Jumat, 29 Juni 2012

‘Transmigrasi Ilmu’: Dari Dunia Islam ke Eropa



Hampir setiap orang kenal – meski hanya lewat buku pelajaran di sekolah – siapa Robert Boyle (1691), Isaac Newton (1727) atau Charles Darwin (1882). Mereka adalah saintis-saintis asal England yang namanya cukup akrab di telinga kita. Tetapi coba kita perhatikan angka-angka yang menunjuk tahun kematian mereka, niscaya timbul pertanyaan: Apakah yang dikerjakan oleh orang-orang Inggris sebelum tahun 1600? Apakah penduduk Britania sebelum abad itu tahunya cuma berburu dan berkelahi seperti halnya bangsa-bangsa barbariklain di Eropa? Dalam sepucuk surat yang ditulisnya untuk Robert Hooke sahabat karibnya, Newton sempat menyadari bahwa “ If I have seen further, it is by standing on [the] shoulders of giants. Jika aku dapat melihat lebih jauh maka hal itu lantaran aku berdiri di atas pundak para raksasa.” 
Pernyataan ini patut mengingatkan kita bahwa saintis tidak muncul tiba-tiba dari langit biru. Para saintis belajar dari apa yang diwariskan oleh para pendahulunya. Mereka mewarisi para ilmuwan terdahulu. Kalau sebelum Newton ada Galileo Galilei (1642) dari Italia dan Nicolas Copernicus (1543) asal Polandia, dua tokoh yang kerap disebut sebagai pelopor sains modern, maka patut ditanya siapakah saintis-saintis yang giat menggarap penelitian, melakukan temuan-temuan dan terobosan kreatif-inovatif pada abad-abad sebelumnya? Sedikit sekali di antara kita yang tahu ternyata Kepler dan Copernicus itu terinspirasi oleh al-Battani yang kitabnya diterjemahkan ke bahasa Latin dengan judulDe scientia stellarum.
            Jawaban yang kerap kita dengar umumnya terkesan naïf dan distortif: bangsa Eropa memang sudah hebat ‘dari sononya’ –bermula sejak zaman Yunani kuno hingga runtuhnya imperium Romawi pada abad ke-5 Masehi diteruskan dengan ‘tidur panjang’ ratusan tahun lamanya sampai terbitnya cahaya Islam mengakhiri apa yang mereka sebut sebagai Zaman Kegelapan. Soal adanya ‘mata-rantai yang hilang’ dalam rentetan sejarah keilmuan yang mencakup filsafat, sains, dan teknologi ini belakangan mulai banyak disadari. Hal ini telah ditegaskan antara lain oleh Michael H. Morgan: “Most Westerners have been taught that the greatness of the West has its intellectual roots in Greece and Rome, and that after the thousand-year sleep of the Dark Ages, Europe miraculously reawakened to its Greco-Roman roots.” Tetapi pada saat yang sama terdapat upaya untuk menenggelamkan fakta sejarah ini oleh segelintir orang seperti Sylvain Gouguenheim yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu.


Dari Alexandria ke Baghdad
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa warisan intelektual Yunani kuno dalam pelbagai cabang ilmu telah dipelihara dan dikembangkan oleh orang-orang Islam. Seiring dengan sukses mereka menyebarkan Islam ke seluruh jazirah Arabia, Afrika Utara (Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Marokko), Syria, Palestina, Mesopotamia (Irak), Persia (Iran), Transoxiana (Asia Tengah), semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal) dan terakhir India, kaum Muslim terdorong mempelajari dan memahami tradisi intelektual negeri-negeri yang ditaklukkannya. Mulailah diterjemahkan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, Syria.
Akselerasi terjadi setelah tahun 750 M, menyusul berdirinya Daulat ‘Abbāsiyyah di Baghdad. Seperti dinasti sebelumnya, penguasa ‘Abbasiyah banyak merekrut kaum terpelajar setempat sebagai pegawai dan staf ahli. Sebutlah, misalnya, Ibn al-Muqaffa‘ (w. 759 M) dan Yahyā ibn Khālid ibn Barmak (w. 803 M), cendekiawan dan politisi keturunan Persia yang diangkat jadi menteri pada masa itu. Lalu pada zaman pemerintahan Khalifah al-Ma’mūn (w. 833 M) digaraplah proyek penerjemahan, riset dan pengembangan secara massif. Ia mendirikan sebuah research centre dan perpustakaan yang dinamakan Bayt al-Hikmah. Di antara mereka yang aktif sebagai penerjemah dan peneliti tersebutlah nama-nama semisal Hunayn ibn Ishāq dan anaknya Ishāq ibn Hunayn, Abu Bishr Mattā ibn Yūnus, dan Yahyā ibn ‘Adī. Di akhir abad ke-9 M, hampir seluruh korpus saintifik Yunani telah berhasil dialihbahasakan ke Arab, meliputi pelbagai bidang ilmu, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi dan kimia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar