“Sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah
tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk
disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori
kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik
dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan.
Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut
kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan
kebebasan berpolitlk“
(pidato BJ. Habibie pada tanggal 1 Juni 2011 di Sidang MPR RI Peringatan
Hari Pancasila)
Tepat tanggal 1 Juni kemarin adalah momentum
bersejarah bagi bangsa ini dalam proses menginjak usia yang semakin menua
sebagai negara berdaulat. Peristiwa penting tersebut tidak lain adalah hari
dimana lahirnya Pancasila. Sebagai refleksi kesejarahan perlu kiranya momentum
tersebut dijadikan sebagai otokritik sejauh mana pemahaman kita terhadap ideologi
suatu bangsa dan berbagai macam persoalan yang menyertainya.
Lahirnya
Pancasila tidak terjadi secara sendirinya, melainkan lahir dari dialektika dan consensus para founding father untuk menentukan dasar-dasar negara Indonesia
merdeka. Istilah Pancasila pertama kali muncul atas gagasan Ir. Soekarno saat
sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia), yang dalam bahasa
Jepang disebut Dokuritsu Zumbi Cosakai.
Menurut Soekarno, dasar negara Indonesia merdeka disebutnya sebagai philosophicische grondsag, yaitu
fundamen, filsafat, jiwa, yang sedalam-dalamnya yang diatasnya didirikan gedung
Indonesia merdeka (Rukiyati,
2008:49).
Melahirkan ideologi,
falsafah dan dasar negara Republik Indonesia tersebut tentu tidak mudah
layaknya bimsalabim abrakadabra. Di
tengah-tengah hiruk pikuk situasi dan porak-porandanya kondisi nasioanal yang
setiap saat selalu mengancam keselamatan diri dan bangsa Indonesia, kiranya
merupakan tantangan dan perjuangan berat bagi pejuang revolusi kala itu.
Sementara kondisi dan situasi tersebut tak jarang merenggut nyawa dan
persimbahan darah dan air mata.
Dewasa ini banyak kalangan dan individu yang mempertanyakan
kembali Ideologi Pancasila, apakah masih relevan sebagai ideologi negara,
falsafah hidup bangsa Indonesia? Apakah Pancasila merupakan living reality ataukah hanya mitos belaka? Ataukah justru Pancasila
hanya simbol ornament semata yang tertancap di dinding gedung kelas
dan isntitusi pemerintahan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan, karena
eksistensi Pancasila sampai saat ini substansinya “Jauh panggang dari api”.
Proses sejarah dan kenyataan yang terjadi selama diberlakukannya Pancasila dan
UUD 45 menampilkan penilaian variatif. Meskipun hingga saat ini Pancasila dan
UUD 45 masih tetap sebagai ideologi dan landasan konstitusi negara. Aktualisasi
keduanya tetap tergantung kepada siapa yang menafsirkan dan kekuatan politik
yang menggunakannya.
Sebagai contoh,
dimasa Orde Lama kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang
dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan dengan pancasila dan UUD
1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno meletakkan dasar
kepemimpinannya yang dinamakan “Demokrasi Terimpin”, yaitu demokrasi yang
difahami sebagai pengejawantahan sistem musyawarah mufakat yang dikandung sila
keempat di dalam Pancasila, dan dianggap mencerminkan kepribadian bangsa (As’ad
Said Ali, 2009:
29). Selain itu juga, Soekarno menghendaki persatuan diantara beragam aliran
politik saat itu, termasuk Komunis di bawah satu payung besar bernama Pancasila
(Doktrin Manipol USDEK). Walaupun, Demokrasi Terpimpin dimaksudkan mencerminkan
kepribadian bangsa, akan tetapi dalam kenyataannya lebih didominasi oleh
kepribadian Soekarno.
Era Orde Baru
Pancasila cenderung didogmatisasi dan indoktrinasi, jadilah Pancasila hanya
jadi alat politik penguasa untuk mempertahankan status quo. Melalui media massa yang terkooptasi, kekuatan militer
yang menopang stabilitas keamanan dengan senjata, operasi militer, maupun
penguasaan jalur birokrasi, institusi resmi BP7, lembaga penataran Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), dan sebagainya. Semuanya diperalat
melalui korupsi politik untuk menepatkan Pancasila menjadi milik pemerintah
(Munawar Fuad Noeh,
2000: 24). Apa yang dilakukan rezim ORBA menyebabkan Pancasila menjadi
“Ideologi Tertutup”, kritik terhadap Pancasila merupakan fatwa haram untuk
dipertanyakan, disinilah terjadinya “sakralisasi” Pancasila. Padahal jiwa zaman
(Zeitgeist) Pancasila harus sesuai
dengan perkembangan negera yang modern. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila
yang meresap ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh
subur dalam masyarakat.
Tantangan
Pancasila di Era Reformasi
Di era reformasi ini ada gejala
Pancasila ikut “terdeskreditkan” sebagai bagian dari pengalaman masa lalu yang
buruk. Sebagai suatu konsepsi politik Pancasila pernah dipakai sebagai
legitimasi ideologis dalam membenarkan negara Orde Baru dengan segala sepak
terjangnya. Pancasila ikut disalahkan dan menjadi biang kerok kehancuran. Orang
“ogah” untuk berbicara Pancasila dan merasa tidak perlu untuk membicarakannya.
Tidak sampai disitu, perubahan sosial yang bersifat aktif dan
dinamis senantiasa mewarnai corak sejarah. Semangat awal pembentukan Pancasila
tadi kemudian perlahan-lahan terkubur dalam ingatan bawah sadar masyarakat
Indonesia di era reformasi sekarang. Derasnya arus globalisasi yang tidak dapat
terbendung telah mengikis batas-batas kultural maupun geografis suatu negara (Global
Civil). Globalisasi
telah membuat semua orang menjadi homogen, kemajuan IPTEK ibarat sisi mata uang
berlainan. Di satu sisi membawa kemudahan dalam mengerjakan segala hal, disisi
lain menyebabkan kemorosotan moral. Dampak negatif tersebut kemudian tercermin
dari realitas masyarakat hari ini yang memiliki kecenderungan hedonis, glamour, apatis, opurtunis dan
konsumtif. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa Pancasila bukan lagi dijadikan
sebagai ukuran pembentukan kepribadian bangsa melainkan teknologilah yang
merebut peran tersebut. Di sinilah peran
Pancasila mestinya sebagai sumber moral dan identitas nasional menjadi filter budaya yang menggerogoti sendi-sendi kebangsaan kita.
Wajah Pancasila sudah
mulai mengerut dan tak tampak lagi dipermukaan, kian mulai bergeser dalam tatanan
kehidupan. Misalkan dalam sila yang pertama bahwa “Ketuhanan yang maha Esa”, berubah menjadi “Keuangan yang Maha Kuasa”. Pengertian UUD talah
diplintir menjadi Ujung-Ujungnya Duit (UUD), KUHP berubah arti menjadi
“Karena Uang Hilanglah Perkara (KUHP)”. Sungguh ironi sebagai negara yang
mayoritas beragama dan tempat ibadah berdiri disetiap penjuru desa/kota, justru
korupsi tidak terkendali. Banyaknya
tempat ibadah di negeri ini memang menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki agama
namun tidak sekaligus menunjukkan bangsa ini agamis. Kenyataannya masih sering
terjadi perselisihan yang mengatas namakan agama yang dalam perilakunya justru
tidak menunjukkan perilaku yang agamis.
Sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”,
masih jauh dari susbtansinya. Contoh: banyak kasus pelecehan dan penganiayaan
yang terjadi pada tenaga kerja Indonesia yang menjadi TKI atau TKW di luar
negeri, upah buruh yang tidak sesuai, eksploitasi buruh tanpa kemanusian. Sila
“Persatuan Indonesia” hanya slogan, banyaknya ormas (organisasi massa) yang
masing-masing meletakkan batu nisan ideologi anti Pancasila yang dianggap kufur, ikatan primordialisme, dan ashabiyah antar golongan yang menyeret
Pancasila dalam pusaran kepentingan.
Sila“Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Rakyat
belum benar-benar terwakili dalam parlemen melainkan hanya menjadi sarana
pembenaran untuk meraih simpati rakyat. Sidang-sidang di DPR hanya panggung
hiburan parade yang penuh akting bukan untuk memperjuangkan atau menyuarakan
kepentingan rakyat. Dimana letak mufakatnya? Bila masing-masing berdebat atas
nama kepentingan sendiri-sendiri?
“Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”. Dalam kenyataan pengamalan sila ini masih
terlihat sekali bahwa rakyat negeri ini masih belum menikmati keadilan sosial
secara utuh. Tingkat kemiskinan masih sangat tinggi, angka pengangguran
membeludak, harga bahan pokok merangkak naik, kesejahteraan tidak merata,
stratifikasi sosial terlalu jauh. Sementara elit penjabat negara hidup
bermewah-mewah dengan fasilitas negara yang mereka punya. Dimanakah keadilan sosial-kesejahteraan yang
kami punya?
Revitalisasi Pancasila
Revitalisasi
mengandung arti proses,
cara dan perbuatan yang menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang
terberdaya. Pancasila harus
dibangkitkan kembali sebagai nilai-nilai fundamental yang memberi orientasi
dalam pembuatan kebijakan publik yang pro terhadap aspek-aspek religius, humanisme,
nasionalisme, demokrasi dan keadilan sebagaimana yang termaktub dalam butir Pancasila.
Revitalisasi
sebagai manifestasi Identitas Nasional mengandung makna bahwa Pancasila harus
diposisikan sebagai satu keutuhan yang sejalan dengan dimensi-dimensi yang
melekat padanya, seperti realitas, idealitas, dan fleksibilitas.
Saya
berharap, kepada pemimpin yang terpilih agar menguatkan fondasi pancasila
sebagai vision of state. Merevitalisasi
Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang
hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa mengamalkan
Pancasila dalam kehidupan berbangsa-bernegara, Pancasila hanya rangkaian
kata-kata tanpa makna dan nilai serta tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Kalau
tidak dimulai dari kita siapa lagi?