Jumat, 29 Juni 2012

ISLAM DAN ETIKA PEMBEBASAN



Oleh: Drs. Suhardi, MA


Fenomena historis, simbol-simbol ritual keagamaan norma-norma konseptual ajaran Islam mengandung pesan-pesan etika pembebasan bagi kehidupan manusia. Fenomena historis yang dimaksudkan adalah sejarah Nabi sejak masa kecil hingga wafatnya. Sepan-
jang sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw tampak jelas bahwa tindakan-tindakannya mengandung pesan-pesan etis pembebasan.
Ketika Nabi ditinggal orang-orang yang dicintainya pada masa usia yang sangat muda, mensyiratkan bahwa manusia harus hidup merdeka dan kungkungan psikologis. Ayah, lbu, Kakek, Paman, dan seterusnya selain juga memiliki fungsi perlindungan, tetapi pada saat-saat tertentu justru menciptakan ketergantungan psikologis. Hal ini jelas tidak menguntungkan, terutama bagi seorang Nabi yang dipersiapkan untuk menghadapi berbagai ujian yang berat dalam mengemban misi Tuhan. Demikian juga berbagai macam
perang yang dilakukan Nabi ketika menghadapi tantangan kaum kafir juga mengandung pesan bahwa manusia harus merdeka dari ancaman dan gangguan orang lain. Oleh karenanya ketika kemerdekaan itu terancam, manusia harus melawannya untuk merebutnya kembali, apalagi kemerdekaan untuk beragama.  Tentu saja perang fisik adalah simbol saja dari bentuk perlawanan itu. Bentuk-bentuk perlawanan berikutnya tentu saja senantiasa bersifat kontekstual, bisa dalam bentuk perlawanan kultural, perlawanan politis, perlawanan psikologis, dan sebagainya. Di sinilah terlihat bahwa Islam adalah agama pembebas, yakni pembebas manusia dari berbagai ketertindasan.
Selanjutnya yang dimaksud dengan simbol-simbol ritual adalah bentuk-bentuk ibadah yang diformalkan dalam Islam, terutama shalat, puasa, zakat, dan haji. Semua simbol ritual tersebut juga mengandung pesan-pesan metaforik tentang pentingnya pembebasan dalam Islam. Gerakan dan bacaan yang terdapat dalam shalat misalnya, sangat sarat dengan metafor-metafor pembebasan. Takbiratul ikhram adalah simbol pembebasan bahwa ketika kita tunduk kepada Tuhan, maka kita diharamkan untuk tunduk kepada selain-Nya. ltulah sebabnya takbir tersebut disebut dengan takbiratul ikhram. Kemudian shalat diakhiri dengan salam, ini artinya bahwa ketundukan kepada Tuhan harus dimanifestasikan dengan upaya-upaya penyelematan manusia. ltulah sebabnya kita disuruh menengok ke kiri dan kanan untuk memperhatikan kehidupan masyarakat sekitar kita.
Zakat juga sarat dengan metafor-metafor pembebasan. Penentuan 2,5% dan kekayaan yang harus kita zakatkan dan harta yang kita miliki mengisyaratkan bahwa kita diajarkan untuk tidak begitu "menuhankan" materi. Sebaliknya uang yang kita miliki harus disisihkan sebagian untuk pembebasan sesama kita dan belenggu kemiskinan material. Sebab disadari betul dari kemiskinan material ini akan berakibat pada munculnya kemiskinan-kemiskinan yang lain, termasuk di dalamnya kemiskinan keimanan. Inilah barangkali makna hadits Nabi bahwa Kefakiran akan cenderung kepada kakafiran.
Puasa, sebagaimana halnya dengan bentuk-bentuk ritualisme formal keagamaan lainnya di dalamnya juga penuh dengan metafor-metafor pembebasan. Mengosongkan perut kita dari makan dan minum yang diikuti dengan larangan untuk mengerjakan perbuatan yang tak terpuji menunjukkan bahwa kita seharusnya tidak begitu diperbudak oleh kenikmatan materi dan sifat-sifat kebinatangan. Sebab materi hanyalah kenikmatan sesaat dan akan memalingkan kita dari mengingat Tuhan. Oleh karenanya melalui puasa kita diajarkan oleh Tuhan membersihkan diri kita dari belenggu material dan kebinatangan. Tetapi puas juga mengajarkan bahwa proses-prose pembersihan itu tidak begitu ekstrem sehingga kita menafikan dunia. Kita ini hidup di dunia, oleh karenanya kita juga memerlukan dunia, hanya jangan sampai kita menjadikan dunia sebagai tujuan dalam hidup ini. Oleh karenanya dalam puasa kita disunatkan untuk melakukan sahur. Demikian pula halnya jeda puasa satu hari dengan hari berikutnya (maksudnya malam hari) bagi yang sudah menikah diperkenankan untuk menyalurkan nafsu biologisnya.
Demikian pula halnya dengan haji, di dalamnya penuh dengan metafor-metafor pembebasan. Penggunaan pakaian ihram adalah simbol pembebasan manusia dari jeratan-
jeratan material. Melempar jumroh juga metafor dan pembebasan manusia dari godaan syaitan, dan sebagainya.
Selanjutnya norma-norma Islam baik yang tercantum dalam al-Qur'an maupun Hadits juga banyak mengajarkan tentang kebebasan. lqra misalnya, sebagai ayat pertama dari wahyu yang pertama turun juga menyiratkan pentingnya pembebasan dari belenggu kebodohan. Kita tahu bahwa ayat itu turun di tengah-tengah masyarakat Arab yang ketika
itu berada dalam kungkungan kebodohan, sehingga disebut dengan zaman jahiliyah atau zaman kebodohan. Demikian juga halnya dengan lafaz la illaha illa Allah, juga mengandung efek pembebasan yang bahkan sangat substansial. Pernyataan itu tidak hanya mengandung penegasan untuk bertuhan kepada Allah, tetapi juga mengandung tuntutan pembebasan untuk tidak bertuhan kepada selain-Nya. Sebab bertuhan kepada Allah tetapi masih mengakui eksistensi yang lain dan dianggapnya sebagai Tuhan, akan tergolong kepada orang yang musyrik. Perbuatan semacam itu termasuk dosa yang tidak akan diampuni.
Satu hal yang patut dicatat adalah bahwa etika pembebasan yang diisyaratkan baik dalam historikal kehidupan nabi, simbol-simbol ritualisme keagamaan, dan teks-teks ajaran Islam senantiasa terkait dengan semangat ketuhanan. Ini artinya bahwa kebebasan yang dimaksudkan di dalam Islam bukanlah kebebasan yang tanpa makna atau tujuan, sebab kebebasan yang demikian pada akhirnya akan mengantarkan manusia kepada hilangnya kekaburan hidup. Kehidupan menjadi absurd atau bahkan menjadi tidak ada. Akibatnya hidup menjadi tidak bermakna. Inilah yang banyak dialami oleh para penganut eksistensialisme atheis. Sehingga kaum eksistensialisme atheis mengalami la nouse atau kejenuhan, atau bahkan kemudian bunuh diri karena menganggap pada akhirnya hidup ini tidak ada artinya. Dengan kata lain konsep hidup dalam eksistensialisme atheis  berujung pada pesimisme hidup.
Memang ada sisi optimisme hidup dalam pandangan eksistensialisme atheis, yakni semangat untuk menikmati hidup. Hidup ini yang menurut kaum Eksistensialisme hanya sekali. Kematian bagi mereka adalah akhir dari kehidupan. Oleh karena itu hidup ini harus dinikmati dan diperjuangkan. Oleh karena itu segala bentuk yang menghalangi dan kenikmatan hidup harus kita lawan. Sebab dengan cara yang demikian itulah, manusia akan menjadi eksis. Begitulah kira-kira keyakinan orang eksistensialisme, khususnya eksistensialisme atheis yang dimotori oleh Sartre, Alabert Camus, dan kawan-kawan.
Kebebasan yang dimaksudkan dalam Islam adalah kebebasan yang disemangati untuk bebas dari segala bentuk penindasan makhluk untuk kemudian hanya tunduk kepada Yang Maha Bebas (Tuhan). Eksistensialisme Islam adalah eksistensialisme theistik, yaitu
eksistensialisme  yang  memperjuangkan  kebebasan  untuk terbebas dari  segala bentuk penjara makhluk, untuk selanjutnya hanya tunduk kepada Tuhan. Ketundukan kepada Tuhan tidak berarti menghilangkan eksistensi kemanusiaannya, justru ketundukan kepada
Tuhan akan memperteguh identitas kemanusiaan kita. Sebab, kata lqbal, tunduk kepada Tuhan bukan berarti jati diri terserap dalam Diri Tuhan, tetapi sebaliknya justru sifat-sifat
Tuhan terserap ke dalam diri manusia, sehingga diri seseorang akan menjadi manusia yang teguh. Dari situlah kemudian seseorang akan mampu merealisasikan kekuatan idan sifat itu ke dalam kehidupan kita tanpa harus takut kepada kekuatan-kekuatan selain Tuhan. Inilah yang dimaksud Iqbal dengan insan kamil atau insan sempurna.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah mengapa etika kebebasan yang ada di dalam sistem Islam itu belum mewujud secara maksimal dalam kehidupan masyarakat kita? Mengapa ketika kita "dijajah" secara sosio-kultural oleh kultur umat lain yang nilai-nilainya bertentangan dengan Islam tidak atau kurang memiliki perlawanan pembebasan? Kalaupun ada seringkali perlawanan itu hanya sekadar retorika yang muncul di forum-forum pengajian atau ceramah-ceramah keagamaan. Demikian pula halnya ketika tradisi koruptif sedang menjajah nurani kita dari kejujuran, semangat untuk melakukan perlawanan begitu lemah dan terdengar sayup-sayup? Juga halnya ketika etika kehidupan politik bangsa ini terjerat oleh semangat nafsu kekuasaan yang menghalalkan segala cara, kita juga diam? Dan sederet pertanyaan lain yang intinya menunjukkan kelemahan semangat etik pembebasan dalam Islam. Padahal kita tahu, bahwa kehidupan dakwah Islam begitu semarak, baik yang disampaikan melalui media masa, baik melalui televisi, radio, koran, majalah, maupun tabloid-tabloid dakwah. Kita juga tahu kegiatan seperti tabligh akbar dan istighosah juga sering di gelar di kota-kota besar, sedang, sampai ke kota kecil. Mengapa kegiatan-kegiatan tersebut tidak berkorelasi secara positif dengan semangat pembebasan?
Terhadap kenyataan seperti itu sebagian memberikan jawaban apologetik. "Untung masih banyak dakwah yang cukup semarak di mana-mana. Kalau tidak ada mungkin kondisi  bangsa  ini  akan  lebih  parah  dari apa  yang  sekarang  ada,"  begitulah  kira-kira jawabannya. Pernyataan yang apologetik itu boleh-boleh saja,  dan itu menunjukkan adanya cara berpikir positif. Tetapi perlu dicatat, sikap apologetik adalah sikap yang tidak
sehat, karena mengindikasikan adanya psikologi kekalahan dan hanya dimaksudkan untuk menghibur diri. Sikap apologetik juga tidak mencerminkan adanya sikap kritis dan kreatif dalam menghadapi kenyataan. Oleh karena itu tepat adalah sikap tidak puas terhadap kenyataan seraya dibarengi dengan sikap kritis dan mengembangkan ide-ide kreatif untuk menemukan alternatif-alternatif yang terbaik.

Sekulerisasi Subjektif
Munculnya jurang pemisah (gap) antara semangat pembebasan yang secara ideal tersirat dalam sistem Islam dan ajaran Islam dengan potret buram perilaku sehari-hari masyarakat kita menunjukkan bahwa terjadi sekulerisasi dalam kehidupan keberagamaan masyarakat.  Inti dari sekulerisasi adalah pamisahan antara yang agama dengan yang bukan agama (profan). Sekulerisasi—menurut Peter Belger—-menjelma dalam dua bentuk, yaitu sekulerisasi objektif dan sekulerisasi subjektif.   Sekulerisasi objektif terjadi bila secara struktural atau institusional terjadi pemisahan antara agama dengan lembaga-lembaga lain, sehingga ada lembaga agama dan ada lembaga yang dianggap bukan lembaga agama. Sedangkan sekulerisasi subjektif terjadi bila pengalaman sehari-hari tidak dapat lagi dipetakan dalam agama, ada pemisahan antara pengalaman hidup dengan pengalaman agama.
Bangsa kita, betapapun tidak mau disebut sebagai bangsa sekuler, pada kenyataannya dalam struktur kelembagaannya bersifat sekuler. Buktinya adalah dengan adanya departemen agama dan departemen yang non-agama. Dalam pendidikan pun ada sekolah yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan ada juga yang berada di bawah naungan
Departemen Agama. Ini artinya bahwa secara objektif bangsa kita memang sekuler.
Di sisi lain dalam kehidupan kita sehari-hari pun banyak diantara pemeluk agama (khususnya Muslim) yang dalam dirinya mengalami atau melakukan sekulerisasi. Satu sisi yang bersangkutan menjalankan ritus-ritus keagamaan dan secara kognitif juga tahu tentang ajaran-ajaran agama, tetapi di sisi lain perilakunya sama dengan orang-orang yang tak beragama. Agama hanya diposisikan pada situasi dan kondisi tertentu, tidak diaplikasikan secara total dalam kehidupan sehari-hari. Beragama menjadi sesuatu yang pragmatis saja dan seringkali dikonotasikan dengan ritual-ritual keagamaan yang sempit. Agama hanya terasa pada saat kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian. Di luar itu sepertinya tidak berlaku agama. Agama juga hanya ada pada saat menjalankan ritualisme agama, seperti pada saat shalat, zakat, dan haji. Di luar itu sepertinya agama tidak kelihatan. Akhirnya agama hanya tampak pada atribut-atribut formal, sementara substansinya tidak terjabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu  sangat wajar kalau etik pembebasan yang juga merupakan substansi dari ajaran agama juga jarang tertangkap dan teraktualisasi dalam praktik hidup keseharian.
Jika dilacak ke belakang, sekulerisasi seperti ini, sebetulnya berawal dari cara pandang umat Islam yang dikotomis dalam memahami ilmu. Ilmu, kata al-Ghazali, terbagi menjadi dua, yaitu ilmu agama dan ilmu non agama atau yang sekarang disebut dengan ilmu umum. Dalam kehidupan pesantren (khususnya pesantren salaf) ilmu umum tidak atau setidak-tidaknya jarang dipelajari dan tidak dianggap penting.  Akibatnya mereka merasa matang dalam hal-hal ilmu agama, tetapi mundur dalam ilmu-ilmu umum. Di sisi lain, di lembaga-lembaga pendidikan formal, keduanya dipelajari, tetapi keduanya tetap merupakan ilmu yang terpisah. Ilmu agama diajarkan secara terpisah dengan ilmu umum. Tidak ada substansi nilai-nilai agama ke dalam ilmu-ilmun umum. Akhirnya yang terjadi adalah tidak terjadi kesinkronan antara ilmu agama dan ilmu umum. Atau dengan kata lain, ilmu umum steril dari spirit agama. Akibatnya yang lahir adalah anak-anak yang jiwanya terbelah. Satu sisi menampilkan sosok agamis tetapi di sisi lain mencerminkan sosok yang kurang atau tidak agamis. Inilah awal dari sekulerisasi subjektif.
Selain itu sekulerisasi subjektif juga terjadi karena selama ini umat Islam terjebak pada pola berpikir yang diistilah oleh Mohammad Arkoun dengan pola berpikir logosentrisme, yaitu pola berpikir yang hanya terkungkung pada teks-teks yang sudah ada. Sementara yang ada di luar teks tidak pernah atau setidak-tidaknya tidak menjadi perhatian, dan karenanya tidak dikaji. Hal itu semakin diperparah karena teks-teks yang dipilih untuk dikaji seringkali terbatas pada teks-teks fiqh dalam pengertian yang sempit, akibatnya umat Islam kurang peduli dengan persoalan-persoalan riil—khususaya persoalan-persoalan modernitas—yang belum atau tidak dibahas dalam teks-teks fiqh.
Sebetulnya, lanjut Arkoun, pola berpikir yang logosentrisme itu tidak hanya sebatas pada bidang fiqh, tetapi juga dalam bidang tafsir dan tasauf. Dalam kedua bidang pemikiran itu, umat Islam sering terjebak pada teks-tek yang sudah ada. Tafsir atau konsep-konsep tentang tasauf yang sudah muncul duluan menjadi rujukan untuk tafsir yang berikutnya dan seterusnya. Sehingga yang terjadi adalah penumpukan tafsir yang saling bersandar. Karena terjadi tali temali yang demikian itu maka umat Islam hanya memikirkan pada wilayah-wilayah yang selama ini ada dalam teks-teks, padahal ada sebagian wilayah lain yang belum atau tak terpikirkan (unthinkable) karena berada di luar teks. Akibatnya umat Islam mengalami kemunduran dalam bidang-bidang wilayah yang belum atau tidak terpikirkan, sehingga terjadi keterputusan spiritual antara wilayah-wilayah yang takter-pikirkan itu dari spiriti atau etik keagamaan. Padahal sesungguhnya wilayah-wilayah yang takterpikirkan itu secara riil digeluti oleh manusia. Sebut saja misalnya wilayah birokrasi, wilayah politik, wilayah sains dan teknologi, dan sebagainya.
Dalam konteks ini sikap Muhammadiyah yang takbermazhab adalah suatu sikap yang relevan. Namun demikian sikap tak bermazbab ini bukan berarti Muhammadiyah tidak mengapresiasi hasil-hasil pemikiran tokoh-tokoh fiqh terdahulu. Hal itu tetap diapresiasi hanya saja diposisikan sebagai referensi, tidak untuk dipilih dan kemudian ditaklidi. Rencana Muhammadiyah untuk membuat tafsir tematik (tafsir maudhu'i) dengan melibatkan para ulama dan pakar-pakar dibidang sosial, politik, pendidikan, budaya, dan berbagai pakar keprofesian  lainnya juga merupakan langkah yang bijak, sehingga kelak diharapkan akan muncul tafsir al-Qur'an yang di dalamnya membahas persoalan-persoalan yang secara riil dihadapi masyarakat. Jika ini terwujud niscaya akan sangat berarti dalam mencegah terjadinya sekulerisasi objektif maupun sekulerisasi subjektif. Lebih jauh dari itu,  akan memberikan efek pembebasan kepada umat Islam bahwa dari belenggu keduniaan, sehingga apapun profesi dan bidang keahliannya akan disadari benar bahwa hal itu sesungguhnya bukan hanya untuk tujuan-tujuan teresial (kekinian) yang bersifat fana tetapi untuk juga memiliki makna yang lebih substansial, yakni untuk mengabdi kepada Tuhan. Pada gilirannya kita tidak akan dilanda ketergantungan sosial, ketergantungan psikogikal, ketergantungan material, dan sebagainya yang kesemuanya tidak sejati.

Perubahan Metodologi Keberagamaan
Yang juga penting untuk diperhatikan guna menetapkan pesan-pesan etis Islam adalah dengan melakukan perubahan metodologi keberagamaan. Perubahan yang dimaksudkan —menurut Kuntowijoyo— adalah mengubah metodologi keberagamaan mitis-utopis dari teks ke praktik menjadi metodolgi ilmiah yakni dari teks-teori-kemudian baru prakrik.
Metodologi keberagamaan pertama hanya akan melahirkan mitos-mitos atau paling banter memunculkan ideologi

Metodologi pertama hanya akan melahirkan kesadaran mitos atau ideologis dan tidak  memberikan  tuntutan-tuntunan  praktis  bagaimana  bentuk-bentuk  operasionalnya. Sedangkan metodologi model kedua akan melahirkan kesadaran teoritik dan praktis, karena di dalanmya dituntut untuk menemukan bentuk-bentuk operasionalnya. Bahkan akan mendorong lahirnya teori-teori yang sangat kaya yang lahir dari pemahan teks.
Untuk menjelaskan perbedaan kedua metodologi tersebut, Kuntowijoyo misalnya, memberikan contoh bagaimana memahami ayat al-Qur'an yang menyebutkan bahwa seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan membukakan pintu-pintu berkah dari langit dan bumi. Ayat tersebut —lanjut Kuntowijoyo— jika ditafsirkan secara mitis-ideologis (utopis), ayat itu final. Ayat itu bisa-bisa akan ditafsirkan secara harfiah. Jika dipahami dalam pengertian ideologis, maka akan ada gerakan untuk mendorong orang cukup beriman saja untuk memperoleh berkah dan rizki. Tetapi jika hal itu ditafsirkan ke dalam konteks ilmu akan mendorong kesadaran pentingnya membuat teori-teori bagaimana iman dan takwa bisa menyebabkan terbukanya langit dan bumi. Oleh karena itu diperlukan analisis yang mendalam untuk merumuskan keberimanan dan ketakwaan yang bagaimana yang dapat mengakibatkan diturunkannya berkah Tuhan itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya al-Qur'an merupakan sejumlah teori besar yang perlu dielaborasi menjadi teori-teori yang lebih operasional.
Namun demikian untuk melengkapi kemampuan menganalisis teori-teori besar al-Qur'an itu diperlukan adanya ilmu-ilmu bantu yang tidak hanya sebatas pada ilmu-ilmu yang selama ini diklaim sebagai ilmu agama (bahasa Arab, tafsir, dan semacamnya), tetapi juga diperlukan ilmu-ilmu modern, seperti filsafat, sosiologi, psikologi, dan sebagainya. Tanpa penguasaan terhadap berbagai disiplin ilmu tersebut, maka penafsiran akan menjadi tidak terarah atau bahkan akan kembali kepada model berpikir logosentrisme sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Arkoun.
Generasi Islam sekarang seharusnya intens dalam menggeluti tugas mulia ini. Tugas-tugas ini secara pribadi-pribadi sudah mulai dirintis oleh para cendekiawan Muslim, seperti Nurcholish Madjid dengan Islam Keindonesiaannya, Amien Rais dengan Tauhid sosialnya,  Kuntowijoyo  dengan  Paradigma  Islam  untuk  ilmu-ilmu  sosialnya,  dan sebagainya.  Mereka  dengan  kemampuan  ilmu  pengetahuan  yang  dimilikinya  telah membukakan kepada umat Islam bahwa sesungguhnya terdapat korelasi etis antara agama dengan berbagai bidang kehidupan manusia, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Mereka juga menunjukkan bahwa menjadikan agama sebagai dasar etis dalam berbagai lingkup kehidupan manusia itu tidak menghambat kemajuan, tetapi justru memberikan arahan terhadap kemajuan itu kepada tujuan yang jelas dan pasti.
Lebih dan itu, dengan menjadikan agama sebagai dasar etis dalam memahami berbagai bidang kehidupan  sangat membantu umat Islam untuk melakukan emansipasi dan pembebasan diri dari keterasingan dan keterbelakangan hidup pada wilayah-wilayah yang
selama ini takterpikirkan. Oleh karena itu marilah secara bersama-sama menggeluti nilai-nilai Islam dan menggeluti realitas kehidupan sekarang ini untuk kemudian dicarikan benang merah teoritiknya, sehingga realitas hidup ini selalu disinari oleh etik agama.
Walluhu a'lam bis shawab.

Penulis adalah Dosen STAI Muhammadiyah Tangerang, Mantan Ketua DPP IMM Th. 1992-1995.


Sumber: 
Suara Muhammadiyah
Edisi 21-04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar