Kamis, 14 Juni 2012

Memerdekakan Pendidikan

Pendidikan saat ini layaknya pasar cabai, semakin mahal harganya semakin bagus juga kualitasnya. Pendidikan yang murah merupakan angan- angan bagi orang- orang kelompok akar rumput ( kelompok pinggiran , miskin), Pendidikan merupakan institusi yang seharusnya mampu memerdekakan individu dari jerat kebodohan. Jika dipandang lebih jauh pendidkan merupakan mesin elevator sebagai mobilisasi strata sosial yang mampu memutus rantai kemiskinan. Ironis memang ditengah maraknya praktek korupsi yang melanda negeri ini harus dinodai oleh peran pendidikan yang menghilangkan nilai- nilai kejujuran seperti kasus keluarga Ibu Siamy, baru- baru ini terkait kasus contekan masal di SDN Gadel 2 , Surabaya.
Pendidikan yang diharapkan sebagai lokomotif transformasi nilai- nilai, dan pembentukan norma- norma harus dikecewakan oleh sistem sekaligus oknum dari pendidikan itu sendiri. Tulisan ini penulis berpendapat ada beberapa alasan/faktor yang harus dimerdekakan dalam dunia pendidikan kita , yakni antara lain :
1. Merdekakan Peran Pendidik
Pendidik menampatkan peranya sebagai pengayom yang mengarahkan peserta didik menjadi suri tauladan yang baik, guna memerdekakan dari gelapnya kerusakan moral yang melanda negeri ini. Selain itu pemerintah harus menghilangkan sikap plitisasi terhadap Guru karena selama ini pendidik dijadikan masa kekuatan politik oleh rezim yang berkuasa. sebagai contoh kesejahteraan guru yang berangsur- angsur dimanfaatkan oleh sebagian parpol untuk mendulang dukungan dengan jargon- jargon kampanye ” meningkatkan kesejahteraan Guru”, asumsi ini menguatkan jika kesejahteraan Guru meningkat drastis maka pihak penguasa tidak akan bisa memanfaatkan basis mereka secara maksimal. Selain itu ada pula dengan ancaman mutasi kepada Guru yang PNS, hal inilah yang menimbulkan peran Guru kehilangan haknya dalam berdaulat untuk memilih pemimpinya. Maka seharusnya Pemerintah layaknya memperlakukan pendidikan yang sebagai lembaga yang independen ( mandiri ) dari campur tangan politik.
2. Merdekakan Peserta Didik
Peserta didik bukan sebuah proses penjinakan ( Domestikasi), yang memandang individu sebagai binatang buas yang harus dijinakan oleh sang pawang ( Pendidik),Pendidikan semacam ini hanya akan menghasilkan manusia-manusia robot yang serba mekanistis. Menjadikan manusia tak ubahnya seperti burung beo, yang hanya sanggup berkata seperti apa yang diajarkan sang pawang atau menjadikannya seperti bebek, yang selalu mengekor pada yang lain. Tidak mandiri dan sangat miskin kreativitas !
Sistem Ujian Nasional ( UN) menurut penulis bukan parameter satu- satunya untuk meningkatkan kuantitas sekaligus kualitas dunia pendidikan kita, karena pada kenyatanya UN merupakan sistem yang memenjarakan norma- norma kejujuran peserta didik sendiri. penulis terinspirasi dengan sekolah ” Qoriyah Thoyyibah ” yang mengusung pendidikan Liberasi pemikiran yang disesuaikan dengan minat dan bakat peserta didik sendiri. Peserta didik selama ini dicekcoki dengan tuntutan kurikulum negara yang belum tentu mampu difahami oleh peserta didik.
3. Merdekakan Dunia persekolahan
sistem persekolahan menurut penulis harus di merdekakan, hilangkan diskriminasi antara sekolah Negeri dan swasta. sekolah swasta yang disibukan mencari peserta didik juga disibukan mencari kucuran dana demi eksistensi sekolah tersebut, dan lebih konyol lagi jika sekolah Negeri biaya masuknya lebih mahal dibandingkan sekolah swasta. Kucuran 20% dari APBN harus dilihat berdasarkan fakta- fakta yang ada di lapangan, apakah anggran tersebut merupakan hanya data statistik yang membohongi publik agar senang bahwa pemerintah konsern dalam dunia pendidikan ataukah angka tersebut sudah sesuai dengan kondidi lapangan yang sebenarnya (silahkan dikroscek).
Peran Ujian Nasional ( UN) pada dasarnya tidak memerdekakan sekolah itu sendiri yang dihadapkan pada tuntutan negara dengan kondisi ketercapaian yang jauh apa yang diinginkan, berbagai pemerintahan daerah dari lingkup Kabupaten/ Kota madya sampai lingkup Provinsi berlomba- lomba untuk berfikir ekstra agar daerah menjadi no:1 dalam angka kelulusan UN, sehingga dengan cara apapun dilakukan. Rekaya data – data UN bila dihadapkan pada kondisi kenyataan yang ada maka akan munculah sikap munafik , disatu sisi Pemda harus mengakui bahwa itu bertentangan dengan hati nurani tapi disisi lain merasa iba jika kejujuran berdampak pada hilangnya kredibelitas dengan angka ststistik kelulusan UN yang rendah. Hal ini wajar jika pihak Guru mewajibkan adanya praktek contekan masal sebagai alternatif ketidak berdayaan ( kasus yang menimpa SD gadel 2, surabaya) sebagai paksaan atas kebijakan pemerintah daerah.
Sistem Ujian Akhir semester dan Ujian Nasional , menurut hemat penulis lebih baiknya diberikan otoritas terhadap sekolah bersangkutan, mulai dari pembuatan soal sekaligus penguman hasil kelulusan yang ditentukan oleh pihak sekolah sendiri,pada dasarnya sekolah bersangkutan lebih memahami situasi dan kondisi anak didiknya. yang menjadi renungan penulis apakah sistem UAS dan UN harus mengacu kepada pemerintah itu merepukan lahan bisnis? agar sekolah- sekolah membeli paket soal dari pemerintah, dengan mengambil keuntungan darinya? selain itu penyeragaman seragam anak didik yang dilakukan sekolah berdalih untuk menghilangkatkan sekat antara yang kaya dan yang miskin, harusnya kita analisis terlebih dahulu karena pihak sekolahpun banyak melakukan hubungan kerjasama dengan pabrik sepatu, seragam merah- putih, baju batik yang dimonopoli oleh sekolah, bukankah ini termasuk bentuk kapitalisme pendidikan?
Penulis menyadari akan kekurangan dari tulisan ini, akan tetapi penulis berkesimpulan bahwa jika pendidikan dalam kajian Sosiologi – antropologi Pendidikan dijadikan sebagai penanaman idiologi bangsa , maka respon terhadap itu pemerintah dan elemen masyarakat yang ada didalamnya harus menjalankan apa yang menjadi falsafah bangsa ini berdasarkan pembukaan UUD 1945. Jika bangsa ini sudah mengadopsi model Demokrasi sebagai hajat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara nampaknya pendidikan kita bertipologi Demokrasi belah bambu, ilustrasi itu menggambarkan jika bagian atas bambu dibelah maka bagian atasnya tidak akan sama dengan bagian bawahnya (kesenjangan), atau dalam kata lain bagian bawahnya ditekan keras. Seharusnya jika kita menginginkan adanya Demokratisasi pendidikan maka diperlukan Demokarsi akar rumput (kelas bawah ). pemerintah harus konsern antara pilihan aspek ekonomi atau lebih menekankan pada aspek pendidikan, AS sebagai negara adidaya lebih konsern kepada sistem penguatan ekonominya, Jepang menguatkan sistem pendidikan, sedangkan Indonesia seperti analogi pertanyaan ” duluan mana antara telor (ekonomi) dengan ayam (Pendidikan). Permasalahan yang ada ssat ini bukan semata – mata peran pemerintah tetapi merupakan tanggung jawab dari semua elemen bangsa yang mendobrak tradisi pendidikan kita dari wacana ” kapitalisme pendidikan antara Kompetisi atau ketidak adilan” bahkan politisasi pendidikan guna kepentingan penguasa.
Wallahu’llam bishowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar