Pendidikan
tinggi merupakan salah satu jenjang dalam penyelenggaraan pendidikan yang
bertujuan untuk membangun taraf kebudayaan rakyat baik dalam bentuk ilmu
pengetahuan dan teknologi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi yang melahirkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentunya dapat dimanfaatkan oleh
rakyat untuk mendayagunakan segala macam potensi alam yang ada disekitarnya
baik untuk pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, perindustrian dan
pertambangan. Selain itu, kemajuan tersebut juga dapat dipergunakan untuk
pengembangan telekomunkasi dan transportasi yang bisa dimanfaatkan rakyat dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam
menyukseskan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa
tentunya dibutuhkan kebijakan yang mampu mewujudkan hal tersebut. Namun,
pendidikan tinggi sejak adanya GATS (General Agreement on Trade and Services)
yang ditanda tangani oleh puluhan negara termasuk Indonesia merupakan satu
bentuk dominasi dan kooptasi yang dilakukan oleh kapitalis monopoli
internasional (Impeiarialisme). Dalam kesepakatan tersebut, pendidikan tinggi
dijadikan salah satu komoditas dari 12 komoditas jasa yang dapat diperdagangkan
dalam bentuk jasa penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Tujuan
Imperialisme dalam mengkooptasi dan mendominasi penyelenggaraan pendidikan
tinggi adalah meraih keuntungan dari hasil penyelenggaraan pendidikan yakni, 1)
hasil temuan terapan yang dapat mendukung industri mereka, 2) mendapatkan
keuntungan finansial dari hasil penarikan biaya penyelenggaraan pendidikan, dan
yang tidak kalah penting adalah 3) melakukan dominasi atas kebudayaan suatu
negara termasuk Indonesia dalam bentuk teori-teori, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Imperialisme
membutuhkan rezim boneka dalam negeri untuk merealisasikan hal tersebut dengan
salah satu caranya yakni mengeluarkan kebijakan yang melapangan tujuan
Imperialisme tersebut. Kondisi tercermin dari kebijakan yang sejak tahun 1999
dengan dikeluarkannya PP no 61 tahun 1999 tentang PT BHMN, UU no 20 tahun 2003
tentang sisdiknas, UU no 9 tahun 2009 tentang BHP, PP no 17 dan 66 tahun 2010
tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Terakhir berupa RUU
tentang Pendidikan Tinggi yang menggantikan UU BHP, dan beberapa pasal dalam UU
no 20 tahun 2003 yang sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat atau tidak berlaku lagi.
RUU
Pendidikan Tinggi yang digulirkan oleh rezim Boneka yakni SBY melalui
legislatif (DPR-RI), merupakan salah satu bentuk kebijakan yang mengakomodasi
kepentingan Imperialis dan wujud realisasi dari GATS yang sudah ditanda
tangani oleh Indonesia. Hal inilah yang yang menjadi latar belakang utama
mengapa kita harus menolak RUU Pendidikan Tinggi. Tidak ketinggalan pula, ada
alasan secara sosiologis dan politis yang menjadi landasan dalam upaya
penolakan RUU Pendidikan Tinggi. Karena, jika kita terjebak pada soal yang
bersifat normatif semata atau hanya membahas pada pasal-pasal yang tercantum
dalam rancangan undang-undang tersebut dalam kacamata hukum positif, maka kita
akan mengalami kebuntuan dalam menganalisis penyebab dan mencari jalan keluar
dalam upaya penolakan RUU Pendidikan Tinggi. Dengan demikian, dalam
menganalisis pasal-pasal yang tercantum dalam RUU Pendidikan Tinggi, disamping
yang bersifat normatif kita juga harus melihat keterkaitannya dengan historis
lahirnya RUU Pendidikan Tinggi, politik kepentingan yang terkandung dalam RUU
Pendidikan Tinggi, dan dampal sosial jika diberlakukannya RUU Pendidikan
Tinggi.
Berikut
penjelasan dan analisa tentang RUU Pendidikan Tinggi (draf RUU Pendidikan
Tinggi per 4 April 2012) dengan menggunakan berbagai macam perspektif baik
historis, politik kepentingan, dampak sosiologis, kontradiksi normatif antara RUU
Pendidikan Tinggi dengan Konvenan Ekosob dan UUD 1945 serta potensi
komersialisasi pendidikan tinggi :
A. Sejarah Lahirnya RUU
Pendidikan Tinggi
Suatu
undang-undang tidak lahir begitu saja sebelum melewati masa pembahasan
dalam bentuk RUU untuk oleh DPR yang memiliki kewenangan legislasi. Adapun
beberapa motif yang mendorong terbentuknya suatu undang-undang yakni, 1) Amanat
dari Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang, 2) Perjanjian Internasional, 3)
Kebutuhan Masyakarat atas Hukum. Motif pertama dapat kita ketahui bersama
dengan lahirnya UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 ayat atau UU tentang
APBN yang merupakan amanat dari UUD 1945 pasal 31 ayat 4 dan UU BPJS yang
merupakan amanat dari UU SJSN. Motif kedua dapat kita ketahui dengan adanya UU
no 39 tahun 1999 tentang HAM yang merupakan amanat dari Konvensi tentang HAM
Sipil dan Politik dan UU no 12 tahun 2005 tentang ratifikasi HAM Ekonomi,
Sosial dan Budaya, UU no 1 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang merupakan
amanat dari WTO. Sedangkan untuk motif ketiga sering disalah gunakan oleh
pemerintah untuk membentuk UU yang sesungguhnya tidak menjawab persoalan atau
kebutuhan masyarakat. Motif yang inilah sering dijadikan kedok oleh pemerintah
untuk membentuk suatu Undang-Undang.
Sejarah
lahir RUU Pendidikan Tinggi memiliki keterkaitan dengan kepentingan kapitalis
monopoli internasional yang mendesak negara-negara berkembang atau dunia ketiga
seperti Indonesia untuk melakukan liberalisasi disegala sektor termasuk
pendidikan dengan melakukan pencabutan subsidi publik, deregulasi dan
privatisasi. Fakta tersebut merupakan manifestasi dari SAP (structural
adjustment program) yang dipakaskan kepada negara-negara berkembang melalui
rezim boneka dalam negeri. SAP dikenal sebagai bentuk kebijakan neoliberal yang
merupakan jalan atau wadah bagi Imperialis atau kapitalis monopoli
internasional untuk mendominasi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Salah
satu wujud dari SAP melalui lembaga perdagangan Internasional yang bernama WTO.
Pada tahun 1995, menjerumuskan negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk
meratifikasi GATS. Dalam GATS diatur bahwasanya bagi negara-negara berkembang
termasuk Indonesia harus meliberalisasikan 12 sektor jasa yang salah satunya
adalah pendidikan tinggi agar menjadi komoditas yang diperdagangkan secara
internasional. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan pencabutan subsidi atas
pendidikan, penghapusan peraturan perundan-undangan dan digantikan dengan yang
baru agar dapat mempermudah realisasi atas liberalisasi pendidikan atau yang
lebih dikenal sebagai deregulasi dan melakukan privatisasi lembaga pendidikan.
Pemerintahan
boneka yakni rezim fasis Soeharto, telah bekerja sama dengan lembaga
keuangan internasional (IMF) untuk mempermulus arus liberalisasi sektor publik
termasuk pendidikan yang tertuang dalamletter of intent. Pada tahun
1999, pemerintah melalui PP no 61 tahun 1999 tentang PT BHMN telah mengubah 5
PTN menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (UI, ITB, IPB, UGM dan
UNAIR). Akhirnya dengan PP tersebut, ke lima PT BHMN melakukan pencarian dana
secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan biaya penyelenggaraan pendidikan di
masing-masing institusi.
Dalam
perkembangannya, kondisi tersebutlah yang kemudian melahirkan praktek
komersialisasi pendidikan tinnggi hingga menjadikan dunia pendidikan tinggi
semakin sulit diakses oleh rakyat Indonesia yang berpenghasilan rendah seperti
anak yang berasal dari buruh, petani, pegawai rendahan, pedagang asongan dll. Kondisi
tersebut juga mendorong PTN-PTN lainnya untuk melakukan hal yang sama karena PT
BHMN memiliki otonomi yang luas baik dalam bidang akademik dan non akademik.
Hal inilah menjadi latar belakang adanya UU no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas
yang di pasal-pasalnya mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pendidikan harus
berbentuk bahan hukum pendidikan (pasal 53) dan penyelenggaraan pendidikan
tinggi harus otonom (pasal 24 dan pasal 50 ayat 1) [i].
Pada
perjalanannya, pasal 53 UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
melahirkan UU no 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Pelaksanaan dari
UU no 9 tahun 2009 telah melahirkan dua PTN yang berubah menjadi BHP yakni USU
dan UPI. Selain itu, banyak pula PTN-PTN yang berlomba-lomba ingin menjadi PT
BHP. Dan banyak pula PTN yang ingin menjadi PT BLU berdasarkan PP no 17 tahun
2010 tentang penyelenggaraan pendidikan dan PP no 23 tahun 2005 tentang
pengelolaan keuangan BLU. Baik BHP maupun BLU memiliki sifat otonom dalam
bidang pendidikan dan non pendidikan yang hanya melahirkan praktek
komersialisasi pendidikan dengan ditandai mahalnya biaya pendidikan yang harus
dikeluarkan oleh setiap peserta didik.
Selain
itu, salah satu bentuk privatisasi pendidikan tinggi juga dapat kita lihat
banyaknya PTS-PTS yang berdiri dengan bentuk yayasan yang bersifat Nirlaba.
Pendirian PTS-PTS merupakan salah satu model pengaplikasian dari privatisasi
pendidikan yang tercantum dalam UU no 20 tahun 2003 dengan dalih peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan atau dalam hal ini pendidikan
tinggi yang bersifat nirlaba. Namun, pada perkembangannya PTS-PTS yang
bermunculan sebagai manifestasi dari pasal 50 UU no 20 tahun 2003 tentang
sisdiknas juga melahirkan praktek komersialisasi pendidikan yang ditandai
tingginya biaya pendidikan. Praktek komersialisasi pendidikan di PTS yang
dibawah naungan pasal 50 UU no 20 tahun 2003 dapat kita lihat dari besarnya
biaya SPP, biaya per sks, biaya masuk (sumbangan) dan biaya praktikum. Dengan
tingginya biaya pendidikan di PTS-PTS dan konsep penerapan nirlaba pada PTS-PTS
tentunya sudah kontradiktif. Hal ini dikarenakan setiap penerimaan dan
pengeluaran ditetapkan oleh badan hukum tertentu atau yayasan lalu dilaksanakan
oleh PTS sebagai institusi pelaksana. Yayasan inilah yang sering memanfaatkan
posisinya sebagai pendiri untuk mengeruk pendapatan dengan menetapkan biaya
pendidikan yang akan dikenakan kepada peserta didik dan dikumpulkan uang dari
biaya pendidikan oleh PTS tersebut.
Kewenangan
yang dimiliki oleh PTS atau dalam hal ini yayasan pendiri PTS yakni dalam
bentuk otonomi baik dalam bidang akademik maupun non akademik yang membuka
keran potensi peluang adanya praktek komersialisasi pendidikan sebagaimana yang
terjadi di PTN-PTN baik yang berbentuk BHMN, BHP maupun BLU. Pada perjalanan
berikutnya pada akhir bulan maret 2010, UU no 9 tahun 2009 tentang BHP
dibatalkan oleh MK dan PP no 17 tahun 2010 pun diubah menjadi PP no 66 tahun 2010
yang isinya tentang perubahan status pengelolaan keuangan bagi PT BHMN ataupun
PT BHP menjadi PTN BLU atai PTN biasa. Akan tetapi, pada akhir tahun 2010 DPR
RI bersam kemendikbud merancang secara bersama-sama RUU Pendidikan Tinggi yang
kelaka akan mengatur lebih spesifik tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Adapun
salah satu landasan filosofi dibentuk RUU Pendidikan Tinggi yang termuat dalam
naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi per maret 2011 yang sedang disusun oleh
DPR dan kemendiknas adalahOtonomi Perguruan tinggi menjadi salah satu prasyarat
utama agar peran yang diharapkan dapat dijalankan dengan baik dan dapat
menunjukkan akuntabilitas yang baik pula yang dapat diterima oleh masyarakat
luas sesuai dengan perannya dan sedangkan peran salah satu landasan yuridis
utnuk menyusun RUU Pendidikan Tinggi adalah Pengaturan lebih lanjut tentang
otonomi perguruan tinggi ini perlu dituangkan dalam undang-undang yang dapat
mewadahi otonomi di bidang akademik maupun non akademik yang diperlukan oleh
perguruan tinggi dalam menjalankan perannya, dan yang dapat diterima oleh
masyarakat luas sebagai bagian dari akuntabilitas perguruan tinggi sebagaimana
yang diatur dalam pasal 24 ayat 2 dan 3 serta pasal 50 ayat 6 UU no 20 tahun
2003 tentang sisdiknas[ii].
Landasan
filosofi dan yuridis tersebut tertuang di beberapa pasal dalam RUU Pendidikan
Tinggi per 4 April 2012 yang digunakan sebagai bahan raker antara Komisi X
DPR-RI dengan Kemendikbud. Pasal-pasal yang merupakan manifestasi dari
pemberiaan otonomi yakni pasal 64 hingga 69 yang masuk dalam bagian ke empat
tentang pengelolaan perguruan tinggi. (pembahasan tentang otonomi perguruan
tinggi akan dibahas pada poin poliik kepentingan RUU Pendidikan Tinggi)
B.
Politik Kepentingan Kapitalis Monpoli Internasional Dalam RUU
Pendidikan Tinggi
Banyak
upaya yang dilakukan oleh kapitalis monopoli Internasional atau Imperialis baik
melalui WTO, IMF dan World Bank yang dikenal sebagaiunholy trinity. Ketiga
lembaga tersebut digunakan oleh imperialis sebagai tentakel-tentakel untuk
negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia yang juga disokong oleh rezim
boneka dalam negeri yang saat ini dipimpin oleh SBY. Banyak program yang
dilakukan oleh Bank Dunia agar institusi pendidikan dapat berubah menjadi salah
satu sektor jasa yang dapat diperdagangkan. Higher Education for Compt
Project (HECP) pada awal tahun 2000an lalu berubah menjadi Indonesia
Managing Higher Education for Relevance and Efficiency atau dikenal
dengan program IMHERE. Bank dunia pun menjelaskan bahwasanya untuk menyukseskan
tersebut harus ada UU (legal structure)
yang melandasi pelaksaanaan liberilasasi pendidikan tinggi agar dapat membentuk
institusi pendidikan yang otonom (institutional autonomy).
Program
yang memakan jutaan dolar ini mencekoki rakyat Indonesia melalu rezim boneka
dalam negeri yakni SBY agar secara mengeluarkan kebijakan dalam bentuk UU agar
terbentuknya sebuah pendidikan tinggi yang effiesien. Pendidikan tinggi yang
efisien yang dimaksudkan adalah pendidikan tinggi yang tidak memakan uang
negara dan mampu secara otonom melaksanakan fungsi akademik serta non akademik.
Maka pada tahun 2009, dibawah pemerintahan boneka yang dipimpin oleh SBY,
Indonesia melahirkan UU BHP dan pada akhirnya dibatalkan oleh MK pada tahun
2010. Akan tetapi, dalam perkembangannya pemerintahan Indonesia dibawah
kepemimpinan SBY tidak tinggal diam agar upaya untuk meliberalisasikan
pendidikan tinggi melalui rancangan pendidikan tinggi.
Wujud
dari politik kepentingan kapitalis monopoli dalam RUU Pendidikan Tinggi
sangatlah jelas dalam pasal-pasal yang tercantum dalam RUU tersebut. Manifesasi
dari liberalisasi pendidikan yakni, dengan minimnya subsidi dari negara untuk
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini dapat kita lihat dari pasal 89 ayat
3 yang menjelaskan pemerintah paling sedikit mengalokasikan 2,5% dari anggaran
fungsi pendidikan untuk dana bantuan operasional. Bantuan dana operasional di
PTN meliputi untuk membiayai investasi, pegawai,operasional,
dan pengembangan institusi dan di PTS meliputi untuk investasi[iii] dan pembangunan.
Kenyataan
tersebut terwujud dalam APBN-P 2012 anggaran pendidikan adalah Rp 285 Triliun.
Kurang lebih 137 Triliun dari 285 Triliun adalah untuk gaji. Sebanyak 100
Triliun lebih anggaran ditransfer ke daerah untuk BOS, dana bagi hasil, gaji
guru, dan pembangunan sekolah. Sebanyak Rp 50 Triliun untuk kementrian lainnya.
Sebanyak 57,8 Triliun anggaran dikelola Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,
sementara anggaran untuk pendidikan tinggi hanya 5 Triliun. Anggaran 5
Triliun sangatlah sedikit jumlahnya, karena jumlah perguruan tinggi di
Indonesia adalah 3150 perguruan tinggi. Apalagi dengan adanya penetapan minimal
30% dari total anggaran untuk penelitian akan semakin minimnya dana yang
dimiliki oleh setiap PTN dan PTS untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional
penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Dengan
minimnya, dana yang diberikan oleh pemerintah kepada setiap PTN dan PTS maka
hal wajar, pemerintah SBY yang merupakan kaki tangan dari kapitalis monopoli
internasional memberikan otonomi dalam bidang non akademik atau dalam hal ini
keuangan. Dengan adanya otonomi ini, setiap PTN dan PTS memiliki kewenangan
dalam hal menetapkan jenis biaya pendidikan di luar biaya penyelenggaraan
pendidikan yang tercantum dalam pasal 88 ayat 1 atau lebih dikenal dengan SPP.
Kondisi biaya pendidikan diluar SPP sudah lama terapkan oleh setiap PTN dan PTS
untuk menarik dana dari masyarakat atau dalam hal ini mahasiswa dan atau orang
tua mahasiswa dengan nilai yang sangat tinggi agar dapat menutupi kekurangan
dana untuk pembiayaan operasionalisasi penyelenggaraan pendidikan tingg di
Indonesia.
Penerapan
menarik dana dari masyaraka selain SPP, dapat kita lihat di UI ada Admission
Fee yang mulai diterapkan sejak tahun 2004 dan Biaya Operasional
Pendidikan Berkeadilan, disingkat BOP-B. Kondisi ini juga terjadi di UNSRI, ada
Dana Pengembangan Pendidikan dan Dana Pengembangan Lembaga, di Unibraw ada
Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan, dan biaya lain-lain, di UPI ada
Dana Pengembangan Lembaga dan Biaya Peningkatan Mutu Akademik, dan di UGM ada
Biaya Operasional Pendidikan serta Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik.
Varian-varian biaya kuliah inilah yang tidak diatur dalam RUU PT dan nilai dari
biaya diluar SPP ini sangatlah besar.
Untuk
mendukung hal tersebut, maka pemerintah memberikan otonomi khusus kepada setiap
PTN juga dapat kita lihat pada pasal 67 yang menjelaskan bahwasanya PTN dapat
berbentuk PPK BLU (sesuai dengan PP no 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan BLU) dan Badan Hukum yang ditentukan secara selektif oleh pemerintah.
Bentuk pengelolaan PPK BLU, setiap PTN memiliki otonomi dalam menentukan jenis
tarif dan besar tarif sebagai biaya atas jasa yang telah diberikan berdasarkan
pasal 19 PP no 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU.
Sedangkan,
PTN yang berbentuk badan hukum memiliki otonomi untuk mengelola dan secara mandiri
baik yang bersumber dari pemerintah maupun masyarakat yang berasal dair SPP dan
non SPP seperti yang dijelaskan pada pasal 67 ayat 3 huruf c. Serta, khusus
untuk PTN yang berbentuk badan hukum juga dapat mendirikan badan usaha yang
dimana laba tersebut digunakan untuk menutupi kekurangan pembiayaan
operasionalisasi pendidikan tinggi seperti yang dijelaskan pada pasal 67 ayat 3
huruf e. kondisi tersebut juga dapat dimungkinkan terjadi di PTS karena
berdasarkan pasal 68, pola pengelolaan keuangan diserahkan kepada badan
penyelenggara pendidikan atau dalam hal ini yayasan pendiri. Praktek pembukaan
badan usaha baik PTN yang berbadan hukum dan PTS dapat kita lihat kebijakan IPB
yang mendirikan Botani Square yang dijadikan sebagai sarana rekreasi dan penelitian,
IPB juga mendirikan hotel berbintang 5. UPI membangun stadion sepak bola yang
disewakan kepada salah satu klub sepak bola, UGM mendirikan GAMA Multi Usaha,
UAD juga juga mendirikan ADI TV, UNRAM mendirikan rumah sakit pendidikan UNRAM
dan UII juga membuka JIH (Jogja Internasional Hospital). Dari pendirian badan
usaha ini, diharapkan mampu menutupi kekurangan biaya operasional berdasarkan
laba yang dihasilkan oleh masing-masing lembaga. Namun, pada kenyataan hal
tersebut tidak berpengaruh terhadap aksesbilitas masyarakat untuk melanjutkan
pendidikan tinggi karena biaya pendidikan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi
tersebut sangatlah mahal.
Sedangkan
otonomi di dalam hal penelitian (bidang akademik), sangat membuka peluang
bahwasanya hasil dari penelitian yang dilakukan oleh setiap peserta
didik/mahasiswa dan dosen dapat dipergunakan untuk sarana komersil. Hal ini
dikarenakan hasil penelitian tersebut “diperjualbelikan” kepada dunia industri
dan dunia usaha. Apalagi, dengan adanya dominasi kapitalis monopoli asing maka
hasil penelitian baik dalam penelitian terapan dan murni yang dilakukan di
setiap PTN dan PTS hanya digunakan untuk mengeruk keuntungan atau profit bagi
mereka.
Dengan
minimnya anggaran untuk pendidikan tinggi dalam ranah penelitian. Perguruan
tinggi juga memiliki otonomi untuk melakukan kerjasama dan kemitraan dengan
dunia usaha dan dunia industri yang hasilnya akan digunakan untuk kepentingan
usaha dan industri. Tentunya dari hasil kerjasama dan kemitraan tersebut,
perguruan tinggi mendapatkan dana untuk melakukan penelitian dan menjual hasil
penelitiannya kepada dunia usaha/industri. Untuk itu, dalam RUU Pendidikan
Tinggi juga diatur dalam pasal 47 ayat 1.
Hal
ini diperkuat dengan pernyataan dari rektor IPB yang menjelaskan bahwasanya orienstasi
dari hasil penelitian memang harus diarahkan ke hal yang komersil agar menutupi
kekurangan dana yang dibutuhkan oleh setiap institusi pendidikan tinggi[iv]. Maka, kondisi ini sangat membuka peluang
bahwasanya hasil penelitian akan digunakan untuk perusahaan-perusahan besar
milik borjuasi komprador dan atau perusahaan-perusahaan milik kapitalis
monopoli Internasional. Dengan demikian landasan hasil penelitian yang dapat
diabdikan untuk kepentingan rakyat Indonesia atau dapat membangun industri
nasional akan ternegasikan dengan kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa
yang hanya mengutamakan profit semata.
Pemberian
otonomi dalam ranah keuangan yang masuk dalam bidang non akademik kepada PTN
merupakan konsekuensi yang harus dijalankan berdasarkan skema milik kapitalis
monopoli internasional dalam hal pencabutan subsidi pendidikan sebagai upaya
untuk meliberalisasikan pendidikan tinggi di Indonesia. Peran negara dalam
membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi akan tergantikan oleh peran
masyarakat. Dengan demikian proses liberalisasi pendidikan tinggi dapat
berjalan sukses di Indonesia.
Dilain
pihak, keberadaan RUU Pendidikan Tinggi yang menjadi manifestasi dari
liberalisasi pendidikan yang ditelurkan oleh kapitalis monopoli internasional
melalui rezim boneka dalam negeri yakni SBY. Dalam RUU Pendidikan Tinggi
seperti yang tertuang dalam naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi per maret
2011 menjelaskan bahwasanya seluruh dosen dan tenaga kependidikan akan
menjalankan dua pola yakni 1) diangkat oleh pemerintah yang kelak sebagai PNS
dan 2) diangkat oleh badan penyelenggaraan atau perguruan tinggi yang
bersangkutan yang kelak akan disebut sebagai pegawai perguruan tinggi. Dengan
demikian, pola kedua merupakan manifestasi dari skemalabour market
flexibellity (LMF) atau dikenal kenal fleksibelitas pasar tenaga
kerja.
Skema
LMF ini tentunya akan menempatkan dosen dan tenaga kependidikan dalam jurang
sistem kerja kontrak dan outsourcing. Penerapan skema ini dilahirkan oleh IMF
dan Bank Dunia untuk mengakali tingkat pengangguran yang tinggi di
negara-negara berkembang. Namun, jaminan atas masa depan bagi tenaga kerja yang
terjebak skema ini sangatlah suram. Hal ini dikarenakan kontrak kerja dapat
diputus secara sepihak, minimnya jaminan sosial yang didapatkan dan hubungan
industrial yang selalu merugikan pegawai non PNS. Praktek pembukaan outsourcing
di dalam kampus pun sudah berjalan misalnya UI. Lembaga outsourcing ini pun
menjadi salah satu sumber pendapatan bagi UI, UPI, dan UGM yang masih berstatus
PT BHMN.
Kondisi
tersebut, termanifestasikan dari skema tersebut dapat kita lihat dari pasal 70
ayat 4 dan 6. Dalam pasal tersebut dijelaskan bagi dosen dan tenaga kependidikan
dapat diangkat oleh badan penyelenggara pendidikan yang bersangkutan dan
memberikan gaji pokok dan tunjangan peraturan yang berlaku. Khusus untuk tenaga
kependidikan seperti pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan teknisi,
serta pranata teknik informasi sebagai pegawai rendah akan membuka peluang
praktek outsourcing di dalam tubuh pendidikan tinggi. Dengan demikian, nasib
tenaga kependidikan akan mengikuti UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga
kerjaan. Gaji dan tunjangan yang didapatkan oleh tenaga kependidikan pun akan
berbeda dengan dosen PNS maupun non PNS karena harus mengikuti peraturan dengan
UMK/R berdasarkan lokasi badan penyelenggaraan pendidikan yang bersangkutan
dilaksanakan. Kondisi tersebut, juga salah satu praktek otonomi yang diberikan
kepada perguruan tinggi di ranah kepegawaian dalam bidang non akademik.
Selain
itu, dalam RUU Pendidikan Tinggi kali ini juga membuka peluang adanya
persaingan yang tak seimbang antara PTS didalam negeri dengan PT yang berasal
dari negara-negara lain. Dalam RUU Pendidikan Tinggi juga diatur tentang
pendirian Perguruan Tinggi Asing di Indonesia yang termaktub dalam pasal 90.
Dengan adanya pendirian PTA di Indonesia akan membuka peluang adanya penutupan
PTS-PTS di Indonesia. Hal ini dikarenakan PTA-PTA yang dapat menyelenggarakan
pendidikan tinggi di Indonesia memiliki prasyarat tertentu, seperti adanya
akreditasi dari pemerintah PTA yang bersangkutan. Dengan masih rendahnya
kualitas akreditasi PTS-PTS yang ada di Indonesia, maka peran PTS-PTS tersebut
tergantikan. Hal ini dikarenakan PTA-PTA yang akan menyelenggarakan pendidikan
tinggi di Indonesia memiliki kualitas yang tentunya lebih baik daripada PTS-PTS
di Indonesia. Di satu sisi lainnya, PTA-PTA tersebut juga jugaestablish atau
mapan dalam hal pengelolaan keuangan. Hal ini berbeda dengan kondisi PTS-PTS di
Indonesia yang sering bermasalah dengan pengelolaan keuangan.
Selain
itu, PTA-PTA tersebut, juga tidak menutup kemungkinan akan menjadi alat bagi
kapitalis monopoli internasional untuk mendominasi dan menghegemoni kebudayaan
rakyat Indonesia secara langsung melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mereka kembangan di Indonesia. Kondisi ini dapat kita lihat, dari banyaknya
tenaga-tenaga ahli yang dipekerjakan di perusahaan-perusahaan milik kapitalis
monopoli Internasional seperti Chevron, Adaro, Freeport, Exxon yang sejatinya
hanya mengeksploitasi dan memonopoli kekayaan alam milik Indonesia. Dari
sinilah kita melihat adanya politik kepentingan kapitalis monopoli
internasional atau imperialis berupa persaingan yang tidak sehat antara PTS-PTS
dengan PTA dan upaya dominasi serta hegemoni yang dihasilkan oleh PTA yang
diselenggarakan di Indonesia.
Dari
sekian penjelasan diatas maka kita dapat melihat bersama secara terang tentang
politik kepentingan kapitalis monopoli internasional melalui struktur politik
di dalam negeri Indonesia yang dijalankan oleh SBY sebagai kaki tangan pada
periode ini.
C.
Dampak Sosiologis RUU Pendidikan Tinggi
Pemuda Indonesia
yang berusia 19-24 tahun dengan jumlah 25,404 juta jiwa tentunya diantara
mereka masuk dalam keluarga miskin atau dari kalangan menengah kebawah.
Berdasarkan data yang dilansir oleh BPS, bahwa jumlah penduduk yang masuk dalam
kategori miskin per Maret 2011 mencapai 30,5 juta jiwa. Mereka yang masuk dalam
kategori miskin memliki pendapatan perkapita selama sebulan sebesar Rp 233.740
perkapita tiap bulannya (PBB menetapkan garis kemiskinan $2 perhari sedangkan
Indonesia Rp 7791 perhari, atau samadengan kurang dari $1).
Sedangkan
penduduk yang memiliki pendapatan antara Rp 233.740 hingga Rp 280.488 masuk
dalam kategori penduduk hampir miskin[v]pada Maret 2011 berjumlah 27,12 juta jiwa
atau 11,28% dari total penduduk atau mengalami peningkatan yang pada tahun lalu
berjumlah 22,99 juta atau 9,88%[vi]. Jadi total penduduk miskin dan hampir
miskin sejumlah 53,49 juta jiwa. Dengan demikian bagi calon peserta didik yang
berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki prestasi secara akademik
sudah dapat dipastikan tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Selanjutnya
kita menggunakan variabel pekerjaan yang dikeluarkan oleh BPS periode
Agustus 2011. Menurut BPS secara dominan rakyat Indonesia berprofesi sebagai
petani dan nelayan sebesar 42,8 juta jiwa, lalu diikuti oleh pekerja atau buruh
pabrik dan pertambangan dengan total 14,24 juta jiwa serta masyarakat yang
berwiraswasta sebanyak 22,1 juta jiwa. Dengan jumlah petani dan nelayan sebesar
42,8 juta jiwa atau 33,88% dari total angkatan kerja di Indonesia tentu
merekalah yang secara umum merasakan efek jika RUU PT ini diberlakukan atau
disahkan. Hal ini dikarenakan pendapatan mereka selama sebulan tidak lebih dari
Rp 550.000 – Rp 750.000 perkapita perbulannya.
Dengan
kondisi masyarakat Indonesia dengan jumlah biaya pendidikan tinggi yang
harus dibayarkan (lihat table I) oleh setiap peserta didik. Maka menjadi hal
yang wajar jika tidak semua lulusan atau peserta didik yang telah menyelesaikan
pendidikan tingkat menengah baik SMA, MA atapun SMK melanjutkan ke jenjang
pendidikan tinggi. Hal ini tergambar dari data yang dirilis oleh kementerian
pendidikan dan kebudayaan tentang angka partispasi kasar pendidikan tinggi
sejak tahun ajaran 2003/2004 hingga 2010/2011 dibawah ini :
Tabel I
Aksesibilitas Pendidikan Tinggi[vii]
No
|
Akhir
Tahun Ajaran
|
Jumlah
Lulusan Tingkat
Menengah
|
Melanjutkan
ke PT
|
Tidak
Melanjutkan ke PT
|
Putus
Kuliah
|
Jumlah
Mahasiswa
|
1
|
2003/2004
|
1.799.764
|
1.240.549
(68,93%)
|
559.215
(31,07%)
|
219.335
(6,37%)
|
4.343.288
|
2
|
2004/2005
|
1.831.326
|
976.877
(53,34%)
|
854.449
(46,66%)
|
281.933
(7,86%)
|
3.585.728
|
3
|
2005/2006
|
1.914.584
|
865.802
(45.22%)
|
1.048.802
(54,78%)
|
468.586
(12,79% )
|
3.663.435
|
4
|
2006/2007
|
1.943.378
|
875.695
(45,06%)
|
1.067.683
(54,94%)
|
470.219
(12,52%)
|
3.755.187
|
5
|
2007/2008
|
1.997.150
|
1.224.098
(61,29%)
|
773.053
(38,71%)
|
530.293
(12,12%)
|
4.375.354
|
6
|
2008/2009
|
1.841.531
|
960.652
(52.16%)
|
880.879
(47,83%)
|
-
|
4.281.695
|
7
|
2009/2010
|
1.988.429
|
1.024.379
(51,52%)
|
964.050
(48,48%)
|
-
|
4.337.039
|
8
|
2010/2011
|
2.388.541
|
-
|
-
|
-
|
4.581.351
|
D.
Kontradiksi Normatif Antara RUU Pendidikan Tinggi Dengan Konvenan
Ekosob dan UUD 1945
Kovenan
Ekosob pasal 13 ayat (2) huruf a sampai c, dimana Negara wajib menyediakan
pendidikan secara gratis untuk pendidikan dasar serta pengadaan pendidikan
lanjutan dan pendidikan tinggi cuma-cuma secara bertahap. Dengan demikian,
terdapat dua dimensi kewajiban Negara, yang pertama adalah bahwa kewajiban itu
harus dilakukan dengan melakukan tindakan aktif. Sementara yang kedua, Negara
justru harus pasif dan tidak melakukan intervensi untuk menghormati hak atas
pendidikan itu sendiri. Sehingga, terdapat aspek dimana dibutuhkan campur
tangan dan peran serta aktif Negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan.
Keberlakuan Kovenan Eksosob ini adalah sama dan setara dengan Undang-undang,
sejak diratifikasinya melalui UU No. 11 Tahun 2005. Artinya, semua pasal yang
ada di Kovenan Ekosob bersifat mengikat dan harus dipatuhi layaknya
Undang-undang yang dibuat DPR dan Presiden. Dengan demikian, kewajiban Negara
terhadap penyediaan pendidikan, tidak hanya berhenti pada pendidikan dasar atau
menengah, namun juga pada pendidikan tinggi.
Kewajiban
bagi Negara pihak untuk mengusahakan pendidikan tinggi yang gratis itu jelas
harus dilaksanakan. Dengan kata lain, pemerintah sebagai mebuat kebijakan sama
sekali tidak dapat membentuk kebijakan yang justru menegasikan perannya dalam
penyediaan pendidikan tinggi secara gratis, dan mengalihkan tanggung jawab
pendanaan pendidikan tinggi kepada masyarakat. Sebagaimana disebutkan
dalam The Limburg Priciples on The Implementation of The International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights[viii]kegagalan negara dalam pemenuhan hak atas
pendidikan dapat dikarenakan tindakan aktif (acts of commision) atau
tindakan pasif (acts of ommisison) dimana pelanggaran terjadi ketika negara
tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sehingga hak tersebut tidak
dapat diwujudkan.
Berdasarkan
Panduan Maastricht[ix] (Maastricht Guidliness on Violation
of Economic, Social, and Cultural Rights) kewajiban negara dalam Hak Ekosob
meliputi kewajiban untuk memenuhi, kewajiban untuk melindungi, dan kewajiban
untuk menghormati. Menurut Panduan Maastricht, kegagalan untuk menjalankan satu
atau semua kewajiban tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak-hak EKOSOB.
Namun, amanat yang telah dituangkan oleh Konvenan Ekosob tidaklah
terlihat dari upaya pemerintahan dibawah pimpinan SBY. Hal ini dapat kita
ketahui bersama sejak RUU Pendidikan Tinggi digulirkan pada awal tahun 2011
hingga sekarang, pemerintah tidak memiliki semangat atau upaya secara bertahap
untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang cuma-cuma. Kondisi tergambar dari
tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam RUU Pendidikan Tinggi malah
melahirkan potensi komersialisasi pendidikan yang ditandai dengan mahalnya
biaya pendidikan dengan berbagai macam varian jenis sumbangan yang harus
dibayarkan oleh setiap calon peserta didik. Hal ini dikarenakan pendanaan dan
alokasi untuk pembiayaan dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi baik untuk
PTN dan PTS sangatlah kecil. Apalagi PTS mendapatkan dana dari pemerintah lebih
kecil dari PTN. Dengan demikian, keberadaan RUU Pendidikan Tinggi per 4 april
2012 ini bertentangan dengan Konvenan Internasional yang sudah diratifikasi dan
di Undangkan sendiri oleh SBY sendiri. Inilah watak dari rezim boneka yang
hanya mementingkan kepentingan kapitalis monopoli internasional.
Sedangkan, pelanggaran pun dapat terjadi jika
RUU Pendidikan Tinggi disahkan karena bertentangan dengan UUD
1945. Diksriminasi dalam akses pendidikan yang terpesan secara eksplisit
dalam RUU PendidikanTinggi pada pasal 73 ayat 1, Setiap PTN wajib
menerima calon mahasiswa Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi
tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh
mahasiswa baru yang tersebar pada semua program studi. Sedangkan untuk di
PTS, diserahkan pada mekanisme yang ditetapkan oleh badan penyelenggara yang
bersangkutan seperti yang termuat dalam pasal 72 ayat 6.
Dari pasal 73 ayat 1 tersebut, secara jelas
bahwasanya pemerintah telah melakukan pelanggaran konstitusional. Hal ini
dikarenakan dalam pasal 31 ayat 1 UUD secara tegas menegaskan bahwasanya setiap
warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Namun, dalam pasal yang tercantum
dalam RUU PT tersebut pemerintah telah menegasikan calon peserta didik yang
kurang mampu secara ekonomi dan lemah dalam akademik. Padahal sejatinya
pendidikan merupakan proses pengembangan potensi dan kapabilitas setiap peserta
didik di setiap penyelenggaraan pendidikan. Jika hal tersebut diterapkan mak,
penyelenggaraan pendidikan tinggi tak ubahnya sebuah pabrik yang hanya memilih
bahan-bahan baku yang berkualitas agar outputnya pun berkualitas. Namun, hal
tersebut sekali lagi telah mencederai semangat dari UUD 1945 pasal 31 yang
menginginkan setiap warga negara Indonesia dapat berpartisipasi dalam
pengembangan kebudayaan dan teknologi bangsa dengan mengikuti setiap jenjang
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Terakhir, perihal penyimpangan UUD 1945 pasal 31
ayat 4 tentang tanggung jawab pemerintah dalam membiayai penyelenggaraan
pendidikan. Hal ini termuat dengan pasal 75 ayat 1 huruf c yang menjelaskna
bahwa pemerintah memberikan pinjaman tanpa bunga kepada mahasiswa untuk biaya
pendidikan dan dikembalikan setelah mendapatkan pekerjaan. Upaya tersebut tentu
sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal ayat 4. Padahal senyatanya jika
pemerintah memang konsisten ingin membiayai penyelenggaraan pendidikan
khususnya kepada peserta didik yang sedang menempuh jenjang pendidikan tinggi
harusnya dalam bentuk subsidi secara langsung tanpa harus dikembalikan. Konsep
pemberian pinjaman kepada mahasiswa untuk membayar biaya kuliah
E.
Potensi Komersialisasi di Dalam Tubuh Pendidikan Tinggi
Komersialisasi secara
diksi mengandung makna adanya pertukaran atas kesepakatan (dalam hal
diperdagangkan) untuk menikmati barang atau jasa dengan sejumlah uang atau
barang sebagai pengganti dari pemakaian barang dan jasa. Dengan menggunakan
diksi komersialisasi pada dunia pendidikan di Indonesia tentunya merupakan yang
sangat tepat. Hal ini dikarenakan sekarang untuk menikmati jasa pelayanan
publik seperti pendidikan haruslah memberikan balasan berupa uang atas
pemakaian jasa yang bernama pendidikan.
Dalam RUU Pendidikan Tinggi sangat jelas dan
kentara sekali akan praktek komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Hal
ini ditunjukkan dengan adanya pengikutsertaan masyarakat dalam mendanai
penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia dalam bentuk sumbangan[1]. Selain sumbangan, juga ada SPP, Pratikum
dan biaya-biaya lainnya yang dibayarkan setiap semester yang memiliki tendensi
kenaikan jumlah atau besaran tiap tahunnnya atau tiap ajaran baru.
Dari biaya pendidikan yang harus dibayar oleh
peserta didik yang nominal terbilang cukup besar tentunya akan mempengaruhi
akses masyarakat untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Dengan
keberadaan RUU PT akan semakin melegalkan bentuk, ragam dan besaran nominal
biaya pendidikan yang cukup bahkan sangat memberatkan bagi calon peserta didik
atau orang tua mahasiswa yang ingin mengkuliahkan anak-anaknya. Dengan
demikian, akan semakin memunculkan pola pikir pada masyarakat bahwa perguruan
tinggi hanya untuk golongan masyarakat yang mampu. Serta, melanggengkan
paradigma yang ada dimasyarakat bahwa pendidikan khususnya perguruan tinggi
harus mahal dan masyarakat harus bertanggung jawab untuk mendanai biaya
operasional perguruan tinggi. Hal ini tentunya dengan jumlah peserta didik di
jenjang Perguruan tinggi yang saat ini hanya sebanyak 4,2 juta jiwa. Malah akan
memperbesar jurang akses pendidikan tinggi bagi masayarakat yang tidak mampu
secara ekonomi.
F.
Jalan Keluar Atas Penolakan RUU Pendidikan Tinggi
Sistem
pendidikan nasional merupakan satu kesatuan rangkain penyelenggaraan pendidikan
nasional (pendidikan formal) yang dimulai dari pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak terlepas dengan
penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah. Hal ini dikarenakan
penyelenggaraan pendidikan tinggi merupakan satu kesatuan dari sistem pendidikan
nasional yang tidak bisa dipisahkan secara khusus dalam bentuk jenjang
pendidikan. Dengan mengacu pada UUD 1945 pasal 31 ayat 3 yang mengamanatkan
bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan nasional haruslah dalam satu sistem yang
utuh dan berkesenambungan. Jika RUU Pendidikan Tinggi disahkan maka bukanlah
jawaban atas persoalan-persoalan yang ingin diselesaikan seperti minimnya
partisipasi pendidikan tinggi, pengelolaan perguruan tinggi, sumber dan alokasi
pendanaan serta pembiayaan penyelenggaraan pendidikan tinggi, rendahnya lulusan
perguruan tinggi, minimnya kontribusi pendidikan tinggi terhadap perkembangan
kebudayaan dan teknologi bangsa dan sebagainya.
Namun,
perlu kita sadari bersama keberadaan UU no 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional belumnya mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh bangsa ini. Untuk itu, UU no 20 tahun 2003 perlulah direvisi agar
persoalan-persoalan yang dihadapi secara khusus dalam penyelengaraan pendidikan
tinggi dapat terakomodir dalam satu UU yang juga melingkupi jenjang pendidikan
dasar dan menengah sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sebagai upaya
untuk menyelesaikan persoalan pendidikan secara umum dan komprehensif maka
dalam UU Sisdiknas yang baru harus diperhatikan pada beberapa aspek pendukung
penyelenggaraan pendidikan nasional (dasar hingga tinggi). Aspek tersebut yakni
: a) fasilitas, b) kurikulum, c) sumber dan alokasi pendanaan, d) metode
pembelajaran, e) tenaga pengajar dan karyawan, f) pengelolaan, g)
beban/tanggung jawab masyarakat, h) orientasi, g) perangkat hukum turunan (PP).
Tentunya dalam pelaksanaan revisi atas sistem pendidikan nasional harus mampu
mengedepankan kepentingan nasional dan rakyat yang terbebas dari kepentingan
asing atau dalam hal ini pengaruh dari hasil ratifikasi GATS. Upaya ini
ditujukan agar penyelenggaraan pendidikan tinggi yang diatur dalam UU sisdiknas
yang baru mampu menciptakan tenaga-tenaga ahli yang dapat mengembangkan
kebudayaan dan teknologi bangsa, meningkatkan partisipasi masyarakat, tingginya
kontribusi lulusan perguruan tinggi terhadap masyarakat dan lain-lain.
[1] Sumbangan masuk mulai dilakukan ketika UI, ITB, IPB dan UGM
menjadi PT BHMN. Lalu diikuti oleh PTN-PTN lainnya sejak tahun 2003 hingga
sekarang. Sumbangan biasanya dikenakan kepada orang tua peserta didik ketika
akan mendaftarkan setelah diterima melalui ujian mandiri. Sumbangan ini pula
dilakukan dengan mengkelas-kelaskan seperti tingkat 1 harus membayar Rp 1 juta
– Rp 5 juta, tingkat 2 harus membayar Rp 5 juta hingga 10 juta dan seterusnya.
Namun pada perkembangannya bagi calon peserta didik yang diterima melalui ujian
secara nasional pun dikenakan sumbangan yang serupa atas dasar prinsip
persamaan dan subsidi silang.
[i] Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional, Cet.
I. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Hal, 265.
[v] Penduduk hampir misikin merupakan penduduk yang bisa jatuh
dalam penduduk miskin akibat tidak mampu memenuhi garis kemiskinan yakni pada
periode Maret 2011 sebesar Rp 233.740.
[viii] The Limburg Principles on The Implementation of The
International Covenant on Economic, Social, and Cultural rights”. Human
Quarterly vol 9 (1987). hal 121-135
[ix] Audrey R Chapman. ”Indikator dan Standar Untuk Pemantauan
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya”, Jurnal HAM vol 1 (Oktober 2005) hal 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar