Sabtu, 01 Desember 2012

Islam, Ritual dan Pembebasan



Memaknai sebuah ajaran agama tidak hanya sebatas menjalankan ritual ibadah yang dianggap sakral, bahkan dogma sebuah agama terkadang membuat kaum beragama menjadi yakin sehingga tidak terfikirkan untuk mengkaji lebih dalam dari pesan-pesan, simbol-simbol, historis, empiris maupun semiotis dalam ajaran agama. Islam adalah sebuah agama yang universal (Syumul), artinya Islam bisa dikatakan sebagai ajaran yang berlaku untuk seluruh manusia. Akan tetapi memaknai Islam ternyata mempunyai arti yang cukup dalam untuk memaknai sebuah ajaran yang bertujuan sebagai kekuatan pembebasan (Liberating Power).

Kekuatan pembebasan dalam beragama sejatinya buka sebatas ritual yang sakral, bukan difahami sebatas simbol dalam menjalankan ibadah, akan tetapi harus direnungi substansinya dalam konteks kekinian dalam menjawab permasalahan realita sosial yang ada. Agama apalagi Islam tentu bukan sekedar simbol bagi penganutnya (seharusnya). Namun pada tataran riil, Agama lebih sering hanya menjadi sebuah simbol yang berujung kamuflase dan kesadaran palsu (semu). Beragama tidak lagi sebagai sebuah keniscayaan. Beragama juga tidak lagi dihayati dengan sesungguhnya. Padahal seharusnya, Agama menjadi pembimbing bagi pemeluknya untuk mencapai kebahagiaan dunia (profan) dan akhirat (ukhrowi). Namun, seringkali orang beragama berhenti pada simbol, tanpa menangkap maknanya. Orang sering terkecoh pada simbol. Tidak jarang, jenggot dianggap simbol ke-sholihan individu, padahal sinterklas (Saint Claus) dan orang Yahudi ortodoks berjenggot lebat. Orang Islam merasa kurang afdhal kalau pergi ke masjid tidak pakai sarung, padahal orang-orang Budha di Myanmar suka pakai sarung jika hendak menjalankan ritual agamanya. Seorang khatib juga dianggap tidak patut jika tidak memakai kopiyah atau sorban. Padahal, orang-orang Hindu di India suka pakai kopiyah jika berkhutbah.
Fenomena seperti ini lahirlah sakralisasi simbol, meski ia hanya berguna jika ada makna di baliknya. Ada perbedaan antara simbol dan makna, wadah dan isi, form dan matter. Banyak orang yang hanya tahu simbol tanpa tahu reasoning maknanya. Kadang kita terjebak untuk berjuang menegakkan simbol itu dan bahkan “menyembahnya”. Celakanya, akita telah merasa mendapatkan tiket masuk surga dengan memperjuangkan simbol.

Sebagai contoh sederhana ritual puasa, haji, idul fitri, idul adha, zakat dan sebgainya sebenarnya mempunyai misi pembebasan. Dalam puasa kita dituntut untuk menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, akan tetapi puasa bisa dimaknai sebagai proses pensucian jiwa dari hal-hal keduniawian (profan), mereduksi nafsu angkara murka menuju kerahmatan Tuhan. Menawan nafsu keserakahan hingga menyebabkan miskinnya nurani yang tergadaikan oleh kebutuhan, maka tidak heran puasa jalan tetapi korupsi lancar, artinya puasa cuman sebatas ritual dan belum bisa memerdekakan kita sepunuhnya. Maka puasa yang kita fahami harus digugat!
Ritual haji mempunyai maksud pembebasan, di dalamnya penuh dengan metafor-metafor pembebasan. Penggunaan pakaian ihram adalah simbol pembebasan manusia dari jeratan-jeratan material, serta memandang manusia sama dimata Tuhan tidak membedakan status sosial hamba-Nya. Melempar jumroh juga metafor dan pembebasan manusia dari godaan syaitan, tapi kadang kita belum mampu melempar syetan keluar dari hati kita. Zakat juga sarat dengan metafor-metafor pembebasan. Penentuan 2,5% dan kekayaan yang harus kita zakatkan dan harta yang kita miliki mengisyaratkan bahwa kita diajarkan untuk tidak begitu "menuhankan" materi. Sebaliknya uang yang kita miliki harus disisihkan sebagian untuk pembebasan sesama kita dan belenggu kemiskinan material. Sebab disadari betul dari kemiskinan material ini akan berakibat pada munculnya kemiskinan-kemiskinan yang lain, termasuk di dalamnya kemiskinan keimanan. Inilah barangkali ini makna yang termaktub dalam hadits Nabi bahwa “Kefakiran akan cenderung kepada kakafiran”.

Memaknai ritual ibadah dalam Islam, hemat penulis bukan sekadar sebatas sholeh secara individu, namun harus sholeh secara sosial. Muslim di Indonesia sangat mendominasi, orang naik haji meledak tiap tahunnya, perayaan idul fitri, Idul adha sangat antusias dijalankan, majlis ta’lim dimana-mana, masjid/mushola dibangun diberbagai arah. Lantas kenapa korupsi menggurita tiap tahunnya?. Kesenjangan sosial dimana-mana, Konflik etnis dan agama kian marak, keadilan tidak merata, supremasi hukum yang lemah, bukankah Islam itu syumul? Dan bahkan mengklaim sebagai umat terbaik? Sekiranya umat islam harus digugat! Karena ada yang salah kita memahami sebuah ajaran agama. Jika ibadah tak merasuk ke dalam jiwa, segenap prosesi tu hanya sebagai kehadiran fisik semata. Sekadar ritual luar belaka. Sekadar rukun, syarat dan status. Sedangkan hal-hal yang spiritual tertinggal di belakang, tak menembus wilayah hakikat dan ma'rifat. Makna dan fungsi ibadah tercecer di luar. Sehinga tak ada taslim, penyerahan diri yang total. Tak ada takhrij, proses mengeluarkan diri dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Tak ada tanwir, yaitu pencerahan diri yang membuat hidup menjadi bersinar. Tak ada tahrir, Pembebasan diri dari segenap berhala kehidupan. Sehingga Ibadah yang dilakukan belum memberikan solusi perbaikan dalam tataran masyarakat kolektiv.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar