Pendidikan saat ini layaknya pasar cabai,
semakin mahal harganya semakin bagus juga kualitasnya. Pendidikan yang
murah merupakan angan- angan bagi orang- orang kelompok akar rumput (
kelompok pinggiran , miskin), Pendidikan merupakan institusi yang
seharusnya mampu memerdekakan individu dari jerat kebodohan. Jika
dipandang lebih jauh pendidkan merupakan mesin elevator sebagai
mobilisasi strata sosial yang mampu memutus rantai kemiskinan. Ironis
memang ditengah maraknya praktek korupsi yang melanda negeri ini harus
dinodai oleh peran pendidikan yang menghilangkan nilai- nilai kejujuran
seperti kasus keluarga Ibu Siamy, baru- baru ini terkait kasus contekan
masal di SDN Gadel 2 , Surabaya.
Pendidikan yang diharapkan sebagai lokomotif transformasi nilai-
nilai, dan pembentukan norma- norma harus dikecewakan oleh sistem
sekaligus oknum dari pendidikan itu sendiri. Tulisan ini penulis
berpendapat ada beberapa alasan/faktor yang harus dimerdekakan dalam
dunia pendidikan kita , yakni antara lain :
1. Merdekakan Peran Pendidik
Pendidik menampatkan peranya sebagai pengayom yang mengarahkan peserta didik menjadi suri tauladan yang baik, guna memerdekakan dari gelapnya kerusakan moral yang melanda negeri ini. Selain itu pemerintah harus menghilangkan sikap plitisasi terhadap Guru karena selama ini pendidik dijadikan masa kekuatan politik oleh rezim yang berkuasa. sebagai contoh kesejahteraan guru yang berangsur- angsur dimanfaatkan oleh sebagian parpol untuk mendulang dukungan dengan jargon- jargon kampanye ” meningkatkan kesejahteraan Guru”, asumsi ini menguatkan jika kesejahteraan Guru meningkat drastis maka pihak penguasa tidak akan bisa memanfaatkan basis mereka secara maksimal. Selain itu ada pula dengan ancaman mutasi kepada Guru yang PNS, hal inilah yang menimbulkan peran Guru kehilangan haknya dalam berdaulat untuk memilih pemimpinya. Maka seharusnya Pemerintah layaknya memperlakukan pendidikan yang sebagai lembaga yang independen ( mandiri ) dari campur tangan politik.
Pendidik menampatkan peranya sebagai pengayom yang mengarahkan peserta didik menjadi suri tauladan yang baik, guna memerdekakan dari gelapnya kerusakan moral yang melanda negeri ini. Selain itu pemerintah harus menghilangkan sikap plitisasi terhadap Guru karena selama ini pendidik dijadikan masa kekuatan politik oleh rezim yang berkuasa. sebagai contoh kesejahteraan guru yang berangsur- angsur dimanfaatkan oleh sebagian parpol untuk mendulang dukungan dengan jargon- jargon kampanye ” meningkatkan kesejahteraan Guru”, asumsi ini menguatkan jika kesejahteraan Guru meningkat drastis maka pihak penguasa tidak akan bisa memanfaatkan basis mereka secara maksimal. Selain itu ada pula dengan ancaman mutasi kepada Guru yang PNS, hal inilah yang menimbulkan peran Guru kehilangan haknya dalam berdaulat untuk memilih pemimpinya. Maka seharusnya Pemerintah layaknya memperlakukan pendidikan yang sebagai lembaga yang independen ( mandiri ) dari campur tangan politik.
2. Merdekakan Peserta Didik
Peserta didik bukan sebuah proses penjinakan ( Domestikasi), yang memandang individu sebagai binatang buas yang harus dijinakan oleh sang pawang ( Pendidik),Pendidikan semacam ini hanya akan menghasilkan manusia-manusia robot yang serba mekanistis. Menjadikan manusia tak ubahnya seperti burung beo, yang hanya sanggup berkata seperti apa yang diajarkan sang pawang atau menjadikannya seperti bebek, yang selalu mengekor pada yang lain. Tidak mandiri dan sangat miskin kreativitas !
Peserta didik bukan sebuah proses penjinakan ( Domestikasi), yang memandang individu sebagai binatang buas yang harus dijinakan oleh sang pawang ( Pendidik),Pendidikan semacam ini hanya akan menghasilkan manusia-manusia robot yang serba mekanistis. Menjadikan manusia tak ubahnya seperti burung beo, yang hanya sanggup berkata seperti apa yang diajarkan sang pawang atau menjadikannya seperti bebek, yang selalu mengekor pada yang lain. Tidak mandiri dan sangat miskin kreativitas !
Sistem Ujian Nasional ( UN) menurut penulis bukan parameter satu-
satunya untuk meningkatkan kuantitas sekaligus kualitas dunia pendidikan
kita, karena pada kenyatanya UN merupakan sistem yang memenjarakan
norma- norma kejujuran peserta didik sendiri. penulis terinspirasi
dengan sekolah ” Qoriyah Thoyyibah ” yang mengusung pendidikan Liberasi
pemikiran yang disesuaikan dengan minat dan bakat peserta didik sendiri.
Peserta didik selama ini dicekcoki dengan tuntutan kurikulum negara
yang belum tentu mampu difahami oleh peserta didik.
3. Merdekakan Dunia persekolahan
sistem persekolahan menurut penulis harus di merdekakan, hilangkan diskriminasi antara sekolah Negeri dan swasta. sekolah swasta yang disibukan mencari peserta didik juga disibukan mencari kucuran dana demi eksistensi sekolah tersebut, dan lebih konyol lagi jika sekolah Negeri biaya masuknya lebih mahal dibandingkan sekolah swasta. Kucuran 20% dari APBN harus dilihat berdasarkan fakta- fakta yang ada di lapangan, apakah anggran tersebut merupakan hanya data statistik yang membohongi publik agar senang bahwa pemerintah konsern dalam dunia pendidikan ataukah angka tersebut sudah sesuai dengan kondidi lapangan yang sebenarnya (silahkan dikroscek).
sistem persekolahan menurut penulis harus di merdekakan, hilangkan diskriminasi antara sekolah Negeri dan swasta. sekolah swasta yang disibukan mencari peserta didik juga disibukan mencari kucuran dana demi eksistensi sekolah tersebut, dan lebih konyol lagi jika sekolah Negeri biaya masuknya lebih mahal dibandingkan sekolah swasta. Kucuran 20% dari APBN harus dilihat berdasarkan fakta- fakta yang ada di lapangan, apakah anggran tersebut merupakan hanya data statistik yang membohongi publik agar senang bahwa pemerintah konsern dalam dunia pendidikan ataukah angka tersebut sudah sesuai dengan kondidi lapangan yang sebenarnya (silahkan dikroscek).
Peran Ujian Nasional ( UN) pada dasarnya tidak memerdekakan sekolah
itu sendiri yang dihadapkan pada tuntutan negara dengan kondisi
ketercapaian yang jauh apa yang diinginkan, berbagai pemerintahan daerah
dari lingkup Kabupaten/ Kota madya sampai lingkup Provinsi berlomba-
lomba untuk berfikir ekstra agar daerah menjadi no:1 dalam angka
kelulusan UN, sehingga dengan cara apapun dilakukan. Rekaya data – data
UN bila dihadapkan pada kondisi kenyataan yang ada maka akan munculah
sikap munafik , disatu sisi Pemda harus mengakui bahwa itu bertentangan
dengan hati nurani tapi disisi lain merasa iba jika kejujuran berdampak
pada hilangnya kredibelitas dengan angka ststistik kelulusan UN yang
rendah. Hal ini wajar jika pihak Guru mewajibkan adanya praktek contekan
masal sebagai alternatif ketidak berdayaan ( kasus yang menimpa SD
gadel 2, surabaya) sebagai paksaan atas kebijakan pemerintah daerah.
Sistem Ujian Akhir semester dan Ujian Nasional , menurut hemat
penulis lebih baiknya diberikan otoritas terhadap sekolah bersangkutan,
mulai dari pembuatan soal sekaligus penguman hasil kelulusan yang
ditentukan oleh pihak sekolah sendiri,pada dasarnya sekolah bersangkutan
lebih memahami situasi dan kondisi anak didiknya. yang menjadi renungan
penulis apakah sistem UAS dan UN harus mengacu kepada pemerintah itu
merepukan lahan bisnis? agar sekolah- sekolah membeli paket soal dari
pemerintah, dengan mengambil keuntungan darinya? selain itu penyeragaman
seragam anak didik yang dilakukan sekolah berdalih untuk
menghilangkatkan sekat antara yang kaya dan yang miskin, harusnya kita
analisis terlebih dahulu karena pihak sekolahpun banyak melakukan
hubungan kerjasama dengan pabrik sepatu, seragam merah- putih, baju
batik yang dimonopoli oleh sekolah, bukankah ini termasuk bentuk
kapitalisme pendidikan?
Penulis menyadari akan kekurangan dari tulisan ini, akan tetapi
penulis berkesimpulan bahwa jika pendidikan dalam kajian Sosiologi –
antropologi Pendidikan dijadikan sebagai penanaman idiologi bangsa ,
maka respon terhadap itu pemerintah dan elemen masyarakat yang ada
didalamnya harus menjalankan apa yang menjadi falsafah bangsa ini
berdasarkan pembukaan UUD 1945. Jika bangsa ini sudah mengadopsi model
Demokrasi sebagai hajat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
nampaknya pendidikan kita bertipologi Demokrasi belah bambu, ilustrasi
itu menggambarkan jika bagian atas bambu dibelah maka bagian atasnya
tidak akan sama dengan bagian bawahnya (kesenjangan), atau dalam kata
lain bagian bawahnya ditekan keras. Seharusnya jika kita menginginkan
adanya Demokratisasi pendidikan maka diperlukan Demokarsi akar rumput
(kelas bawah ). pemerintah harus konsern antara pilihan aspek ekonomi
atau lebih menekankan pada aspek pendidikan, AS sebagai negara adidaya
lebih konsern kepada sistem penguatan ekonominya, Jepang menguatkan
sistem pendidikan, sedangkan Indonesia seperti analogi pertanyaan ”
duluan mana antara telor (ekonomi) dengan ayam
(Pendidikan). Permasalahan yang ada ssat ini bukan semata – mata peran
pemerintah tetapi merupakan tanggung jawab dari semua elemen bangsa yang
mendobrak tradisi pendidikan kita dari wacana ” kapitalisme pendidikan
antara Kompetisi atau ketidak adilan” bahkan politisasi pendidikan guna
kepentingan penguasa.
Wallahu’llam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar