Oleh: Drs. Suhardi, MA
Fenomena historis, simbol-simbol ritual keagamaan norma-norma konseptual
ajaran Islam mengandung pesan-pesan etika pembebasan bagi kehidupan manusia.
Fenomena historis yang dimaksudkan adalah sejarah Nabi sejak masa kecil hingga
wafatnya. Sepan-
jang sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw tampak jelas bahwa
tindakan-tindakannya mengandung pesan-pesan etis pembebasan.
Ketika Nabi ditinggal orang-orang yang dicintainya pada masa usia yang
sangat muda, mensyiratkan bahwa manusia harus hidup merdeka dan kungkungan
psikologis. Ayah, lbu, Kakek, Paman, dan seterusnya selain juga memiliki fungsi
perlindungan, tetapi pada saat-saat tertentu justru menciptakan ketergantungan
psikologis. Hal ini jelas tidak menguntungkan, terutama bagi seorang Nabi yang
dipersiapkan untuk menghadapi berbagai ujian yang berat dalam mengemban misi
Tuhan. Demikian juga berbagai macam
perang yang dilakukan Nabi ketika menghadapi tantangan kaum kafir juga
mengandung pesan bahwa manusia harus merdeka dari ancaman dan gangguan orang
lain. Oleh karenanya ketika kemerdekaan itu terancam, manusia harus melawannya
untuk merebutnya kembali, apalagi kemerdekaan untuk beragama. Tentu saja perang fisik adalah simbol saja
dari bentuk perlawanan itu. Bentuk-bentuk perlawanan berikutnya tentu saja
senantiasa bersifat kontekstual, bisa dalam bentuk perlawanan kultural,
perlawanan politis, perlawanan psikologis, dan sebagainya. Di sinilah terlihat
bahwa Islam adalah agama pembebas, yakni pembebas manusia dari berbagai
ketertindasan.
Selanjutnya yang dimaksud dengan simbol-simbol ritual adalah bentuk-bentuk
ibadah yang diformalkan dalam Islam, terutama shalat, puasa, zakat, dan haji.
Semua simbol ritual tersebut juga mengandung pesan-pesan metaforik tentang pentingnya
pembebasan dalam Islam. Gerakan dan bacaan yang terdapat dalam shalat misalnya,
sangat sarat dengan metafor-metafor pembebasan. Takbiratul ikhram adalah simbol
pembebasan bahwa ketika kita tunduk kepada Tuhan, maka kita diharamkan untuk
tunduk kepada selain-Nya. ltulah sebabnya takbir tersebut disebut dengan takbiratul
ikhram. Kemudian shalat diakhiri dengan salam, ini artinya bahwa
ketundukan kepada Tuhan harus dimanifestasikan dengan upaya-upaya penyelematan
manusia. ltulah sebabnya kita disuruh menengok ke kiri dan kanan untuk
memperhatikan kehidupan masyarakat sekitar kita.
Zakat juga sarat dengan metafor-metafor pembebasan. Penentuan 2,5% dan
kekayaan yang harus kita zakatkan dan harta yang kita miliki mengisyaratkan
bahwa kita diajarkan untuk tidak begitu "menuhankan" materi.
Sebaliknya uang yang kita miliki harus disisihkan sebagian untuk pembebasan
sesama kita dan belenggu kemiskinan material. Sebab disadari betul dari
kemiskinan material ini akan berakibat pada munculnya kemiskinan-kemiskinan
yang lain, termasuk di dalamnya kemiskinan keimanan. Inilah barangkali makna
hadits Nabi bahwa Kefakiran akan cenderung kepada kakafiran.
Puasa, sebagaimana halnya dengan bentuk-bentuk ritualisme formal keagamaan
lainnya di dalamnya juga penuh dengan metafor-metafor pembebasan. Mengosongkan
perut kita dari makan dan minum yang diikuti dengan larangan untuk mengerjakan
perbuatan yang tak terpuji menunjukkan bahwa kita seharusnya tidak begitu
diperbudak oleh kenikmatan materi dan sifat-sifat kebinatangan. Sebab materi
hanyalah kenikmatan sesaat dan akan memalingkan kita dari mengingat Tuhan. Oleh
karenanya melalui puasa kita diajarkan oleh Tuhan membersihkan diri kita dari
belenggu material dan kebinatangan. Tetapi puas juga mengajarkan bahwa
proses-prose pembersihan itu tidak begitu ekstrem sehingga kita menafikan
dunia. Kita ini hidup di dunia, oleh karenanya kita juga memerlukan dunia,
hanya jangan sampai kita menjadikan dunia sebagai tujuan dalam hidup ini. Oleh
karenanya dalam puasa kita disunatkan untuk melakukan sahur. Demikian pula
halnya jeda puasa satu hari dengan hari berikutnya (maksudnya malam hari) bagi
yang sudah menikah diperkenankan untuk menyalurkan nafsu biologisnya.
Demikian pula halnya dengan haji, di dalamnya penuh dengan metafor-metafor pembebasan.
Penggunaan pakaian ihram adalah simbol pembebasan manusia dari jeratan-
jeratan material. Melempar jumroh juga metafor dan pembebasan manusia dari
godaan syaitan, dan sebagainya.
Selanjutnya norma-norma Islam baik yang tercantum dalam al-Qur'an maupun
Hadits juga banyak mengajarkan tentang kebebasan. lqra misalnya, sebagai
ayat pertama dari wahyu yang pertama turun juga menyiratkan pentingnya
pembebasan dari belenggu kebodohan. Kita tahu bahwa ayat itu turun di
tengah-tengah masyarakat Arab yang ketika
itu berada dalam kungkungan kebodohan, sehingga disebut dengan zaman
jahiliyah atau zaman kebodohan. Demikian juga halnya dengan lafaz la illaha
illa Allah, juga mengandung efek pembebasan yang bahkan sangat
substansial. Pernyataan itu tidak hanya mengandung penegasan untuk bertuhan
kepada Allah, tetapi juga mengandung tuntutan pembebasan untuk tidak bertuhan
kepada selain-Nya. Sebab bertuhan kepada Allah tetapi masih mengakui eksistensi
yang lain dan dianggapnya sebagai Tuhan, akan tergolong kepada orang yang musyrik.
Perbuatan semacam itu termasuk dosa yang tidak akan diampuni.
Satu hal yang patut dicatat adalah bahwa etika pembebasan yang diisyaratkan
baik dalam historikal kehidupan nabi, simbol-simbol ritualisme keagamaan, dan
teks-teks ajaran Islam senantiasa terkait dengan semangat ketuhanan. Ini
artinya bahwa kebebasan yang dimaksudkan di dalam Islam bukanlah kebebasan yang
tanpa makna atau tujuan, sebab kebebasan yang demikian pada akhirnya akan
mengantarkan manusia kepada hilangnya kekaburan hidup. Kehidupan menjadi absurd
atau bahkan menjadi tidak ada. Akibatnya hidup menjadi tidak bermakna. Inilah
yang banyak dialami oleh para penganut eksistensialisme atheis. Sehingga kaum
eksistensialisme atheis mengalami la nouse atau kejenuhan, atau
bahkan kemudian bunuh diri karena menganggap pada akhirnya hidup ini tidak ada
artinya. Dengan kata lain konsep hidup dalam eksistensialisme atheis berujung pada pesimisme hidup.
Memang ada sisi optimisme hidup dalam pandangan eksistensialisme atheis,
yakni semangat untuk menikmati hidup. Hidup ini yang menurut kaum
Eksistensialisme hanya sekali. Kematian bagi mereka adalah akhir dari
kehidupan. Oleh karena itu hidup ini harus dinikmati dan diperjuangkan. Oleh
karena itu segala bentuk yang menghalangi dan kenikmatan hidup harus kita
lawan. Sebab dengan cara yang demikian itulah, manusia akan menjadi eksis.
Begitulah kira-kira keyakinan orang eksistensialisme, khususnya
eksistensialisme atheis yang dimotori oleh Sartre, Alabert Camus, dan
kawan-kawan.
Kebebasan yang dimaksudkan dalam Islam adalah kebebasan yang disemangati
untuk bebas dari segala bentuk penindasan makhluk untuk kemudian hanya tunduk
kepada Yang Maha Bebas (Tuhan). Eksistensialisme Islam adalah eksistensialisme
theistik, yaitu
eksistensialisme yang memperjuangkan kebebasan
untuk terbebas dari segala bentuk
penjara makhluk, untuk selanjutnya hanya tunduk kepada Tuhan. Ketundukan kepada
Tuhan tidak berarti menghilangkan eksistensi kemanusiaannya, justru ketundukan
kepada
Tuhan akan memperteguh identitas kemanusiaan kita. Sebab, kata lqbal,
tunduk kepada Tuhan bukan berarti jati diri terserap dalam Diri Tuhan, tetapi
sebaliknya justru sifat-sifat
Tuhan terserap ke dalam diri manusia, sehingga diri seseorang akan menjadi
manusia yang teguh. Dari situlah kemudian seseorang akan mampu merealisasikan
kekuatan idan sifat itu ke dalam kehidupan kita tanpa harus takut kepada
kekuatan-kekuatan selain Tuhan. Inilah yang dimaksud Iqbal dengan insan kamil
atau insan sempurna.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah mengapa etika kebebasan yang ada di
dalam sistem Islam itu belum mewujud secara maksimal dalam kehidupan masyarakat
kita? Mengapa ketika kita "dijajah" secara sosio-kultural oleh kultur
umat lain yang nilai-nilainya bertentangan dengan Islam tidak atau kurang
memiliki perlawanan pembebasan? Kalaupun ada seringkali perlawanan itu hanya
sekadar retorika yang muncul di forum-forum pengajian atau ceramah-ceramah
keagamaan. Demikian pula halnya ketika tradisi koruptif sedang menjajah nurani
kita dari kejujuran, semangat untuk melakukan perlawanan begitu lemah dan
terdengar sayup-sayup? Juga halnya ketika etika kehidupan politik bangsa ini
terjerat oleh semangat nafsu kekuasaan yang menghalalkan segala cara, kita juga
diam? Dan sederet pertanyaan lain yang intinya menunjukkan kelemahan semangat
etik pembebasan dalam Islam. Padahal kita tahu, bahwa kehidupan dakwah Islam
begitu semarak, baik yang disampaikan melalui media masa, baik melalui
televisi, radio, koran, majalah, maupun tabloid-tabloid dakwah. Kita juga tahu
kegiatan seperti tabligh akbar dan istighosah juga sering di gelar di kota-kota
besar, sedang, sampai ke kota kecil. Mengapa kegiatan-kegiatan tersebut tidak
berkorelasi secara positif dengan semangat pembebasan?
Terhadap kenyataan seperti itu sebagian memberikan jawaban apologetik.
"Untung masih banyak dakwah yang cukup semarak di mana-mana. Kalau tidak
ada mungkin kondisi bangsa ini
akan lebih parah
dari apa yang sekarang
ada," begitulah kira-kira jawabannya. Pernyataan yang
apologetik itu boleh-boleh saja, dan itu
menunjukkan adanya cara berpikir positif. Tetapi perlu dicatat, sikap
apologetik adalah sikap yang tidak
sehat, karena mengindikasikan adanya
psikologi kekalahan dan hanya dimaksudkan untuk menghibur diri. Sikap
apologetik juga tidak mencerminkan adanya sikap kritis dan kreatif dalam
menghadapi kenyataan. Oleh karena itu tepat adalah sikap tidak puas terhadap
kenyataan seraya dibarengi dengan sikap kritis dan mengembangkan ide-ide
kreatif untuk menemukan alternatif-alternatif yang terbaik.
Sekulerisasi Subjektif
Munculnya jurang pemisah (gap) antara semangat pembebasan yang
secara ideal tersirat dalam sistem Islam dan ajaran Islam dengan potret buram
perilaku sehari-hari masyarakat kita menunjukkan bahwa terjadi sekulerisasi dalam
kehidupan keberagamaan masyarakat. Inti
dari sekulerisasi adalah pamisahan antara yang agama dengan yang bukan agama
(profan). Sekulerisasi—menurut Peter Belger—-menjelma dalam dua bentuk,
yaitu sekulerisasi objektif dan sekulerisasi subjektif. Sekulerisasi objektif terjadi bila secara
struktural atau institusional terjadi pemisahan antara agama dengan
lembaga-lembaga lain, sehingga ada lembaga agama dan ada lembaga yang dianggap
bukan lembaga agama. Sedangkan sekulerisasi subjektif terjadi bila pengalaman
sehari-hari tidak dapat lagi dipetakan dalam agama, ada pemisahan antara
pengalaman hidup dengan pengalaman agama.
Bangsa kita, betapapun tidak mau disebut sebagai bangsa sekuler, pada
kenyataannya dalam struktur kelembagaannya bersifat sekuler. Buktinya adalah
dengan adanya departemen agama dan departemen yang non-agama. Dalam pendidikan
pun ada sekolah yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan ada juga yang
berada di bawah naungan
Departemen Agama. Ini artinya bahwa secara objektif bangsa kita memang
sekuler.
Di sisi lain dalam kehidupan kita sehari-hari pun banyak diantara pemeluk
agama (khususnya Muslim) yang dalam dirinya mengalami atau melakukan
sekulerisasi. Satu sisi yang bersangkutan menjalankan ritus-ritus keagamaan dan
secara kognitif juga tahu tentang ajaran-ajaran agama, tetapi di sisi lain
perilakunya sama dengan orang-orang yang tak beragama. Agama hanya diposisikan
pada situasi dan kondisi tertentu, tidak diaplikasikan secara total dalam
kehidupan sehari-hari. Beragama menjadi sesuatu yang pragmatis saja dan
seringkali dikonotasikan dengan ritual-ritual keagamaan yang sempit. Agama
hanya terasa pada saat kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian. Di luar
itu sepertinya tidak berlaku agama. Agama juga hanya ada pada saat menjalankan
ritualisme agama, seperti pada saat shalat, zakat, dan haji. Di luar itu
sepertinya agama tidak kelihatan. Akhirnya agama hanya tampak pada
atribut-atribut formal, sementara substansinya tidak terjabarkan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat
wajar kalau etik pembebasan yang juga merupakan substansi dari ajaran agama
juga jarang tertangkap dan teraktualisasi dalam praktik hidup keseharian.
Jika dilacak ke belakang, sekulerisasi seperti ini, sebetulnya berawal dari
cara pandang umat Islam yang dikotomis dalam memahami ilmu. Ilmu, kata
al-Ghazali, terbagi menjadi dua, yaitu ilmu agama dan ilmu non agama atau yang
sekarang disebut dengan ilmu umum. Dalam kehidupan pesantren (khususnya
pesantren salaf) ilmu umum tidak atau setidak-tidaknya jarang dipelajari dan
tidak dianggap penting. Akibatnya mereka
merasa matang dalam hal-hal ilmu agama, tetapi mundur dalam ilmu-ilmu umum. Di sisi
lain, di lembaga-lembaga pendidikan formal, keduanya dipelajari, tetapi
keduanya tetap merupakan ilmu yang terpisah. Ilmu agama diajarkan secara
terpisah dengan ilmu umum. Tidak ada substansi nilai-nilai agama ke dalam
ilmu-ilmun umum. Akhirnya yang terjadi adalah tidak terjadi kesinkronan antara
ilmu agama dan ilmu umum. Atau dengan kata lain, ilmu umum steril dari spirit
agama. Akibatnya yang lahir adalah anak-anak yang jiwanya terbelah. Satu sisi
menampilkan sosok agamis tetapi di sisi lain mencerminkan sosok yang kurang
atau tidak agamis. Inilah awal dari sekulerisasi subjektif.
Selain itu sekulerisasi subjektif juga terjadi karena selama ini umat Islam
terjebak pada pola berpikir yang diistilah oleh Mohammad Arkoun dengan pola
berpikir logosentrisme, yaitu pola berpikir yang hanya terkungkung pada
teks-teks yang sudah ada. Sementara yang ada di luar teks tidak pernah atau
setidak-tidaknya tidak menjadi perhatian, dan karenanya tidak dikaji. Hal itu
semakin diperparah karena teks-teks yang dipilih untuk dikaji seringkali
terbatas pada teks-teks fiqh dalam pengertian yang sempit, akibatnya umat Islam
kurang peduli dengan persoalan-persoalan riil—khususaya persoalan-persoalan
modernitas—yang belum atau tidak dibahas dalam teks-teks fiqh.
Sebetulnya, lanjut Arkoun, pola berpikir yang logosentrisme itu tidak hanya
sebatas pada bidang fiqh, tetapi juga dalam bidang tafsir dan tasauf. Dalam
kedua bidang pemikiran itu, umat Islam sering terjebak pada teks-tek yang sudah
ada. Tafsir atau konsep-konsep tentang tasauf yang sudah muncul duluan menjadi
rujukan untuk tafsir yang berikutnya dan seterusnya. Sehingga yang terjadi adalah
penumpukan tafsir yang saling bersandar. Karena terjadi tali temali yang
demikian itu maka umat Islam hanya memikirkan pada wilayah-wilayah yang selama
ini ada dalam teks-teks, padahal ada sebagian wilayah lain yang belum atau tak
terpikirkan (unthinkable) karena berada di luar teks. Akibatnya umat
Islam mengalami kemunduran dalam bidang-bidang wilayah yang belum atau tidak
terpikirkan, sehingga terjadi keterputusan spiritual antara wilayah-wilayah
yang takter-pikirkan itu dari spiriti atau etik keagamaan. Padahal sesungguhnya
wilayah-wilayah yang takterpikirkan itu secara riil digeluti oleh manusia.
Sebut saja misalnya wilayah birokrasi, wilayah politik, wilayah sains dan
teknologi, dan sebagainya.
Dalam konteks ini sikap Muhammadiyah yang takbermazhab adalah suatu sikap
yang relevan. Namun demikian sikap tak bermazbab ini bukan berarti Muhammadiyah
tidak mengapresiasi hasil-hasil pemikiran tokoh-tokoh fiqh terdahulu. Hal itu
tetap diapresiasi hanya saja diposisikan sebagai referensi, tidak untuk dipilih
dan kemudian ditaklidi. Rencana Muhammadiyah untuk membuat tafsir tematik (tafsir
maudhu'i) dengan melibatkan para ulama dan pakar-pakar dibidang sosial,
politik, pendidikan, budaya, dan berbagai pakar keprofesian lainnya juga merupakan langkah yang bijak,
sehingga kelak diharapkan akan muncul tafsir al-Qur'an yang di dalamnya
membahas persoalan-persoalan yang secara riil dihadapi masyarakat. Jika ini
terwujud niscaya akan sangat berarti dalam mencegah terjadinya sekulerisasi
objektif maupun sekulerisasi subjektif. Lebih jauh dari itu, akan memberikan efek pembebasan kepada umat
Islam bahwa dari belenggu keduniaan, sehingga apapun profesi dan bidang
keahliannya akan disadari benar bahwa hal itu sesungguhnya bukan hanya untuk
tujuan-tujuan teresial (kekinian) yang bersifat fana tetapi untuk juga
memiliki makna yang lebih substansial, yakni untuk mengabdi kepada Tuhan. Pada
gilirannya kita tidak akan dilanda ketergantungan sosial, ketergantungan
psikogikal, ketergantungan material, dan sebagainya yang kesemuanya tidak
sejati.
Perubahan Metodologi Keberagamaan
Yang juga penting untuk diperhatikan guna menetapkan pesan-pesan etis Islam
adalah dengan melakukan perubahan metodologi keberagamaan. Perubahan yang
dimaksudkan —menurut Kuntowijoyo— adalah mengubah metodologi keberagamaan
mitis-utopis dari teks ke praktik menjadi metodolgi ilmiah yakni dari
teks-teori-kemudian baru prakrik.
Metodologi keberagamaan pertama hanya akan melahirkan mitos-mitos atau
paling banter memunculkan ideologi
Metodologi pertama hanya akan melahirkan kesadaran mitos atau ideologis dan
tidak memberikan tuntutan-tuntunan praktis
bagaimana bentuk-bentuk operasionalnya. Sedangkan metodologi model
kedua akan melahirkan kesadaran teoritik dan praktis, karena di dalanmya
dituntut untuk menemukan bentuk-bentuk operasionalnya. Bahkan akan mendorong
lahirnya teori-teori yang sangat kaya yang lahir dari pemahan teks.
Untuk menjelaskan perbedaan kedua metodologi tersebut, Kuntowijoyo
misalnya, memberikan contoh bagaimana memahami ayat al-Qur'an yang menyebutkan
bahwa seandainya penduduk suatu negeri beriman
dan bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
akan membukakan pintu-pintu berkah dari langit
dan bumi. Ayat tersebut —lanjut Kuntowijoyo— jika ditafsirkan
secara mitis-ideologis (utopis), ayat itu final. Ayat itu bisa-bisa akan
ditafsirkan secara harfiah. Jika dipahami dalam pengertian ideologis, maka akan
ada gerakan untuk mendorong orang cukup beriman saja untuk memperoleh berkah
dan rizki. Tetapi jika hal itu ditafsirkan ke dalam konteks ilmu akan mendorong
kesadaran pentingnya membuat teori-teori bagaimana iman dan takwa bisa
menyebabkan terbukanya langit dan bumi. Oleh karena itu diperlukan analisis
yang mendalam untuk merumuskan keberimanan dan ketakwaan yang bagaimana yang
dapat mengakibatkan diturunkannya berkah Tuhan itu. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa sesungguhnya al-Qur'an merupakan sejumlah teori besar yang
perlu dielaborasi menjadi teori-teori yang lebih operasional.
Namun demikian untuk melengkapi kemampuan menganalisis teori-teori besar
al-Qur'an itu diperlukan adanya ilmu-ilmu bantu yang tidak hanya sebatas pada
ilmu-ilmu yang selama ini diklaim sebagai ilmu agama (bahasa Arab, tafsir, dan
semacamnya), tetapi juga diperlukan ilmu-ilmu modern, seperti filsafat,
sosiologi, psikologi, dan sebagainya. Tanpa penguasaan terhadap berbagai
disiplin ilmu tersebut, maka penafsiran akan menjadi tidak terarah atau bahkan
akan kembali kepada model berpikir logosentrisme sebagaimana dikemukakan oleh
Mohammad Arkoun.
Generasi Islam sekarang seharusnya intens dalam menggeluti tugas mulia ini.
Tugas-tugas ini secara pribadi-pribadi sudah mulai dirintis oleh para
cendekiawan Muslim, seperti Nurcholish Madjid dengan Islam Keindonesiaannya,
Amien Rais dengan Tauhid sosialnya,
Kuntowijoyo dengan Paradigma
Islam untuk ilmu-ilmu
sosialnya, dan sebagainya. Mereka
dengan kemampuan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya
telah membukakan kepada umat Islam bahwa sesungguhnya terdapat korelasi
etis antara agama dengan berbagai bidang kehidupan manusia, baik dalam bidang
sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Mereka juga
menunjukkan bahwa menjadikan agama sebagai dasar etis dalam berbagai lingkup
kehidupan manusia itu tidak menghambat kemajuan, tetapi justru memberikan arahan
terhadap kemajuan itu kepada tujuan yang jelas dan pasti.
Lebih dan itu, dengan menjadikan agama sebagai dasar etis dalam memahami
berbagai bidang kehidupan sangat
membantu umat Islam untuk melakukan emansipasi dan pembebasan diri dari
keterasingan dan keterbelakangan hidup pada wilayah-wilayah yang
selama ini takterpikirkan. Oleh karena itu marilah secara bersama-sama
menggeluti nilai-nilai Islam dan menggeluti realitas kehidupan sekarang ini
untuk kemudian dicarikan benang merah teoritiknya, sehingga realitas hidup ini
selalu disinari oleh etik agama.
Walluhu a'lam bis shawab.
Penulis adalah Dosen STAI Muhammadiyah Tangerang,
Mantan Ketua DPP IMM Th. 1992-1995.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21-04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar