Sabtu, 21 Juli 2012

Gerakan Mahasiswa di Persimpangan Jalan

Sebagai sebuah kekuatan politik, gerakan organisasi kemahasiswaan masih memiliki legitimasi moral yang kuat. Sayangnya, meskipun harapan tinggi masih diletakkan ke pundak mahasiswa, ada kecenderungan gerakan politik mahasiswa kian melempem dalam menanggapi berbagai permasalahan riil bangsa saat ini. Mantan Ketua MPR Amien Rais yang pernah menjadi ikon gerakan Reformasi 1998, dalam seminar mahasiswa akhir 2005, menilai, gerakan mahasiswa pasca kejatuhan Soeharto telah berubah. Gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat, kini seperti ”mati suri”. Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme (Kompas, 19-12-2005).

Terlepas dari benar atau tidaknya sinyalemen Amien, pandangan yang sama agaknya kini juga dirasakan publik. Separuh bagian (50 persen) responden jajak pendapat menilai peranan mahasiswa dalam menyikapi berbagai kondisi bangsa semakin turun, meski 45,4 persen responden berpendapat sebaliknya. Kiprah gerakan politik mahasiswa yang sebelumnya bersemangat menyuarakan reformasi semakin sayup terdengar. Setelah rezim Soeharto tumbang, praktis tidak tampak lagi kebersamaan kaum muda memelihara hasil reformasi.

Meskipun dari segi nilai politik gerakan yang dilakukan mahasiswa penting sebagai penyeimbang kekuatan politik negara, aksi yang dilakukan dalam menyikapi kebijakan pemerintah tidak lagi memiliki kekuatan signifikan. Seandainya ada, relatif dilakukan terpecah-pecah dan tidak ada gerakan terpadu. Dalam pandangan sebagian responden (43persen), kondisi demikian digambarkan sebagai gerakan politik yang terkotak dalam politik aliran tertentu. Akibatnya, berbagai kebijakan publik yang semestinya mendapat kontrol ketat bisa lolos dengan relatif mulus. Kenaikan harga BBM, kenaikan tunjangan anggota DPR, gagalnya usulan hak angket dan interpelasi DPR merupakan contoh mandulnya kontrol kebijakan lewat jalur birokrasi dan parlemen. Jalur kontrol kebijakan publik melalui birokrasi dan parlemen sulit diandalkan. Sementara kontrol ekstra parlementer pun terkesan melempem.

Harapan terhadap revitalisasi peranan mahasiswa melalui organisasi kemahasiswaan tercermin dari ketidakpuasan publik yang membesar terhadap kiprah mahasiswa. Demikian juga sikap kritis gerakan politik mahasiswa dalam menyikapi kinerja pemerintah, DPR, maupun lembaga penegak hukum, digugat sekitar seperempat bagian responden (22-27 persen). Besarnya proporsi sikap kurang puas responden dalam menilai gerakan organisasi mahasiswa, meski tidak dominan, bermakna signifikan mengingat citra dan apresiasi gerakan mahasiswa selama ini mendapat nilai positif yang tinggi dari masyarakat. Sebanyak 71,2 persen responden masih menilai citra organisasi mahasiswa baik dan 21 persen menilai buruk. Sementara itu, organisasi mahasiswa yang pada masa lalu telah turut memainkan peranan penting dalam sejarah perubahan kondisi bangsa ini, juga semakin tidak terdengar. Penilaian kepuasan terhadap Himpunan Mahasiswa Islam, Pergerakan Mahasiswa IslamIndonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Jabotabek misalnya, hanya sedikit di atas proporsi responden yang tidak puas. Sementara kiprah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia maupun kelompok aktivis tahun 1998 seperti Forum Kota bahkan cenderung dinilai lebih tidak memuaskan dalam kiprah politik mereka saat ini. Relatif besarnya jumlah responden yang mengatakan tidak tahu mengenai gerakan mereka, menunjukkan kian tak terdengarnya kiprah mereka di panggung sosial politik. Boleh jadi, faktor pengenalan terhadap organisasi mahasiswa turut memengaruhi penilaian. Namun, merunut hasil jajak pendapat mahasiswa sebelumnya (September 2003), jelas terlihat benang merah penurunan kiprah mahasiswa di mata publik. Saat itu, rentang kepuasan masih cukup lebar: 57 persen responden menilai kiprah mahasiswa lebih baik dan sama baik dibandingkan di saat reformasi, sementara sekitar 37 persen lainnya menilai kiprah mahasiswa lebih buruk dan sama buruk. Tak bisa dimungkiri, harapan yang ditumpukan kepada mahasiswa sebagai kekuatan pengubah dan pembaru tak lepas dari peranan mahasiswa dalam setiap momen penting bangsa ini. Sejak masa kemerdekaan, Orde Lama hingga Reformasi, gerakan mahasiswa senantiasa memberi ide persatuan nasional, sikap kritis terhadap kekuasaan yang menindas, dan keberpihakan yang tegas kepada kepentingan rakyat. Di sisi internal mahasiswa, menurunnya persatuan gerakan mahasiswa (dan pemuda) setelah tumbangnya Orde Baru membuktikan sulitnya institusi kepemudaan dan mahasiswa bersatu dalam menghadapi persoalan masyarakat yang lebih riil. Penonjolan kepentingan dan visi kelompok senantiasa muncul bagaikan duri dalam daging dari sejarah pergerakan politik mahasiswa. Demikian juga potret saat ini, di tengah ”mati suri”aksi mahasiswa, sebagian responden (40,2 persen) menilai gerakan mahasiswa masih didominasi kepentingan dan visi kelompok. Persoalan berikutnya terkait kompetensi intelektual mahasiswa sebagai kelompok yang masih harus menekuni studi keilmuannya dan mengejar prestasi. 

Sejauh ini peranan organisasi mahasiswa dinilai kurang menyentuh dimensi intelektualitas ketimbang dimensi sosial dan politik. Hanya 52,8 persen responden yang memberi apresiasi terhadap peran organisasi mahasiswa mengembangkan intelektualitas dibandingkan peran dalam sosial kemasyarakatan (61,2 persen) dan peran dalam gerakan politik (64 persen). Kompetensi menjadi berarti, karena pada gilirannya mahasiswa dituntut mampu bersaing dalam pasar kerja dan hidup mandiri. Opini dari jajak pendapat September 2003 memperlihatkan pesimisme publik memandang tingkat kompetensi dan kemandirian mahasiswa masa kini. Lebih banyak responden yang sependapat bahwa mahasiswa kurang mandiri (48 persen, dibanding 44 persen yang mengatakan sudah mandiri); tidak bisa bersaing dengan mahasiswa luar negeri (48 persen dibanding 48 persen yang berpendapat sebaliknya), dan akhirnya tidak bisa turut menciptakan lapangan kerja (50 persen dibanding 46 persen yang mengatakan sebaliknya). Minimnya kompetensi intelektual diperparah dengan sikap sebagian mahasiswa yang terlibat dalam tawuran di kampus, penyalahgunaan narkotika, maupun gaya hidup asosial dan hura-hura.


Kemurnian gerakan mahasiswa sering menjadi pertanyaan, apakah aktivitas di dalam gerakan organisasi mahasiswa murni didasarkan keinginan melakukan perubahan kondisi yang lebih baik, ataukah sekadar sebagai batu loncatan meraih kekuasaan atau kedekatan politik dengan pusat kekuasaan. Fenomena aktivis mahasiswa ’98 yang menjadi caleg pada Pemilu 2004 menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi publik percaya mereka memiliki idealisme dan komitmen membela rakyat, sehingga mampu memperbaiki sistem dari dalam. Namun di sisi lain, kondisi tersebut rawan godaan dan iming-iming materi yang mengaburkan komitmen awal mereka. Seperti sinyalemen Amien Rais, gerakan mahasiswa masa kini pasif, karena manusianya sedang dibelenggu kenyamanan hidup.




Sumber : Kompas, 6 Februari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar