Selasa, 24 Juli 2012

Mathlaul Anwar Inspirator Modernisasi Pendidikan di Banten.



Pada pertengahan abad XIX, seiring makin banyaknya orang-orang nusantara dikenal dengan orang Jawi- yang pergi ke Mekkah, jamaah haji dari Banten menempati jumlah paling banyak.[1] Orang-orang Banten yang bermukim di Mekkah juga merupakan kelompok yang paling terkemuka di antara orang-orang Asia Tenggara lainnya,[2] di antara mereka yang paling menonjol adalah Syekh Nawawi al-Bantani.[3]  Kuatnya penduduk Banten terhadap ajaran Islam ini juga dikarenakan unsur-unsur yang membentuk kebudayaan mereka hampir tidak terdapat unsur peradaban Hindu.[4] Dalam  kenyataannya, pengaruh unsur Islam sangat menonjol, sehingga kadar sinkretisme Islam tidak kelihatan dibandingkan daerah- daerah yang telah begitu kuat pengaruh Hindu-Budha sebelumnya.[5] Dapatlah dimaklumi bahwa agama Islam mempunyai pengaruh yang mendalam dalam kehidupan penduduk daerah tersebut. Terjadinya Revolusi Banten pada tahun 1888 dan 1926 juga tidak terlepas dari dorongan semangat keagamaan. Gerakan-gerakan tersebut banyak melibatkan para ulama yang merasa diganggu keberagamaannya oleh pemerintah kolonial. Tidak kurang dari 43 haji dan 90 guru agama yang terlibat dalam pemberontakan 1888 itu.16 Sementara pada 1926, sekitar 27 haji dan 11 guru agama dari 99 tahanan yang dibuang ke Boven Digul.17
Selain karena tradisi menjalin hubungan dengan pusat ajaran Islam yang telah giat dilakukan sejak masa-masa awal kesultanan Banten, kesadaran keagamaan yang kuat terhadap ajaran Islam ini juga tentu tidak terlepas dari proses pendidikan yang dilaksanakan oleh para penyebar Islam. Mereka secara intens menanamkan ajaran-ajaran Islam kepada penduduk Banten hingga melahirkan orang-orang Banten yang disebut oleh pemerintah kolonial sebagai fanatik, atau menurut lafal Bantennya, orang panatik. Pendidikan tersebut dilaksanakan di lembaga-lembaga seperti langgar, masjid, pesantren atau di rumah-rumah seorang tokoh agama. Sedangkan lembaga pendidikan yang disebut madrasah tidak dikenal hingga dekade pertama awal abad XX.
Pada awal abad tersebut, pemerintah kolonial Belanda telah sepenuhnya menguasai seluruh daerah yang disebut Hindia Belanda.[6] Administrasi birokrasi yang sebelumnya berada di tangan raja-raja lokal, kini telah terpusat pada pemerintahan Hindia Belanda. Pada saat inilah, kolonial Belanda meluncurkan Program Politik Etis-nya. Politik Etis ini kelak sangat menentukan kehidupan sosial keagamaan penduduk Banten, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan Islamnya. Melalui Politik Etis ini pemerintah mengharapkan terjadinya masyarakat pribumi yang cepat dari pola statik, pola Asia, kepada suatu pola Barat di bawah pengayoman Belanda.[7] Namun di sisi lain, selain sasaran transparan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di koloni, pada saat yang sama orang-orang Belanda menyembunyikan kepentingan terselubungnya. Meskipun kebijakan tersebut tidak secara terang-terangan dimaksudkan untuk mempromosikan cita- cita Kristiani, namun fakta menunjukkan bahwa korelasi keduanya sangat kuat. Berbagai subsidi terhadap sekolah dan lembaga misi, kini mulai diberikan secara terang-terangan.[8]
Pesantren yang menjadi basis pendidikan agama masyarakat muslim tidak mendapatkan perhatian sama sekali.[9] Pemerintah berargumen bahwa hal itu dilakukan untuk menjaga netralitas terhadap agama apapun sebagaimana secara formal tertuang dalam konstitusi Belanda tahun 1855 dan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1871. Akan tetapi klaim tersebut tidak benar, karena pada saat yang sama pemerintah membantu pembangunan sekolah teologi Kristen.[10]
Di Banten, pendidikan dengan sistem modern yang didirikan oleh kolonial baru dibuka pada tahun 1910.25 Keterlambatan
pendirian ini mengakibatkan jumlah anak-anak Banten yang masuk ke dalam sistem persekolahan ini adalah jumlah yang paling rendah di seluruh Jawa.[11] Penyebab lainnya adalah rasa enggan yang mengidap di masyarakat Banten untuk memasukkan anak- anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Dalam pandangannya, menyekolahkan anak-anaknya ke sekolahan yang didirikan oleh kaum kafir itu adalah haram, atau setidaknya tidak dianjurkan dalam Islam.[12]Lebih dari itu, rasa kebencian yang sangat mendalam karena banyak saudaranya yang dihukum gantung, dipenjara atau dibuang setelah peristiwa heroik pada tahun 1888 itu. Sehingga apapun yang berkaitan dengan kolonial, mereka menjadi sangat resisten terhadapnya. Kekhawatiran akan dimurtadkan apabila anak-anaknya dimasukkan ke dalam persekolahan kolonial juga ikut mempertebal rasa enggan tersebut.
Dengan demikian, lembaga pendidikan Islamlah yang menjadi pilihan utama orang tua dalam mendidik anak-anaknya pada saat itu. Namun di sisi lain, pendidikan Islam sudah saatnya untuk menawarkan pola pendidikan yang lebih maju, baik dalam hal kelembagaan, struktur materi, maupun metodenya, sehingga dapat mengimbangi sekolah-sekolah ala Belanda. Oleh karena itu, tulisan ini akan coba menelusuri perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam yang berkembang di masa awal abad XX. Pertanyaan yang akan dicari jawabannya dalam tulisan ini adalah, sejak kapan gerakan pembaharuan pendidikan Islam berlangsung di daerah Banten dan dengan cara bagaimana proses pembaharuan pendidikan Islam dilaksanakan? Pertanyaan-pertanyaan historis di atas tentu saja didasarkan pada sebuah fakta bahwa, sama seperti di daerah lainnya di Indonesia, Banten menjadi salah satu tempat terjadinya gerakan pembaharuan pendidikan Islam, hanya saja mungkin dengan cara yang agak berbeda dengan yang terjadi di tempat lain dan waktu dimulainya gerakan pembaharuan tersebut.
Latar belakang pembaharuan pendidikan Islam di Banten tidak jauh berbeda dengan di tempat-tempat lain di Indonesa. Kendati demikian, Banten memiliki keunikan tersendiri dibandingkan di tempat-tempat lain di Indonesia. Sebagaimana William katakan, Banten yang telah memiliki akar tradisi ketaatan kepada ajaran Islam yang sangat panjang itu, merasa kesulitan untuk menerima ide-ide modernisme. Karena menurut pandangannya, mendukung ide-ide tersebut sama dengan mengakomodasi Belanda yang sedang mereka benci. Ketika angin pembaharuan menerpa hampir di seluruh daerah di nusantara pada awal-awal abad itu, Banten baru menerimanya pada tahun-tahun 1920-an.55
Steenbrink menggambarkan bahwa awal abad XX, telah terjadi apa yang disebut sebagai kebangkitan, pembaharuan (renaissance) atau bahkan pencerahan.[13] Bagi tokoh-tokoh pembaharu, pendidikan kiranya senantiasa sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Dari pandangan seperti inilah terwujud lembaga pendidikan Islam baru yang dinamakan madrasah.[14] Di samping itu, kenyataan makin merakyat sekolah-sekolah sekuler kolonial Belanda dan sikap diskriminatif dari pemerintah terhadap rakyat pribumi, juga ikut mendorong lahirnya lembaga pendidikan madrasah ini.58 Sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan penting yang menentukan masa depan pendidikan di nusantara ini. Kebijakan tersebut adalah Politik Etis (Etische Politiek).
Inti dari kebijakan ini adalah emansipasi bangsa Indonesia secara berangsur-angsur. [15]Dari sinilah kemudian lembagalembaga pendidikan dengan sistem Barat diperkenalkan sampai ke lapisan golongan bawah, yang sebelumnya hanya dinikmati secara eksklusif dari kelompok-kelompok terpilih menurut ukuran Belanda. Berdasarkan kenyataan ini umat Islam meresponnya dengan melakukan sintesa antara lembaga pendidikan pesantren dengan persekolahan Belanda sehingga melahirkan bentuk lembaga pendidikan Islam madrasah. Tambahan pula, kelahiran madrasah tersebut dimaksudkan untuk menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen.62 Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dipersepsikan sebagai pemerintahan Kristen. Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh pemerintah kolonial, sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan.
Harus diakui bahwa kiprah Mathla'ul Anwar sebagai sebuah gerakan Islam yang dikenal berorientasi pembaruan yang lahir pada tahun 1916 Masehi patut diapresiasi atas jasa dan kontribusinya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia di berbagai bidang kehidupan masyarakat seperti bidang dakwah, sosial, pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya.Mathla'ul Anwar merupakan lembaga pendidikan klasikal pertama di Banten yang didirikan pada tahun 1334 H/1916 M di Menes, Pandeglang, Banten, dengan dasar Islam. Sementara tujuan didirikan Mathla'ul Anwar adalah terwujudnya pendidikan dan ajaran Islam di kalangan umat dan masyarakat Islam. Adapun tujuan didirikannya Mathla'ul Anwar ini adalah agar ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk menghimpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam, mendirikan madrasah, memelihara pondok pesantren dan menyelenggarakan tablig ke berbagai penjuru tanah air yang pada saat itu masih dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Pemerintah kolonial telah membiarkan rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.
Mathla'ul Anwar adalah sebuah organisasi masyarakat yang berorientasi pada pendidikan dan dakwah. Berdiri pada 10 Ramadhan 1334H/10 Juli 1916 di Kampung Kananga, Menes, Didirikan oleh KH Mas Abdurrahman bin KH Mas Jamal bersama beberapa kiyai lainnya, antara lain: KH Tubagus Muhammad Sholeh, KH Entol Muhammad Yasin, Kiai Tegal, KH Abdul Mu'thi, Kiyai Soleman Cibinglu, KH Daud, Kiai Rusydi, Kiya Entol Danawi, dan KH Mustaghfiri. Ialah KH Raden Mas Abdurahman Saleh Abdurahman Jamal, salah seorang ulama yang berjasa dalam dunia pendidikan di Banten dan Indonesia. Dia tokoh muda, sepulang dari Mekkah mendirikan Mathla'ul Anwar bersama kiai sepuh lainnya. Lahir tahun 1882 di Kampung Janaka (Gunung Aseupan), Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang dan wafat 1943. (Muhammad Idjen, penulis buku berjudul KH Mas Abdurrahman Ulama Besar Kharismatik Dari Tutugan Gunung Aseupan). Sumber lain menyebut, ulama ini lahir sekitar tahun 1875 dan wafat 16 Agustus 1944 dan dimakamkan di Cikaliung Sodong, Kecamatan Saketi, Pandeglang atau sekitar lokasi Universitas Mathlaul Anwar (UNMA). (M Nahid Abdurahman, penulis buku berjudul KH Abdurrahman Pendiri Mathlaul Anwar). Sementara menurut buku 'Dirosah Islamiyah I Sejarah dan Khittah MA' yang diterbitkan Pengurus Besar Mathla'ul Anwar, disebutkan dia lahir tahun 1868 dan wafat tahun 1943. Mathla'ul Anwar saat ini telah menjelma menjadi salah satu kekuatan civil society yang sangat diperhitungkan sebagai katalisator seluruh agenda pembangunan bangsa. Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, selain Nahdatul ulama (NU) dan Muhammadiyah. Mathla'ul Anwar sejatinya tetap menjaga netralitasnya dalam menyikapi berbagai persoalan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali dalam konteks politik.[16]



[1] Menurut angka statistik 1887, di Banten terdapat 4073 haji, 0,72 dari jumlah penduduk yakni 561.003. Ini merupakan persentase tertinggi untuk seluruh Jawa. Lihat, Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt, h. 152, edisi bahasa Indonesia, h. 247.
[2] Christiaan Snouck Hurgronje, “Ulama Jawa yang Ada di Mekah pada Akhir Abad XIX” dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique dan Yasmin Hussain, Islam Asia Tenggara, terj. A. Setiawan Abadi (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 150, Ulama-ulama Banten yang terdapat di Mekkah pada akhir abad XIX, terdapat pada h. 156-160; Laffan, Islamic Nationhood, h. 63-64; dan Alex Soesilo Wijoyo, “Syaikh Nawawi of Banten: Texts, Authority, and the Gloss” Disertasi, Unpublished (New York: Columbia University, 1997), h. 13.
[3] Kajian yang mendalam terhadap ulama yang sangat terkenal ini dan karya-karya yang dihasilkan selama hidupnya, lihat Wijoyo, Syaikh Nawawi of Banten; Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al- Bantani (Yogyakarta: LKiS, 2009); dan Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 117-127
[4] Lihat, Muhaimin AG., Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, cet. ke-2 (Jakarta: Logos, 2002), h. x. Lihat juga, Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia” dalam Mark R. Woodward (Ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
[5] Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950 (Yogyakarta: MATABANGSA, 2001), h. 49
[6] Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1980), h. 53.
[7] Ibid., h. 56
[8] Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 43-44
[9] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, cet. ke-2 (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 8-9.
[10] Soemarsono Mestoko, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 80-81
[11] Pada tahun 1916, empat HIS di Banten masing-masing memiliki murid sebagai berikut: Serang, 189 laki-laki dan 46 perempuan; Cilegon, 91 laki-laki dan 29 perempuan; Pandeglang, 147 laki-laki dan 23 perempuan; dan Rangkasbitung, 136 laki-laki dan 40 perempuan. Lihat, Williams, Communism, h. 106, catatan kaki no. 3. Sebagai bahan perbandingan, di seluruh Hindia Belanda jumlah siswa HIS ini mencapai 22.734 siswa pada tahun 1915. Lihat, Wardiman Djojonegoro, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1996), h. 64.
[12] Rahayu Permana, “Kyai Haji Syam’un (1883-1949): Gagasan dan PerjuangannyaTesis (Depok: PPs Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2004), h. 29.
[13] Steenbrink, Pesantren, Madrasah, h. 26.
[14] Istilah “madrasah” berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat belajar. Lihat, Ibrahim Anis dkk., Al-Mu’jam al-Wasit (Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1972), h. 280.
[15] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, cet. ke-3 (Bandung: Jemmars, 1987), h. 16.
[16] Eko Supriatno Dosen FISIP Universitas Mathla'ul Anwar Banten. Ketua ICMI Orsat Labuan dalam tulisannya Kabar Banten.com. Mathlaul Anwar dan Godaan politik. Edisi 29 Sep 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar