta tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Kalau tidak dimulai dari kita siapa lagi?